BAB II
PEMBAHASAN
PEMBAHASAN
2.1. Perkembangan Tradisi Masyarakat
Pada Situs Megalitik Berlanjut
Di Desa Ulak Lebar
Kota
Lubuklinggau memiliki peran yang cukup berarti dalam perjalanan sejarah Indonesia
khususnya di Provinsi Sumatera Selatan. Dari data arkeologi yang ditemukan di wilayah tersebut, telah diketahui bahwa terdapat pemukiman kuno yang diperkirakan telah ada sejak
masa prasejarah. Dalam perkembangan selanjutnya, meski pengaruh agama Islam telah masuk ke wilayah ini, tetapi tradisi kehidupan masyarakat prasejarah ternyata masih
terus berlanjut seperti yang dapat kita
lihat pada Situs Ulak Lebar.
Dari hasil pemetaan wilayah, Situs Ulak Lebar ini terletak di Desa Ulak
Lebar, Kelurahan Sidorejo, Kecamatan Lubuklinggau Barat II, yang berjarak
kurang lebih sekitar 1,5 km ke arah Barat dari pusat kota. Lokasi situs ini
ditandai dengan berdirinya Bukit Sulap, aliran Sungai Kelingi, Sungai Kasie,
dan Sungai Ketue.
Dalam
Suwandi (2016:10) pada bukunya yaitu Silampari; Hikayat Putri Yang Hilang menjelaskan
bahwa “Ulak Lebar adalah nama sebuah negeri yang pernah ada pada zaman dahulu.
Letaknya di Lembah Bukit Sulap yang terkenal dan menjadi kebanggaan Kota Lubuklinggau.
Di bawah kaki Bukit Sulap ini terdapat sungai-sungai seperti Sungai Kasie dan
Sungai Ketue yang mengalir ke arah selatan agak ke tenggara yang bermuara di
Sungai Kelingi. Hal tersebut menunjang sebuah hubungan perekonomian melalui
jalur sungai sehingga dikenal dengan istilah Poros Ulu-Ilir, sebab pelayaran dari Sungai Musi yang kemudian
memasuki sungai utama yaitu Sungai Kelingi, perahu dagang (Jong-jong) biasa
menepi di sebelah hilir negeri Ulak Lebar. Kemudian para pendatang yang akan
mengadakan hubungan dengan elite tradisional di Ulak Lebar dapat mengikatkan
tali jong-jongnya pada Lubuk Genting Tigas yang berada tepat di pelataran
halaman Benteng Kuto Ulak Lebar.” Dari pernyataan diatas, dapat ditarik suatu
kesimpulan bahwa adanya hubungan dagang melalui sungai merupakan aspek penting
dalam menunjang suatu peradaban manusia melalui aktifitas perdagangan mereka
kala itu, terlepas dari apa yang ditinggalkan namun hal tersebut dijadikan
sebagai objek vital akan nilai-nilai kesejarahan yang bernilai tinggi.
Lalu Situs Ulak Lebar yang berada di kaki Bukit
Sulap ini, telah ditemukan
berupa sebuah benteng tanah yang terletak antara Sungai Kelingi dan Sungai Ketue. Benteng ini
berupa gundukan tanah yang membentang di sisi Barat dan Timur, sedangkan pada
sisi Utara dan Selatan berbatasan langsung dengan Sungai Kelingi dan Sungai Ketue yang bertebing curam. Gundukan tanah yang
merupakan dinding benteng mempunyai tinggi ± 2 m dan lebar ± 4 m. Benteng Ulak Lebar ini berdenah agak membulat dengan pintu masuk
terdapat di sisi Timur, sehingga benteng
tanah ini disebut juga Benteng Kuto Ulak Lebar, sebab dibuat tinggi dari
tiap-tiap sisinya. Seperti yang telah dijelaskan oleh Suwandi (dalam Suparni,
2013:24) dikatakan bahwa “Benteng Kuto Ulak Lebar ini terbuat dari tanah sebagai
dinding benteng yang di bangun dengan membuat pematang lalu ditinggikan, tanahnya
diambil dari galian di sekeliling lokasi sehingga dari luar, praktis dinding
benteng menjadi tinggi karena bekas tanah menjadi selokan yang dalam. Sehingga
benteng dari tanah ini yang tinggi ini disebut Kuto atau Kute.”
Menurut Aryandini Novita (2001:11) dalam Harian
Sriwijaya Post mengatakan “Dalam perkembangannya, sebuah pemukiman yang
dilengkapi dengan benteng tanah diperkirakan
telah ada sejak masa prasejarah, tepatnya pada saat masyarakat telah mengenal kegiatan yaitu bercocok tanam dengan bertani. Pada masa itu pula, pemukiman-pemukiman masyarakat sudah mulai menetap sehingga diperlukan sebuah
bangunan yang berfungsi untuk melindungi pemukiman tersebut dari
ancaman-ancaman binatang buas maupun serangan
dari pengaruh luar di sekitar wilayah pemukiman masyarakat
tersebut.”
Pada masa itu juga, berkembang sebuah tradisi yang dikenal dengan istilah ‘tradisi megalitik’. Tradisi
ini mengacu pada pendirian bangunan dari batu besar yang berkaitan dengan
kepercayaan akan adanya hubungan antara yang hidup dan yang mati, terutama
kepercayaan akan adanya kekuatan dari yang telah mati terhadap kesejahteraan
masyarakat dan kesuburan tanaman.
Tradisi megalitik diwujudkan
dalam bentuk benda peninggalan antara lain seperti punden berundak-undak, dolmen, sarkofagus, dan
menhir. Bangunan-bangunan dari tradisi megalitik ini umumnya berfungsi sebagai
kuburan ataupun tempat pemujaan terhadap roh
leluhur. Salah satu tinggalan arkeologi dari tradisi megalitik yang berfungsi
sebagai tempat pemujaan tersebut adalah menhir. Menhir ialah batu tegak, yang
diletakkan dengan sengaja di suatu tempat untuk memperingati
orang yang telah mati. Menhir dianggap sebagai media penghormatan, menampung
kedatangan roh sekaligus menjadi lambang dari orang-orang yang dihormati (Novita, 2001:11).
Diungkapkan oleh Suwandi (dalam Suparni, 2013:24) yang
didasari pada penelitian seorang arkeolog bidang Islam Klasik, bernama Dr.
Suwedi Montana yang menganalisis tentang pemukiman dan benteng tanah yang ada
di Situs Ulak Lebar, diungkapkan bahwa “Tradisi bangunan benteng yang terbuat
dari tanah seperti di Situs Ulak Lebar termasuk pada tradisi Islam Klasik
sekitar abad 14-17 Masehi. Pada masa itu masyarakat Ulak Lebar baru mendapat
pengaruh Islam maka tradisi penguburan sudah mulai mengacu pada tradisi Islam,
sedangkan batu nisan menggunakan menhir karena pengaruh tradisi lama yang masih
di percaya oleh masyarakat. Oleh sebab itu, tradisi megalitik di Situs Ulak
Lebar disebut Tradisi Megalitik Berlanjut.” Keistimewaan menhir-menhir yang ada
di Desa Ulak Lebar, bahwasannya semua menhir berdiri dalam posisi
berpasang-pasangan dan masing-masing pasangan berorientasi arah Utara dan Selatan,
khas makam Islam dengan menghadap ke Kiblat.
Kemudian Suwandi (dalam Suparni, 2013:23), mengungkapkan
bahwa “Ukuran pada tiap-tiap menhir berpasangan sangat bervariasi. Menhir yang
masih ada saat sekarang berjumlah sekitar 132 buah atau 66 pasang, yang
tersebar dari sektor satu sampai sektor tujuh, ada yang berukuran tinggi 0-50
cm, lalu berukuran tinggi 50-100 cm, serta ada pula yang berukuran tinggi
diatas 100 cm. Namun jumlah menhir yang berukuran tinggi diatas 100 cm
berjumlah sangat sedikit, jika dibandingkan jumlah menhir yang berukuran tinggi
0-50 cm dan 50-100 cm, dapat dilihat disini bahwa ukuran 0-50 cm berjumlah 35
buah menhir, ukuran 50-100 berjumlah 80 buah menhir, dan ukuran diatas 100
berjumlah 17 buah menhir. Hal ini menggambarkan bahwa orang-orang atau rakyat
biasa jumlahnya lebih besar dibandingkan orang-orang yang status sosialnya
tinggi atau menengah. Karena apabila orang yang derajat atau status sosialnya
lebih tinggi maka menhir penguburannya lebih besar, sedangkan orang yang
statusnya sosialnya lebih rendah bentuk menhir penguburannya kecil dan pendek
yang diletakkan di tempat tersendiri dari yang lain.”
Jika dibandingkan Situs Ulak lebar dengan situs yang
ada di Sumba dan Flores, maka dapat di analogikan bahwa menhir-menhir atau batu
tegak berpasangan di Situs Ulak lebar ini berkaitan dengan tradisi penguburan,
seperti halnya di Sumba dan Flores. Menhir berpasangan di Situs Ulak Lebar di
pergunakan sebagai tanda kubur atau batu nisan jika diasumsikan pada zaman
sekarang. Dengan demikian, tinggi rendahnya tanda kubur tersebut berkaitan
dengan status sosial orang yang dikubur ketika semasa hidupnya.
Dari hasil kegiatan observasi tim survey invertigasi
Cagar Budaya dan Benda Purbakala Nasional pada tahun 1995 telah ditemukan bahwa
“Pada tinggalan situs kepurbakalaan ini, selain dari menhir berpasangan sebagai
makam manusia dan benteng alam seperti gundukan tanah yang ditinggikan sebagai
benteng pertahanan, ditemukan pula seperti pecahan-pecahan gerabah ataupun
pecahan-pecahan keramik asing (China) yang tersebar di beberapa sektor yang ada
di Situs Ulak Lebar (Suwandi, 1995:14-19)”. Hal tersebut diindikasikan ketika
sungai dijadikan sarana sebagai alat transportasi poros hulu hilir dengan belum
adanya jalan raya, aktifitas kontak dagang telah terjadi di sini dengan
hubungan jalur sungai untuk mencapai pemukiman masyarakat di sana, terlebih
lagi mata pencaharian masyarakat ialah petani sehingga memungkinkan masyarakat
melakukan sistem barter untuk menunjang kegiatan perekonomian.
Kemudian untuk mempermudah penjelasan mengenai
persebaran menhir berpasangan tersebut, maka dapat di bagi dalam beberapa
sektor, dan setiap sektor di bagi lagi menjadi beberapa grup. Untuk di kawasan
Situs Ulak Lebar sendiri terdiri dari 7 buah sektor, yaitu dua sektor berada di sebelah Selatan sungai Kelingi
(sektor I dan sektor II), satu sektor terletak di sebelah Timur benteng tanah
(sektor III), dua sektor dalam kompleks benteng (sektor IV dan sektor V), dan
dua sektor terletak di sebelah Barat benteng (sektor VI dan sektor VII), dan
ada tambahan dua sektor lagi (sektor VIII dan sektor IX), tetapi letaknya tidak
satu komplek dengan Situs Ulak Lebar melainkan di puncak Bukit Sulap.
Dalam hal ini, Suwandi (1995:10-23) dapat menjelaskan
secara rinci mengenai sektor-sektor pada menhir berpasangan ialah sebagai
berikut :
a.
Sektor
I
Pada Sektor I, terdapat 12 pasang menhir yang terbagi atas Grup A dan
Grup B. Kemudian posisi nisan menunjukkan arah Utara dan Selatan. Pada sektor
ini juga, tidak ada perubahan yang terjadi di sekitar sektor kecuali pecahan
gerabah dan keramik yang sudah tidak ada lagi sebab lapisan humus tanah sudah ada
tanaman kopi warga di sekitar sektor yang tebal dan lembab.
b. Sektor II
Pada sektor II ini terdapat empat buah grup menhir berpasangan. Luas
sektor II sekitar ± 36.000 m2. Sektor ini sangat banyak
dijumpai pecahan gerabah polos dan pecahan keramik asing. Sejak tahun 1995,
sebagian lokasi dari sektor II dimanfaatkan oleh masyarakat untuk melakukan
penambangan pasir dan batu kali sebab letaknya berdekatan dengan sungai utama
yaitu Sungai Kelingi. Dan sebagian wilayah sektor II mengalami kerusakan akibat
adanya penambangan pasir dan batu kali tersebut.
c.
Sektor III
Sektor III terletak di sebelah Timur benteng Kuto yang ke arah Utara
Sungai Kelingi dan lebih dekat dengan Sungai Ketue. Jumlah menhir pada sektor
III ini sebanyak sekitar 50 pasang dan terbagi menjadi 10 grup.
d.
Sektor IV dan Sektor V
Sektor IV ini
berada di
dalam lokasi benteng kuto Ulak Lebar. Dalam hal ini ditemukan berupa
sepasang menhir berpasangan berposisi Utara dan Selatan,
letaknya hanya 4 meter dari tebing curam tepian sungai Kelingi. Namun hal yang menarik dari
temuan menhir berpasangan di sektor IV ini, diindikasikan merupakan tempat
persemayaman terakhir dari sosok Bujang Kurap yang telah menjadi cerita rakyat
masyarakat Kota Lubuklinggau.
Tak
jauh dari menhir berpasangan di sektor IV, yang terpisah
oleh jalan proyek irigasi sungai Kasie, terdapat sepasang menhir berpasangan lagi pada
sektor V ini. Namun temuan yang menonjol pada sektor
IV dan
sektor V ini
adalah temuan
pecahan keramik asing di sepanjang jalan yang dibuat
oleh proyek irigasi sungai Kasie, di hitung dari dalam
lokasi benteng ditemukan tidak kurang dari 8 kg pecahan keramik asing yang bervariasi
berasal dari Dinasti
Sung, Dinasti
Ming, dan Dinasti
Ching.
e.
Sektor VI dan Sektor VII
Temuan pada
sektor VI dan sektor VII di Situs Ulak Lebar ini mengenai menhir berpasangan
tidak ada perubahan. Di sektor VI itu sendiri terdapat satu grup dengan dua
pasang menhir berpasangan, dan di sektor VII terdapat dua group dengan tujuh
pasang menhir berpasangan.
2.2. Perkembangan
Sosial dan Stratifikasi Masyarakat Pada Situs Megalitik
Berlanjut Di Desa Ulak
Lebar
Seperti yang telah diungkapkan
sebelumnya, bahwa tradisi dari masa
prasejarah ini ternyata terus dipakai oleh masyarakat Lubuklinggau dahulu meskipun pengaruh agama Islam
telah masuk di wilayah ini. Memang setelah agama Islam masuk di wilayah ini,
benda-benda dari tradisi megalitik masih digunakan tetapi fungsinya sudah
beralih. Jika awalnya menhir dianggap sebagai media penghormatan, maka pada
masa awal pengaruh perkembangan Agama Islam, menhir tersebut digunakan
sebagai nisan. Meskipun keberadaannya masih tetap berkaitan dengan penghormatan terhadap orang
yang telah mati, tetapi pada masa itu menhir
sudah tidak dipuja lagi melainkan hanya digunakan sebagai tanda sebuah penguburan seperti halnya pada makam-makam di Situs Ulak lebar.
Lalu Suwandi (2012:87-88) menjelaskan dalam bukunya
yaitu Bujang Kurap; Cerita Rakyat Musi
Rawas – Lubuklinggau dikatakan bahwa “Kuburan-kuburan lama yang batu
nisannya berupa batu-batu besar tersusun tegak menurut tradisi megalitik tanpa
identitas atau aksara, menunjukkan bahwa pada masa lalu mereka telah ada
kehidupan yang teratur, bermasyarakat, religius, gotong royong, kebersamaan,
dan serta aktifitas lain. Kehidupan sosial kemasyarakatan mereka telah tampak
teratur karena adanya kendali penguasa teritorial bagian dari wilayah
Kesultanan Palembang di kawasan Ulak Lebar.” Jadi dapat disimpulkan bahwa di
kawasan strategis inilah pada masa itu layak dijadikan sebuah negeri, karena
mempunyai persyaratan umum yang tepat, yaitu dengan adanya lembah yang subur,
dataran yang luas yang terletak di kaki Bukit Sulap. Serta lingkungan yang
praktis dibentuk oleh tiga aliran sungai yang telah disebutkan diatas.
Diungkapkan oleh Suwandi (2012:13-14) melalui
penuturannya yang dikaitkan pada aspek legenda mengenai negeri Ulak Lebar
berdasarkan para penutur generasi yang lahir pada akhir abad ke 19 sampai awal
abad 20, diceritakan bahwa “Ketika seorang Raja Biku sebagai sosok sakti yang
mengembara dari kawasan Laut China hingga sampai di negeri Ulak Lebar, ia
bertapa ataupun bersemedi untuk memperoleh petunjuk dalam mendirikan sebuah kerajaan
kecil. Dalam tapanya, ia didatangi oleh Dewa Mantra Guru Sakti Tujuh dari
kayangan yang memberinya tugas besar, yaitu diperintahkannya untuk berdiam di
puncak bukit sebagai penjaga dan pemberi berkah bagi orang-orang yang tinggal
di wilayah Ulak Lebar nantinya beserta negeri-negeri lain disekitarnya. Kemudian
Raja Biku menikahi Puteri Ayu Selendang Kuning yang merupakan adik dari Dewa
Mantra Guru Sakti Tujuh, mereka bersama membentuk keluarga, selain itu mereka
juga mendirikan sebuah kerajaan yaitu Ulak Lebar di kawasan segitiga sungai
Kasie, Ketue dan dan sungai Kelingi.
Sebagaimana sebuah kerajaan, masyarakat Ulak Lebar pun
terbagi dalam beberapa tingkatan masyarakat yaitu :
·
Golongan Raja (Raja
dan keluarga raja)
·
Golongan Menter
(Menteri dan kaum cendekiawan kerajaan)
·
Golongan Hulubalang (40
Hulubalang Pilihan dan Hulubalang Jajal Batikan)
·
Golongan Biasa
(Petani dan pedagang)
·
Golongan Jitan atau Senan
{(Suwandi, 2012:15)}.
Hingga pada masa
selanjutnya, negeri Ulak Lebar berkembang menjadi pemukiman-pemukiman pada
aspek pertanian yang menetap, kemudian terjadi kontak dagang dengan pendatang,
menggambarkan aktifitas sosial mereka cukup tinggi sehingga diperlukan sosok
pemimpin yang dapat mengayomi masyarakat dan cukup disegani. Lalu berkembanglah
sosok yang bernama Depati ataupun Gindo sebagai pemimpin di negeri yang telah
dianggap sebagai peninggalan nenek moyang mereka.
Temuan berupa menhir-menhir
berpasangan ini, dapat dianalogikan merupakan makam dari beberapa para pemimpin
elit tradisional dan juga makam masyarakat yang pernah tinggal di negeri Ulak
Lebar. Dimana bila ada sebuah makam maka ada sebuah kehidupan yang pernah
dibuat sebelumnya disana. Namun untuk mengetahui secara pasti, siapa saja
tokoh-tokoh masyarakat yang dimakamkan di Situs Ulak Lebar tidak bisa
digambarkan sebab hanya keturunannya sajalah yang dapat menjelaskan.
Ditambahkan lagi oleh Novita
(2001:11) diungkapkan bahwa “Di dalam benteng kuto
Ulak lebar, terdapat beberapa makam-makam dimana tokoh-tokoh dimakamkan, pada situs tersebut dikenal penduduk setempat sebagai makam Raden Kuning, Depati Bodo dan Depati Jokuto ataupun Bujang Kurap yang pernah singgah disana. Keunikan yang terlihat dari makam di sini ialah nisan
pada makam tersebut berbentuk seperti
menhir berpasangan. Makam Depati Jokuto berada di
dalam Benteng Ulak Lebar, ia adalah Depati Negeri
Ulak Lebar yang memerintah di
wilayah tersebut pada tahun 1824. Sebenarnya ia merupakan depati sementara
karena menggantikan kakaknya, Depati Lang Gandus, yang pada
saat itu dimintai bantuan oleh Kesultanan Palembang untuk ikut berperang melawan Belanda. Kemudian juga terdapat Kompleks Makam Batu Bertunas yang terletak di sebelah timur bagian luar benteng. Di
kompleks makam ini terdapat paling tidak 45 buah makam, namun seperti yang
telah diuraikan sebelumnya tokoh yang dimakamkan di kompleks tersebut tidak
diketahui sehingga masyarakat setempat
menamainya dengan Kompleks Makam Batu Bertunas. Jika makam Depati Jokuto dan
Kompleks Makam Batu Bertunas terletak di lahan yang sama dekat benteng Ulak Lebar, maka Kompleks makam Raden Kuning dan Depati
Bodo terletak di seberang Sungai Kelingi yang berada di sebelah selatan
benteng. Di Kompleks Makam Raden Kuning terdapat 4 buah makam, sedangkan di
Kompleks Makam Depati Bodo yang berada di sebelah barat lautnya terdapat 5 buah
makam. Berdasarkan catatan sejarah,
Depati Bodo adalah depati pertama negeri Ulak Lebar yang memerintah sekitar
tahun 1789. Ia berasal dari Palembang dan pernah menjabat sebagai hulubalang
pada Kesultanan Palembang Darussalam. Berbeda dengan Depati Bodo, tokoh yang
bernama Raden Kuning ini tidak diketahui jabatan dan kedudukannya, tetapi jika
dilihat dari keletakan makamnya yang berada di dekat tokoh negeri Ulak Lebar kemungkinan ia juga merupakan seorang yang cukup
penting di negeri ini.”
BAB III
PENUTUP
PENUTUP
3.1. Kesimpulan
Situs Ulak Lebar ini terletak di Desa Ulak Lebar, Kelurahan Sidorejo,
Kecamatan Lubuklinggau Barat II, yang berjarak kurang lebih sekitar 1,5 km ke
arah Barat dari pusat kota. Lokasi situs ini ditandai dengan berdirinya Bukit
Sulap, aliran Sungai Kelingi, Sungai Kasie, dan Sungai Ketue.
Kemudian
pada Situs Ulak Lebar yang berada di kaki Bukit
Sulap ini, telah ditemukan
berupa sebuah benteng tanah yang terletak antara Sungai Kelingi dan Sungai Ketue. Benteng ini
berupa gundukan tanah yang membentang di sisi Barat dan Timur, sedangkan pada
sisi Utara dan Selatan berbatasan langsung dengan Sungai Kelingi dan Sungai Ketue yang bertebing curam.
Untuk
di kawasan Situs Ulak Lebar sendiri terdiri dari 7 buah sektor, yaitu dua sektor berada di sebelah Selatan sungai
Kelingi (sektor I dan sektor II), satu sektor terletak di sebelah Timur benteng
tanah (sektor III), dua sektor dalam kompleks benteng (sektor IV dan sektor V),
dan dua sektor terletak di sebelah Barat benteng (sektor VI dan sektor VII),
dan ada tambahan dua sektor lagi (sektor VIII dan sektor IX), tetapi letaknya
tidak satu komplek dengan Situs Ulak Lebar melainkan di puncak Bukit Sulap.
3.2. Saran
Terlepas dari peristiwa sejarah yang
pernah terjadi pada masa lampau, kita selaku pelaku sekaligus penerus sejarah
dari abad modern ini sebaiknya melestarikan serta menjaga atas
peninggalan-peninggalan sejarah yang ditinggalkan oleh para nenek moyang kita,
agar anak cucu kita nanti di masa depan masih dapat melihatnya. Sudah
selayaknya peninggalan sejarah yang ada dijadikan sebagai aset ataupun Benda
Cagar Budaya (BCB) di Lubuklinggau untuk mendongkrak wisata kesejarahan yang
bernilai tinggi terhadap peristiwa yang dibuat oleh para nenek moyang dahulu
yang pernah hidup dan membuat peradaban di Ulak Lebar atas megalith-megalith
yang ditinggalkan. Sekian dan Terima Kasih. Barakallah.
DAFTAR PUSTAKA
Novita, Aryandini. “Situs Ulak Lebar, Kabupaten Musirawas.
Tinggalan Megalitik Pada Masa Awal Perkembangan Agama Islam.” Harian
Sriwijaya Post, 03 Juni 2001
Suparni. 2013. Skripsi; Upaya Meningkatkan Hasil Belajar
Pada Materi Menghargai Berbagai Peninggalan Sejarah Setempat Tentang Situs
Megalitik Berlanjut Di Desa Ulak Lebar Melalui Model Pembelajaran Artikulasi
Pada Siswa Kelas IV SD Islam Biatul A’la Lubuklinggau Tahun Ajaran 2012-2013.
Lubuklinggau: STKIP PGRI Lubuklinggau
Syam, Suwandi.
2012. Bujang Kurap; Cerita Rakyat Musi
Rawas – Lubuklinggau. Lubuklinggau: bennyinstitute
.
2016. Silampari; Hikayat Putri yang
Hilang. Lubuklinggau: bennyintitute
. 1995.
Buku Hasil Observasi Survey Penelitian
Pada Situs Ulak Lebar. Tidak diterbitkan
lumayan rapi hehe
BalasHapusmakasih.... namanya juga usaha bro...
BalasHapus