Tulisan Bergerak

Selamat Datang. Selamat Mengunjungi halaman blog saya. Semoga anda menyukainya dan menemukan apa yang engkau cari. Terima Kasih. Barakallah.

Minggu, 15 Mei 2016

PERGERAKAN ISLAM PADA MASA PASCA KEMERDEKAAN



Oleh : Berlian Susetyo
Program Studi Pendidikan Sejarah, STKIP PGRI Lubuklinggau

ABSTRAK
Islam tumbuh dan berkembang menjadi sebuah dasar keyakinan manusia dalam hidup. Islam datang ke Indonesia melalui jalur perdagangan dunia yang dibawa oleh para pedagang Arab. Setelah kemerdekaan, pada setiap zaman seperti Demokrasi Liberal, Demokrasi Terpimpin, Orde Baru dan Reformasi, Islam pernah mengalami pasang surut akibat pola elit-elit politik yang ingin menerapkan ideologi Pancasila demi menyatukan keanekaragaman budaya dan perbedaan keyakinan setiap masyarakat Indonesia. Namun Islam tetap berjuang pada sisi kebiasaan masyarakat terhadap nilai-nilai moral dan falsafah hidup. Sehingga di masa depan, kejayaan Islam dapat terwujud kembali pada zaman kebebasan ini akan majunya sistem ilmu pengetahuan dan teknologi.
Kata Kunci : Setelah Kemerdekaan, Setiap Zaman, Kejayaan Islam.

ABSTRAC
Islam grew and developed into a basic human beliefs in life. Islam came to Indonesia through world trade carried by Arab traders. After independence, in every age such as Liberal Democracy, Guided Democracy, New Order and Reform, Islam has experienced ups and downs as a result of the pattern of political elites who want to implement Pancasila ideology for the sake of uniting the cultural diversity and differences in beliefs of each community in Indonesia. But Islam remained struggling on the habits of the people towards moral values and philosophy of life. So that in the future, the glory of Islam can be realized back in the days of this freedom will be rapid advancement of science and technology system.
Keywords : After Independence, Every Age, triumph of Islam.  

PENDAHULUAN
Cikal bakal kekuasaaan Islam telah dirintis pada periode abad 7-8 Masehi, tetapi semuanya tenggelam dalam hegemoni maritim Sriwijaya yang berpusat di Palembang dan kerajaan Hindu-Jawa seperti Singasari dan Majapahit di Jawa Timur. Pada periode ini, para pedagang dan mubalig Muslim membentuk komunitas-komunitas Islam. Mereka memperkenalkan Islam yang mengajarkan toleransi dan persamaan derajat di antara sesama, sementara ajaran Hindu-Jawa menekan pada perbedaan derajat manusia. Ajaran Islam ini sangat menarik perhatian penduduk setempat. Oleh karena itu, Islam tersebar di kepulauan Indonesia terhitung cepat, meski dengan damai (Badri Yatim, 2013:194).
Agama Islam mulai berkembang di Jazirah Arab pada abad ke-7 Masehi. Kemudian agama tersebut berkembang dengan pesat, ke arah barat sampai ke Spanyol dan ke timur sampai Persia serta Gujarat. Oleh karena penyebaran Islam di Indonesia pertama-tama dilakukan oleh para pedagang, pertumbuhan komunitas Islam bermula di berbagai pelabuhan penting di Sumatera, Jawa dan pulau lainnya.
Islam datang ke Indonesia ketika pusat-pusat kerajaan Hindu mengalami kemunduran. Pada masa awal kedatangan Islam sekitar abad ke-12 dan ke-13 Masehi, Sriwijaya sebagai pusat kerajaan di Indonesia bagian Barat mulai menunjukkan tanda-tanda kemerosotan. Demikian pula ketika Islam telah berkembang secara luas sekitar abad ke-15, kerajaan Majapahit sebagai pusat kerajaan di Indonesia bagian Timur sudah mengalami saat-saat keruntuhan (Daliman, 2012:19).
Salah satu bukti bahwa Islam tetap berjaya adalah muncul dan berkembangnya Islam di Indonesia yang telah menjadi bukti sejarah bagi  bangsa Indonesia dimana peranannya sangat besar terhadap perjuangan kemerdekaan bagi bangsa Indonesia. Dengan melihat ke belakang sejarah masuknya Islam di Indonesia yaitu melalui berbagai macam cara dimana di antaranya adalah melalui perdagangan, perkawinan, yang dipelopori oleh  para saudagar-saudagar Arab, kemudian pendidikan (pesantren), tasawuf, dakwah, kesenian dan budaya (Beti Yanuri Posha, 2015:75-76).
Islam datang di Indonesia dengan membawa peradaban baru yang memiliki corak keislaman secara khusus. Beberapa bentuk peradaban Islam mewarnai kehidupan dan pemikiran masyarakat Islam di Indonesia. Peradaban Islam yang dibawa oleh para mubaligh Islam dari Arab diakulturasikan dengan tradisi dan budaya setempat. Akulturasi antara peradaban Islam dan peradaban setempat tersebut menjadi terpadu yang membawa dampak positif bagi perkembangan budaya Islam di Indonesia (Samsul Munir Amin, 2010:408).
Pada sistem birokrasi keagamaan terbentuklah sebuah sistem politik kekuasaan yang diawali berdirinya kerajaan-kerajaan Islam di daerah pesisir Indonesia, hingga pada akhirnya Islam berkembang sangat pesat, melalui para ulama ataupun para cendekiawan muslim serta pemikir-pemikir keagamaan yang memperjuangkan aktifitas dakwah menjadi sebuah batu sandungan bahwasannya Islam layak menjadi pedoman kehidupan masyarakat berazazkan kesetaraan antar sesama. Namun tak dapat kita lupakan begitu saja bahwa Islam berkembang mengalami beberapa hambatan ketika muncul pengaruh Barat, semula kedatangan mereka bermaksud untuk berdagang dan mencari rempah-rempah, maka seketika itu pula berubah pada hasrat ingin menjajah dan menguasai potensi hasil bumi yang melimpah sehingga menjadi titik awal perlawanan rakyat terhadap kolonialisme. Beberapa organisasi keislaman berdiri untuk menentang kebijakan para kaum koloni tersebut, namun masyarakat pribumi masih terbelakang dengan penggunaan teknologi, pengetahuan serta kemajuan persenjataan sehingga dapat ditaklukan dengan mudah oleh bangsa penjajah. Hingga pada akhirnya Indonesia berhasil memperoleh kemerdekaannya tanggal 17 Agustus 1945, masyarakat Indonesia masih berjuang dalam mempertahankan kemerdekaan tersebut yang diraih dengan derai air mata, sikaf rela berkorban dengan susah payah dalam memperjuangkannya.     
Jadi dari uraian latar belakang tersebut diatas, perhatian penulis sangat tertarik untuk mengkaji secara lebih mendalam tentang “Pergerakan Islam Pada Masa Pasca Kemerdekaan”.

RUMUSAN MASALAH
Dari uraian di atas, yang menjadi pokok permasalahan penelitian adalah sebagai berikut :
a)    Bagaimana perkembangan pergerakan Islam pada masa pasca kemerdekaaan ? 
b)   Bagaimana bentuk pergerakan Islam tersebut serta peranannya setelah kemerdekaan ?

METODE PENELITIAN
Penelitian ini menggunakan metode penulisan sejarah dengan melakukan tinjauan pustaka. Pada tahap-tahap penelitian ini yang digunakan ialah mengumpulkan data yaitu Heuristik, sekiranya akan menunjang dalam penelitian tentang pergerakan Islam pada masa pasca kemerdekaan. Tahap berikutnya adalah kritik sumber dengan memilah data yang memang memiliki tingkat otentisitas dan keabsahan yang sesuai dan relevan dengan penelitian. Kemudian, Interpretasi adalah penafsiran data berdasarkan data yang telah tersedia. Tahap terakhir adalah penulisan hasil penelitian yaitu Historografi.

PEMBAHASAN
Percaturan Islam pada Politik Pemerintahan Awal Kemerdekaan  
Pada akhir abad ke-19, dan awal abad ke-20, muncul perkembangan baru di Tanah Air yakni munculnya pergerakan-pergerakan Islam modern. Perkembangan Islam muncul seiring dengan bangkitnya gerakan-gerakan nasionalisme diberbagai belahan dunia Islam dalam upaya membebaskan diri dari penjajahan. Pengaruh tokoh-tokoh modern di Mesir seperti Jamaluddin Al-Afghani, Muhammad Abduh, dan Rasyid Ridha juga secara langsung maupun tidak langsung telah memberi inspirasi bagi bangkitnya pergerakan modern di Indonesia. Para tokoh tersebut aktif menyebarkan pemikirannya melalui publikasi di majalah Al-Urwatul Wutsqa dan Al-Manar. Organisasi-organisasi modern kemudian bermunculan bak cendawan di musim hujan seperti Sarekat Islam (SI), Muhammadiyah, Persatuan Islam (Persis), Nahdatul Ulama (NU), Al-Irsyad dan Jami’at Khair. Dalam perkembangannya pada bulan September 1937, di Surabaya didirikan Majelis Islam A’la Indonesia (MIAI), yang disponsori oleh Muhammadiyah dan NU. MIAI merupakan federasi organisasi Islam dan bercirikan semangat non-kooperatif terhadap pemerintahan penjajah Belanda kala itu. Kemudian pada masa awal pendudukan Jepang, MIAI dibubarkan dan diganti dengan Majelis Syuro Muslimin Indonesia (MASYUMI) dengan tujuan untuk kesatuan semua organisasi Islam di Indonesia (Didin Saefuddin Buchori, 2009:312).
          Sejak awal kemerdekaan Indonesia, di kalangan para pendiri republik ini terjadi tarik menarik kepentingan antara kecenderungan ingin mendirikan sebuah negara kesatuan yang kuat, dengan kecenderungan gairah untuk membentuk pemerintahan yang berorientasi pada demokrasi. Lalu mengenai dasar negara, tarik menarik telah terjadi pada masa pra-kemerdekaan, yakni antara keinginan untuk memisahkan urusan negara dengan agama (dengan mendukung sebuah sistem filsafat pemersatu yakni Pancasila), dengan yang beraspirasi untuk menjadikan Islam sebagai dasar negara. Tokoh-tokoh yang beraspirasi untuk menjadikan Islam sebagai dasar negara diperjuangkan oleh golongan nasionalis Islam misalnya H. Agus Salim, K.H. Abdul Kahar Muzakkir, K.H. Wachid Hasyim, Ki Bagus Hadikusumo, dan lain-lain.
          Soekarno yang dikenal sebagai salah satu tokoh nasionalis sekuler dan penentang gagasan didirikannya Negara Islam, ketika berpidato pada 1 Juni 1945, dan mengusulkan Pancasila sebagai Dasar Negara, ternyata beliau suka dengan hal-hal yang simbolik. Bahwa Pancasila sebagai lima dasar, seperti Panca Indera, Pandawa Lima, Panca Dharma dan bahkan Rukun Islam juga ada lima (Suwarno, 2012:56-57).
          Setelah proklamasi kemerdekaan Indonesia dikumandangkan, perihal tentang Piagam Jakarta dipersoalkan. Sore harinya, tiba seorang pejabat angkatan laut Jepang yang datang menemui Hatta dan melaporkan bahwa masyarakat penganut Kristen di Indonesia bagian Timur tidak akan bergabung dan tidak mau menjadi bagian dari RI jika beberapa unsur dari Piagam Jakarta disahkan sebagai konstitusi negara. Penerapan Piagam Jakarta dianggap akan mengakibatkan timbulnya kebijakan negara yang bersifat diskriminatif. Namun pada akhirnya, kalimat “dengan menjalankan syari’at Islam bagi pemeluk-pemeluknya” pada sila pertama Piagam Jakarta dihapus setelah menjalani beberapa musyawarah yang menghasilkan perubahan menjadi hanya “Ketuhanan Yang Maha Esa” saja sebagaimana Pancasila sekarang pada sila pertama.
Hilangnya tujuh kata dalam Piagam Jakarta sangat disayangkan oleh umat Islam karena merupakan sebuah kerugian yang besar. Namun karena penghilangan tujuh kata dimaksudkan untuk menyelamatkan Indonesia yang baru merdeka maka hal itu dapat diterima dan bahkan dianggap sebagai sebuah pengorbanan. Bahkan Alamsyah Ratu Perwiranegara, mantan Menteri Agama RI, pernah menyebutkan bahwa “Pancasila merupakan hadiah terbesar yang diberikan kepada umat Islam kepada Republik Indonesia (Suwarno, 2012:58).
Suasana sosial politik Indonesia pada tahun-tahun pertama kemerdekaan memperlihatkan tidak adanya hambatan penting yang menghalangi hubungan politik antara kelompok Islam dengan kelompok nasionalis. Perdebatan mereka tentang corak hubungan antara Islam dan  negara seperti terhenti. Paling tidak, untuk sementara waktu kedua kelompok ini melupakan perbedaan ideologis diantara mereka.
Kelompok Islam menjadikan wadah Masyumi sebagai organisasi politik untuk menyuarakan aspirasi mereka. Para anggota Masyumi adalah kaum modernis dan tradisonalis, baik secara pribadi maupun organisasi seperti Muhammadiyah dan NU. Kekuatan Masyumi antara tahun 1946-1951 benar-benar mencolok. Pada pemilihan umum tingkat regional yang diselenggarakan di beberapa wilayah di Jawa tahun 1946, dan pemilihan umum di Yogyakarta pada tahun 1951, Masyumi meraih suara mayoritas suara mutlak lebih banyak dibanding dengan kontestan lainnya.
Kekuatan Masyumi sebagai partai politik Islam terus diuji sehingga harus mengalami masa surutnya. Diantaranya adalah keputusan anggota-anggota lain yang selama ini menjadi pendukungnya mulai menyatakan keluar dari Masyumi. Terakhir, karena konflik dengan Soekarno yang memaksa Masyumi dibubarkan oleh Presiden pada tahun 1960 sebab para tokoh-tokoh Masyumi dituduh Soekarno terlibat dalam pemberontakan PRRI pada tahun 1957-1958 (Didin Saefuddin Buchori, 2009:317-318).

Politik Islam pada Masa Revolusi Fisik (1945-1949)
Di beberapa wilayah pinggiran, beberapa kelompok Muslim menolak sikap kompromi dan bersikeras untuk bertempur demi merealisasikan sebuah negara Islam. Di antara gerakan pemberontakan Islam yang terbesar adalah Dâr al-Islam, yang didirikan oleh mantan aktivis Sarekat Islam bernama Kartosuwiryo. Ia berperang melawan Belanda pada tahun 1947 dan pada tahun 1948, ia tidak mau menerima perjanjian Renville antara Indonesia dan Belanda, keluar dari partai Masyumi, bertahan untuk melanjutkan pertempuran militer dengan caranya sendiri, dan menyatakan dirinya sebagai imam untuk sebuah pemerintahan Islam sementara, Negara Islam Indonesia. Negara Islam ini ditegaskan sebagai negara yang berdasarkan Al-Qur’an dan hadist, dan sebuah republik konstitusi dengan sebuah parlemen hasil pemilihan. Sang imam, yang dipilih oleh parlemen, merupakan kepala negara. Negara baru tersebut menegaskan bahwasanya negara memberikan perlindungan yang sama di muka hukum, hak standar kehidupan yang tinggi, dan kebebasan beribadah, berbicara, dan perwakilan untuk seluruh warga. Pertempuran militer melawan Belanda dan belakangan melawan Republik Indonesia terus berlangsung hingga gerakan ini akhirnya dibasmi pada tahun 1962.
Setelah Wakil Presiden mengeluarkan Maklumat No. 10 tentang diperkenankannya mendirikan partai-partai politik, tiga kekuatan yang sebelumnya bertikai muncul kembali. Pada tanggal 7 November 1945, Majelis Syura Muslimin Indonesia (Masyumi) lahir sebagai wadah aspirasi umat Islam, 17 Desember 1945 Partai Sosialis yang mengkristalisasikan falsafah hidup Markis berdiri, dan 29 Januari 1946, Partai Nasional Indonesia (PNI) yang mewadahi cara hidup nasionalis “sekuler” pun muncul. Partai-partai yang berdiri sesudah itu dapat dikategorikan ke dalam tiga aliran utama ideologi yang terdapat di Indonesia di atas. Partai-partai Islam setelah merdeka selain Masyumi adalah Partai Sarikat Islam Indonesia (PSII) yang keluar dari Masyumi tahun 1947, Persatuan Tarbiyah Islamiyah (Perti), dan Nahdlatul Ulama (NU) yang keluar dari Masyumi tahun 1952.
Dalam masa-masa revolusi tersebut, konflik ideologi di atas memunculkan tiga alternatif dasar negara yaitu: Islam, Pancasila, dan Sosial Ekonomi. Akan tetapi dalam perjalanan sidang-sidang konstituante itu, perdebatan ideologis mengenai unsur dasar negara terkristal menjadi Islam dan Pancasila (Rif’at Husnul Ma’afi, 2013:82-83).

Politik Islam Periode Demokrasi Parlementer (1950-1959)
          Secara de facto dan de jure, sistem politik Indonesia pada periode ini menganut sistem demokrasi liberal. Dengan ciri khas utama kebebasan politik, sosial, dan ekonomi yang luas, keterbukaan dalam proses politik, kebebasan pers dan media massa, serta penghargaan besar terhadap HAM. Namun sulitnya para elite politik dalam menggalang koalisi yang kokoh dengan partai-partai yang berbeda aliran politik, praktik “politik dagang sapi” yang hanya menguntungkan segelintir elite politik, persaingan elite politik di parlemen yang mengarah pada mosi tidak percaya untuk menjatuhkan kabinet yang berkuasa, kendala komunikasi antara pusat dan daerah dalam sebuah wilayah kepulauan yang luas dan sarana prasarana transportasi dan komunikasi yang belum memadai. Akibatnya timbul dari keadaan seperti instabilitas politik, sosial, ekonomi serta munculnya pergolakan-pergolakan di daerah-daerah seperti Gerakan DI/TII, PRRI dan Permesta (Suwarno, 2012:60-61).
Negara Islam Indonesia (NII) yang kemunculannya oleh berbagai pihak dituding sebagai akibat dari merasa sakit hatinya kalangan Islam, dan bersifat spontanitas, lahir pada saat terjadi vacum of power di Republik Indonesia (RI). Sejak tahun 1926, telah berkumpul para ulama di Arab dari berbagai belahan dunia termasuk H.O.S Tjokroaminoto guna membahas rekonstruksi khilafah Islam yang runtuh pada tahun 1924 sayangnya, isyuro para ulama tersebut tidak membuahkan hasil dan tidak berkelanjutan.
Oleh karena itu, muncullah gerakan yang disebut Darul Islam. Darul Islam secara harfiah berasal dari bahasa Arab dan Al-Islam yang berarti rumah atau keluarga Islam, dunia atau wilayah Islam. Pengertian secara istilah Darul Islam di Indonesia digunakan untuk menyatakan gerakan-gerakan sesudah tahun 1945 yang berusaha dengan kekerasan untuk merealisasikan cita-cita Negara Islam.
Gerakan kekerasan yang bernada Islam ini terjadi di berbagai daerah di Indonesia di antaranya Jawa Barat pada 1949-1962, Jawa Tengah pada 1965, Sulawesi berakhir 1965, di Kalimantan berakhir 1963 dan di Aceh pada 1953 yang berakhir dengan kompromi pada tahun 1957. Gerakan-gerakan Islam tersebut mendapat perlawanan keras dari tentara republik Indonesia karena mereka dianggap tidak patuh dan tunduk pada pemerintah serta melakukan pemberontakan dimana-dimana di antaranya adalah Gerakan DI/TII Jawa Barat yang dipimpin oleh Sekarmaji Kartosuwiryo, Gerakan DI/TII Jawa Tengah yang dipimpin oleh Amir Fattah, Pemberontakan di Sulawesi Selatan yang dipimpin oleh Kahar Muzakkar, Pemberontakan di Kalimantan Selatan yang dipimpin Ibnu Hadjar dan Pemberontakan di  Aceh yang dipimpin Daud Beureuh (Rif’at Husnul Ma’afi, 2013:77-78).
Setelah penyerahan kedaulatan 27 Desember 1949, sejarah politik Indonesia memasuki babak baru dengan diterapkannya sistem demokrasi parlementer dan konstitusi UUD RIS 1949 yang kemudian diganti dengan UUDS 1950. Pada tahun 1950-1957 ditandai dengan jatuh bangunnya partai-partai politik yang berumur rata-rata kurang dari setahun. Setelah  NU keluar dari Masyumi, parpol Islam diwakili oleh Masyumi, NU, PSII, dan Perti. Ciri lainnya tidak satu pun parpol yang mayoritas. Pada masa revolusi, PNI dan Masyumi sering mengadakan kerjasama, namun pada masa ini hubungannya tidak serasi lagi, bahkan dalam saat-saat tertentu sama sekali terputus (Rif’at Husnul Ma’afi, 2013:83).

Politik Islam Periode Demokrasi Terpimpin (1959-1965)
Dalam perkembangannya, Soekarno menggagas ide yang ingin menyatukan paham nasionalisme, Islam dan komunisme yang terkenal dengan sebutan “NASAKOM”. Konsep yang jelas mengenai ide ini tak pernah terumuskan. Ide ini mendapat reaski keras dari umat Islam. Namun secara tidak terduga mendapat dukungan dari NU. Bahkan NU memberikan gelar kepada Soekarno dengan sebutan Waliyyul Amri Dharury bisy Syaukah (arti harfiahnya : Pelindung dalam keadaan darurat dengan pemberian wewenang). Sikap akomodatif NU ini hanyalah suatu pragmatisme politik semata (Didin Saefuddin Buchori, 2009:318).
Pada periode Demokrasi Terpimpin ini, kekuatan umat Islam khususnya kalangan muslim modernis semakin terpinggirkan. Pembubaran Masyumi melalui Surat Keputusan Presiden Soekarno no. 200/tahun 1960 tertanggal 17 Agustus 1960 adalah atas bujuk rayu PKI (atau tekanan TNI AD) yang berhasil mempengaruhi Presiden Soekarno dengan alasan Masyumi menolak konsepsi presiden (Nasakom) dan beberapa tokohnya dituduh terlibat dalam pemberontakan PRRI dan Permesta. Kemudian pada akhir tahun 1960, banyak pemimpin Masyumi yang ditangkap dan dipenjarakan oleh rezim demokrasi terpimpinnya Soekarno tanpa melalui proses peradilan. Jadi kekuatan umat Islam yang tersisa pada demokrasi terpimpin hanya tinggal kalangan Islam tradisionalis yang diwakili oleh NU (Suwarno, 2012:67-68).
Peranan partai Islam di masa itu mengalami kemerosotan. Soekarno makin memperlihatkan otoritasnya sebagai penguasa. Pancasila ditafsirkan sesuai keinginannya. Partai yang mendapat angin waktu itu adalah PKI yang mulai melakukan manuver-manuver politiknya. Dan bahkan pada bulan Mei 1963, NU dan PKI mendukung sepenuhnya pengangkatan Soekarno sebagai presiden seumur hidup (Didin Saefuddin Buchori, 2009:318).

Politik Islam pada Periode Orde Baru (1966-1998)
Awal Orde Baru ditandai dengan dikeluarkannya Surat Perintah Sebelas Maret (Supersemar) tahun 1966. Supersemar menjadi tonggak lahirnya Orde Baru karena sejak itu ada dualisme kekuasaan, satu pihak di tangan Soekarno yang kekuasaannya makin lama makin menurun, dan di pihak lain di tangan Jenderal Soeharto sebagai pengembang Supersemar yang kekuasaannya makin lama makin meningkat (Suwarno, 2012:72).
Harapan baru umat Islam muncul kembali. Masyumi diusulkan untuk direhabilitasi namun ternyata ditolak oleh pemerintah. Sebagai kompensasinya, pemerintah mengizinkan pendirian partai baru untuk menampung para mantan aktivis Masyumi. Nama partai tersebut adalah Partai Muslimin Indonesia (Parmusi) dengan pemimpinnya adalah Djarnawi Hadikusumo dan Lukman Harun. Satu demi satu keinginan umat Islam kandas di tangan Orde Baru. Piagam Jakarta yang diusulkan untuk dilegilisasi kembali pada sidang MPRS tahun 1968 ditolak. Demikian juga keinginan untuk menyelenggarakan Kongres Umat Islam Indonesia pada tahun yang sama pun tidak dikabulkan.
Sikaf saling mencurigai muncul dan merebak, bahkan pemerintahan Orde Baru makin memperlihatkan sikap represifnya terhadap umat Islam. Setiap kegiatan dakwah harus meminta izin dari aparat keamanan, setiap organisasi Islam harus mengganti azaz organisasinya dengan azaz tunggal Pancasila. Kegiatan-kegiatan kemahasiswaan di kampus-kampus juga dibatasi dengan norma-norma yang menyebabkan mahasiswa memfokuskan hanya pada perkuliahan saja, sementara pendakwah yang dianggap membahayakan penguasa dipenjarakan.
Didasarkan pada anggapan bahwa Islam yang kuat secara politik akan menjadi hambatan bagi modernisasi. Dengan mendepolitisasi Islam, mereka berharaf akan mendapat mempertahankan kekuasaan dan melindungi kepentingan-kepentingan mereka.
Kendati Islam secara politik mendapat tekanan dari berbagai sudut, di pihak lain secara kultural kebangkitan Islam justru menyeruak tanpa terbendung. Tercatat pada sekitar pertengahan tahun 1980-an, secara fenomenal dakwah Islam menerobos dinding-dinding gedung mewah seperti hotel-hotel berbintang. Gedung-gedung perkantoran modern banyak menyediakan tempat untuk Shalat Jum’at, pengajian-pengajian muncul di kalangan birokrasi pemerintahan, berbagai kegiatan dakwah seperti tablig akbar mendapat sambutan ribuan pengunjung, masjid-masjis bermunculan, seminar-seminar keislaman diadakan di kampus-kampus sekuler seperti UI, UGM, ITB, IPB dan Universitas Trisakti, para wanita dari kalangan terpelajar banyak yang mengenakan jilbab di kota-kota besar dan buku-buku Islam terbitan baru dengan tema-tema aktual diterbitkan secara besar-besaran.
Tidak hanya itu, bahkan pada tingkat ekonomi berhasil didirikan Bank Muamalat yang beroperasi secara syari’at Islam pada tahun 1992. Sementara pada lapisan kaum intelektual didirikan organisasi bernama Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI) dengan ketuanya B.J. Habibie (Didin Saefuddin Buchori, 2009:319-321).

Politik Islam pada Periode Reformasi (1998-sekarang)
Periode Reformasi dimulai sejak jatuhnya kekuasaan otoriter Soeharto pada 21 Mei 1998 yang disusul dengan naiknya B.J. Habibie menjadi Presiden RI ke-3 (sampai Oktober 1999), kemudian masa Presiden Gus Dur (sejak Oktober 1999 hingga Juli 200 1), lalu masa Presiden Megawati hingga masa sekarang.
Kebebasan yang terbuka lebar di masa ini pula dimanfaatkan oleh umat Islam untuk menata dirinya. Bukan hanya di bidang politik, melainkan juga bidang ekonomi, pendidikan, sosial, dan kehidupan keberagamaan. Banyak fenomena menarik tentang menguatnya kebangkitan politik kaum santri. Kebijakan-kebijakan pemerintah yang pro-Islam semakin tampak terbuka, seperti dicanangkannya program zakat nasional pada tahun 2005 dan penataan madrasah-madrasah di bawah Departemen Agama dengan dukungan dana besar.
Kemudian mengapa penulis tidak membahas secara utuh dan menyeluruh tentang pergerakan Islam masa Reformasi sebab Islam berkembang hanya pada persaingan partai politik belaka, berdirinya parpol baru menyebabkan kebebasan demokratisasi sehingga Islam berkembang dalam bentuk partai politik semata. Partai-partai baru ini tidak menegaskan sebagai partai Islam namun konstituennya adalah kalangan Islam. Dalam segi kebijakan pemerintah, Islam telah masuk dalam ranah perekonomian seperti penerapan sistem syari’ah pada bank-bank yang berlatarbelakang Islam seperti Bank Muamalat yang merupakan warisan dari Orde Baru.
Sebagai tambahan juga seiring dengan perkembangan Teknologi, Informasi dan Komunikasi yang semakin pesat, kalangan Islam memanfaatkan jaringan internet untuk membuat situs dakwah yang menarik dan program TV bernuansa islami. Sementara ditingkat keberagamaan masyarakat terbentuk biro-biro perjalanan haji dan umrah untuk memfasilitasi masyarakat yang hendak melaksanakan ibadah haji dan umrah.
Perkembangan Islam dan kehidupan umat Islam di Indonesia akan terus berjalan seiring berjalannya waktu. Banyaknya kaum muda Islam terpelajar yang bergelar Sarjana, Magister dan Doktor tampaknya membawa angin segar bagi perkembangan baru Islam Indonesia dimasa depan. Beberapa pendapat yang dilontarkan para pakar dan pemikir Islam dunia memprediksi bahwa kebangkitan Islam akan muncul di Asia Tenggara khususnya Indonesia. Apakah itu mitos atau realitas, hanya waktu yang akan menjawabnya.

Peranan Pendidikan dalam Perkembangan Islam Pasca Kemerdekaan
Selain dari organisasi-organisasi yang berkonsep Islam dalam mendukung pergerakan Islam di Indonesia, namun terdapat aspek lain yang tak luput dari pusat perhatian yakni Lembaga Pendidikan. Lembaga-lembaga pendidikan Islam sudah berkembang dalam beberapa bentuk sejak zaman penjajahan kolonial Belanda. Salah satu bentuk pendidikan Islam tertua di Indonesia ialah pesantren yang tersebar di berbagai penjuru pelosok negeri. Lembaga pendidikan pesantren dipimpin oleh seorang kiai atau ulama yang saat itu belum ada kurikulum yang jelas pada tingkat lanjutan. Kemajuan seorang penuntut sangat ditentukan oleh kerajinan, kesungguhan dan ketekunan masing-masing.
Dengan berkembangnya pemikiran Islam di awal abad ke-20, persoalan administrasi dan organisasi pendidikan mulai mendapat perhatian dari beberapa kalangan. Kurikulum sudah mulai jelas, belajar untuk memahami, bukan sekedar menghafal, ditekankan dan pengertian ditumbuhkan. Itulah yang dinamakan dengan Madrasah. Pada umumnya madrasah dibagi menjadi dua jenjang, yaitu tingkat dasar yang dinamakan Madrasah Ibtidaiyah, dan untuk tingkat lanjutan yang dinamakan Madrasah Tsanawiyah.
Setelah Indonesia merdeka, terutama setelah berdirinya Departemen Agama, persoalan pendidikan agama Islam mulai mendapat perhatian lebih serius. Badan Pekerja Komite Nasional Indonesia Pusat pada bulan Desember 1945, menganjurkan agar pendidikan madrasah diteruskan. Badan ini mendesak pemerintah agar memberikan bantuan kepada madrasah. Departemen Agama dengan segera membentuk bagian khusus yang bertugas menyusun pelajaran pendidikan agama Islam, mengawasi pengangkatan guru-guru agama dan mengawasi pendidikan agama (Samsul Munir Amin, 2010:419-420).
Upaya pembinaan madrasah, menuju kesatuan sistem pendidikan nasional,  semakin  ditingkatkan. Usaha tersebut tidak hanya merupakan tugas dan wewenang Departemen Agama saja, tetapi merupakan tugas dan wewenang pemerintah secara keseluruhan bersama masyarakat. Pada tahun 1975, dikeluarkan Surat Keputusan Bersama (SKB) 3 Menteri,  antara  Menteri Dalam Negeri, Menteri Agama dan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, tentang peningkatan  mutu  pendidikan  pada madrasah. Hal ini dilatarbelakangi bahwa siswa-siswa madrasah sebagaimana halnya  tiap-tiap  warga  negara  Indonesia berhak  memperoleh  kesempatan  yang sama  untuk  memperoleh  pekerjaan  dan penghidupan  yang  layak  bagi kemanusiaan  dan  pengajaran  yang  sama, sehingga  lulusan  madrasah, yang menghendaki melanjutkan atau pindah ke sekolah-sekolah  umum  dari  tingkat sekolah  dasar  sampai  perguruan  tinggi. Dalam  rangka  merealisasikan  SKB 3 menteri  tersebut,  maka  pada  tahun  1976, Departemen Agama mengeluarkan kurikulum sebagai standar untuk dijadikan acuan oleh madrasah, baik untuk MI, MTs, maupun Madrasah Aliyah (Beti Yanuri Posha, 2015:81).
Sementara itu, perguruan Islam swasta dalam bentuk lain masih berjalan. Adapun bentuk lembaga pendidikan Islam swasta adalah sebagai berikut: Pertama, pesantren Indonesia klasik, seperti telah disebutkan. Kedua, madrasah diniyah (sekolah agama), yaitu sekolah-sekolah yang memberikan pengajaran tambahan bagi murid sekolah negeri pada usai sekolah. Pelajaran berlangsung di dalam kelas, di waktu sore pada sekolah dasar dan sekolah menengah. Ketiga, madrasah-madrasah swasta, biasanya mata pelajaran dan sistem pengajarannya sama dengan madrasah negeri.
Departemen Agama menganjurkan agar pesantren tradisional dikembangkan menjadi sebuah madrasah, disusun secara klasikal, menggunakan kurikulum yang tetap, dan memasukkan mata pelajaran umum selain agama. Persoalan kualitas lulusan sekolah agama terus ditingkatkan, terutama kemampuan bahasa Arab dan bahasa Inggris.
Berkenaan dengan perguruan tinggi Islam, kaum muslimin di Indonesia sejak awal sudah mulai berpikir untuk membangunnya. Universitas Islam Indonesia (UII) adalah perguruan tinggi Islam pertama yang memiliki fakultas-fakultas non agama. UII bermula diawal tahun 1945, di saat Masyumi memutuskan untuk mendirikan Sekolah Tinggi Islam di Jakarta. Namun sebelum perkembangannya, pada tanggal 22 Januari 1950, sejumlah pemimpin Islam mendirikan sebuah universitas Islam di Solo, kemudian tanggal 20 Februari 1951, universitas Islam yang ada di Yogyakarta disatukan dengan universitas Islam di Solo sehingga menjadi Universitas Islam Indonesia (UII) yang sejak itu memiliki cabang di dua kota tersebut.
Perguruan tinggi Islam yang khususnya terdiri dari fakultas-fakultas keagamaan mulai mendapat perhatian dari Kementerian Agama pada tahun 1950. Pada tanggal 12 Agustus 1950, Fakultas Agama di UII dipisahkan dan diambil alih oleh pemerintah. Pada tanggal 26 September 1951, secara resmi dibuka perguruan tinggi baru dengan nama Perguruan Tinggi Agama Islam Negeri (PTAIN) dibawah pengawasan Kementerian Agama. Kemudian pada tahun 1960, didirikan juga Institut Agama Islam negeri (IAIN), yang juga berada dalam pengawasan Kementerian Agama yang terus mengalami perkembangan pesat sebagai pusat pendidikan tinggi agama Islam. Disamping di kelola oleh negeri, beberapa perguruan tinggi Islam swasta juga telah banyak berdiri dan memiliki fakultas-fakultas umum selain fakultas-fakultas Agama, diantaranya Universitas Muhammadiyah di beberapa kota, Universitas Islam Jakarta, Universitas Muslimin Indonesia (UMI) Makassar, dan sebagainya (Samsul Munir Amin, 2010:420-422).

KESIMPULAN
Dari uraian kalimat tersebut di atas yang bertema “Pergerakan Islam Masa Pasca Kemerdekaan” menyimpulkan bahwa Islam juga berperan dalam upaya mempertahankan kemerdekaan Indonesia serta berusaha membangkitkan kembali kejayaan Islam yang pernah diraih melalui sistem perkembangan kebijakan-kebijakan politik Islam dalam membangun pemikiran-pemikiran modern pada tiap-tiap zamannya sebagai falsafah hidup manusia berbangsa dan bernegara.
Kekucilan Islam dalam era globalisasi ini menjadi tolak ukur bahwa Islam masih hidup di dalam hati tiap-tiap manusia dan bersiap menyongsong era baru melalui para cendekiawan-cendekiawan muslim dalam upaya menghidupkan kembali kejayaan Islam sehingga kekuatan Islam masih dapat diperhitungkan sepanjang umat tidak saling memecahbelahkan keeratan manusia di dunia.  



REFERENSI

Daliman. 2012. Islamisasi dan Perkembangan Kerajaan-Kerajaan Islam di Indonesia. Yogyakarta : Ombak
Husnul Ma’afi, Ri’fat. 2013. Politik Islam di Indonesia Pasca Kemerdekaan hingga Demokrasi Terpimpin. Al-Daulah: Jurnal Hukum dan Perundangan Islam, Volume 3, Nomor 1, April 2013, ISSN 2089-0109
Munir Amin, Samsul. 2010. Sejarah Peradaban Islam. Jakarta : Amzah
Saefuddin Buchori, Didin. 2009. Sejarah Politik Islam. Jakarta : Pustaka Intermasa
Suwarno. 2012. Sejarah Politik Indonesia Modern. Yogyakarta : Ombak
Yanuri Posha, Beti. 2015. Perkembangan Islam di Indonesia Pasca Kemerdekaan. Jurnal HISTORIA Volume 3, Nomor 2, Tahun 2015, ISSN 2337-4713
Yatim, Badri. 2013. Sejarah Peradaban Islam Dirasah Islamiyah II. Jakarta : PT. RajaGrafindo Persada


Artikel sebenarnya ini ditujukan kepada Dosen Sejarah saya yaitu Bapak Ravico, M.Hum.
Meski hasilnya dengan apa adanya tetapi saya tetap berusaha. 

POSTINGAN TERBARU

Sejarah SUBKOSS menjadi KODAM II/Sriwijaya

 

POSTINGAN POPULER