Tulisan Bergerak

Selamat Datang. Selamat Mengunjungi halaman blog saya. Semoga anda menyukainya dan menemukan apa yang engkau cari. Terima Kasih. Barakallah.

Jumat, 18 November 2016

Situs Gua Batu

Dari keterangan masyarakat sekitar, dahulu gua ini pernah digunakan sebagai tempat persembunyian ketika rakyat Indonesia berperang melawan penjajah kolonial Belanda. Dan perlu diketahui pula bahwa gua ini ditemukan pintu berupa lubang besar sebagai tempat masuk kedalam, dan diujungnya pasti ada tempat keluar, jadi perlu penelitian lebih lanjut untuk membuktikan kebenaran yang ada.
Dari hasil penelitian yang diperoleh, diperkirakan gua Batu ini merupakan pilar dari zaman prasejarah, dapat dibuktikan dengan lempengan-lempangan dinding gua yang masih digunakan dan stalaktit-stalaktit yang masih berfungsi. Gua Batu ini memiliki panjang ±200 meter dan tinggi ±7 meter lalu mengerucut kedalam, sebab gua ini memanjang dari tiap masing-masing sisi. Dari sisi tampak depan, ditengah gua terdapat sebuah lubang berdiameter sekitar 80 cm yang bisa dimasuki oleh remaja saja. Karena hanya kedalaman 3 meter yang dapat dimasuki sebab semakin kedalam maka lubang gua semakin menyempit. Namun kedalaman gua secara keseluruhan tidak dapat dipastikan karena memerlukan waktu dan juga biaya dalam mendukung penelitian ini.
Kita perlunya uluran tangan dan perhatian khusus dari pemerintah dalam membantu proses penelitian ini agar dapat mengetahui lebih dalam apa yang ditinggalkan oleh gua Batu ini dan dapat dijadikan basis destinasi wisata kesejarahan lokal dengan maskot “Pesona Indonesia” untuk meningkatkan nilai perekonomian masyarakat disini.
Diharapkan penelitian ini tidak cukup sampai disini, sebab masih banyak yang harus dilakukan sebagai tindak lanjut dari proses penelitian ini, dengan menjalin kerjasama dengan pihak-pihak terkait dalam mengupayakan pelestarian peninggalan sejarah yang ada di Lubuklinggau. Sementara itu peninggalan sejarah yakni gua Batu ini dapat dijadikan materi pembelajaran sejarah lokal di sekolah-sekolah, terlebih lagi muatan sejarah lokal untuk kurikulum 2013 lebih banyak dibanding dengan sejarah nasional, jadi mendapat porsi tersendiri bagi yang bergerak di lingkup kesejarahan lokal. Dan gua Batu ini pula dapat dijadikan sebagai media pembelajaran untuk siswa dalam membantu proses belajar mengajar, agar tingkat kebosanan atau kejenuhan akan belajar sejarah dapat dioptimalkan kembali. Tiada lain dan tiada bukan yang mampu mengangkat potensi sejarah selain kita sendiri atas kepedulian dan kehausan kita tentang sejarah yang notabene bergerak di bidang tersebut.


Gambar 1.1.  Gua Batu



Gambar 1.2.  Gua Batu



 Gambar 1.3 Papan Penanda



Gambar 1.4.  
Komunitas Pecinta Sejarah Bumi Silampari, Mahasiswa P3 STKIP PGRI LLG serta
Guru dan Murid Pramuka SMPN 14 Lubuklinggau


Gambar 1.5.
Di ekspos ke Koran

Menelisik Tradisi Masyarakat Pada Situs Megalitik Berlanjut Di Desa Ulak Lebar, Kota Lubuklinggau



BAB II
PEMBAHASAN

2.1.  Perkembangan Tradisi Masyarakat Pada Situs Megalitik Berlanjut
        Di Desa Ulak Lebar
Kota Lubuklinggau memiliki peran yang cukup berarti dalam perjalanan sejarah Indonesia khususnya di Provinsi Sumatera Selatan. Dari data arkeologi yang ditemukan di wilayah tersebut, telah diketahui bahwa terdapat pemukiman kuno yang diperkirakan telah ada sejak masa prasejarah. Dalam perkembangan selanjutnya, meski pengaruh agama Islam telah masuk ke wilayah ini, tetapi tradisi kehidupan masyarakat prasejarah ternyata masih terus berlanjut seperti yang dapat kita lihat pada Situs Ulak Lebar.
Dari hasil pemetaan wilayah, Situs Ulak Lebar ini terletak di Desa Ulak Lebar, Kelurahan Sidorejo, Kecamatan Lubuklinggau Barat II, yang berjarak kurang lebih sekitar 1,5 km ke arah Barat dari pusat kota. Lokasi situs ini ditandai dengan berdirinya Bukit Sulap, aliran Sungai Kelingi, Sungai Kasie, dan Sungai Ketue.
Dalam Suwandi (2016:10)  pada bukunya yaitu Silampari; Hikayat Putri Yang Hilang menjelaskan bahwa “Ulak Lebar adalah nama sebuah negeri yang pernah ada pada zaman dahulu. Letaknya di Lembah Bukit Sulap yang terkenal dan menjadi kebanggaan Kota Lubuklinggau. Di bawah kaki Bukit Sulap ini terdapat sungai-sungai seperti Sungai Kasie dan Sungai Ketue yang mengalir ke arah selatan agak ke tenggara yang bermuara di Sungai Kelingi. Hal tersebut menunjang sebuah hubungan perekonomian melalui jalur sungai sehingga dikenal dengan istilah Poros Ulu-Ilir, sebab pelayaran dari Sungai Musi yang kemudian memasuki sungai utama yaitu Sungai Kelingi, perahu dagang (Jong-jong) biasa menepi di sebelah hilir negeri Ulak Lebar. Kemudian para pendatang yang akan mengadakan hubungan dengan elite tradisional di Ulak Lebar dapat mengikatkan tali jong-jongnya pada Lubuk Genting Tigas yang berada tepat di pelataran halaman Benteng Kuto Ulak Lebar.” Dari pernyataan diatas, dapat ditarik suatu kesimpulan bahwa adanya hubungan dagang melalui sungai merupakan aspek penting dalam menunjang suatu peradaban manusia melalui aktifitas perdagangan mereka kala itu, terlepas dari apa yang ditinggalkan namun hal tersebut dijadikan sebagai objek vital akan nilai-nilai kesejarahan yang bernilai tinggi.
Lalu Situs Ulak Lebar yang berada di kaki Bukit Sulap ini, telah ditemukan berupa sebuah benteng tanah yang terletak antara Sungai Kelingi dan Sungai Ketue. Benteng ini berupa gundukan tanah yang membentang di sisi Barat dan Timur, sedangkan pada sisi Utara dan Selatan berbatasan langsung dengan Sungai Kelingi dan Sungai Ketue yang bertebing curam. Gundukan tanah yang merupakan dinding benteng mempunyai tinggi ± 2 m dan lebar ± 4 m. Benteng Ulak Lebar ini berdenah agak membulat dengan pintu masuk terdapat di sisi Timur, sehingga benteng tanah ini disebut juga Benteng Kuto Ulak Lebar, sebab dibuat tinggi dari tiap-tiap sisinya. Seperti yang telah dijelaskan oleh Suwandi (dalam Suparni, 2013:24) dikatakan bahwa “Benteng Kuto Ulak Lebar ini terbuat dari tanah sebagai dinding benteng yang di bangun dengan membuat pematang lalu ditinggikan, tanahnya diambil dari galian di sekeliling lokasi sehingga dari luar, praktis dinding benteng menjadi tinggi karena bekas tanah menjadi selokan yang dalam. Sehingga benteng dari tanah ini yang tinggi ini disebut Kuto atau Kute.”
Menurut Aryandini Novita (2001:11) dalam Harian Sriwijaya Post mengatakan “Dalam perkembangannya, sebuah pemukiman yang dilengkapi dengan benteng tanah diperkirakan telah ada sejak masa prasejarah, tepatnya pada saat masyarakat telah mengenal kegiatan yaitu bercocok tanam dengan bertani. Pada masa itu pula, pemukiman-pemukiman masyarakat sudah mulai menetap sehingga diperlukan sebuah bangunan yang berfungsi untuk melindungi pemukiman tersebut dari ancaman-ancaman binatang buas maupun serangan dari pengaruh luar di sekitar wilayah pemukiman masyarakat tersebut.
Pada masa itu juga, berkembang sebuah tradisi yang dikenal dengan istilah ‘tradisi megalitik’. Tradisi ini mengacu pada pendirian bangunan dari batu besar yang berkaitan dengan kepercayaan akan adanya hubungan antara yang hidup dan yang mati, terutama kepercayaan akan adanya kekuatan dari yang telah mati terhadap kesejahteraan masyarakat dan kesuburan tanaman.
 Tradisi megalitik diwujudkan dalam bentuk benda peninggalan antara lain seperti punden berundak-undak, dolmen, sarkofagus, dan menhir. Bangunan-bangunan dari tradisi megalitik ini umumnya berfungsi sebagai kuburan ataupun tempat pemujaan terhadap roh leluhur. Salah satu tinggalan arkeologi dari tradisi megalitik yang berfungsi sebagai tempat pemujaan tersebut adalah menhir. Menhir ialah batu tegak, yang diletakkan dengan sengaja di suatu tempat untuk memperingati orang yang telah mati. Menhir dianggap sebagai media penghormatan, menampung kedatangan roh sekaligus menjadi lambang dari orang-orang yang dihormati (Novita, 2001:11).
Diungkapkan oleh Suwandi (dalam Suparni, 2013:24) yang didasari pada penelitian seorang arkeolog bidang Islam Klasik, bernama Dr. Suwedi Montana yang menganalisis tentang pemukiman dan benteng tanah yang ada di Situs Ulak Lebar, diungkapkan bahwa “Tradisi bangunan benteng yang terbuat dari tanah seperti di Situs Ulak Lebar termasuk pada tradisi Islam Klasik sekitar abad 14-17 Masehi. Pada masa itu masyarakat Ulak Lebar baru mendapat pengaruh Islam maka tradisi penguburan sudah mulai mengacu pada tradisi Islam, sedangkan batu nisan menggunakan menhir karena pengaruh tradisi lama yang masih di percaya oleh masyarakat. Oleh sebab itu, tradisi megalitik di Situs Ulak Lebar disebut Tradisi Megalitik Berlanjut.” Keistimewaan menhir-menhir yang ada di Desa Ulak Lebar, bahwasannya semua menhir berdiri dalam posisi berpasang-pasangan dan masing-masing pasangan berorientasi arah Utara dan Selatan, khas makam Islam dengan menghadap ke Kiblat.
Kemudian Suwandi (dalam Suparni, 2013:23), mengungkapkan bahwa “Ukuran pada tiap-tiap menhir berpasangan sangat bervariasi. Menhir yang masih ada saat sekarang berjumlah sekitar 132 buah atau 66 pasang, yang tersebar dari sektor satu sampai sektor tujuh, ada yang berukuran tinggi 0-50 cm, lalu berukuran tinggi 50-100 cm, serta ada pula yang berukuran tinggi diatas 100 cm. Namun jumlah menhir yang berukuran tinggi diatas 100 cm berjumlah sangat sedikit, jika dibandingkan jumlah menhir yang berukuran tinggi 0-50 cm dan 50-100 cm, dapat dilihat disini bahwa ukuran 0-50 cm berjumlah 35 buah menhir, ukuran 50-100 berjumlah 80 buah menhir, dan ukuran diatas 100 berjumlah 17 buah menhir. Hal ini menggambarkan bahwa orang-orang atau rakyat biasa jumlahnya lebih besar dibandingkan orang-orang yang status sosialnya tinggi atau menengah. Karena apabila orang yang derajat atau status sosialnya lebih tinggi maka menhir penguburannya lebih besar, sedangkan orang yang statusnya sosialnya lebih rendah bentuk menhir penguburannya kecil dan pendek yang diletakkan di tempat tersendiri dari yang lain.”
Jika dibandingkan Situs Ulak lebar dengan situs yang ada di Sumba dan Flores, maka dapat di analogikan bahwa menhir-menhir atau batu tegak berpasangan di Situs Ulak lebar ini berkaitan dengan tradisi penguburan, seperti halnya di Sumba dan Flores. Menhir berpasangan di Situs Ulak Lebar di pergunakan sebagai tanda kubur atau batu nisan jika diasumsikan pada zaman sekarang. Dengan demikian, tinggi rendahnya tanda kubur tersebut berkaitan dengan status sosial orang yang dikubur ketika semasa hidupnya.
Dari hasil kegiatan observasi tim survey invertigasi Cagar Budaya dan Benda Purbakala Nasional pada tahun 1995 telah ditemukan bahwa “Pada tinggalan situs kepurbakalaan ini, selain dari menhir berpasangan sebagai makam manusia dan benteng alam seperti gundukan tanah yang ditinggikan sebagai benteng pertahanan, ditemukan pula seperti pecahan-pecahan gerabah ataupun pecahan-pecahan keramik asing (China) yang tersebar di beberapa sektor yang ada di Situs Ulak Lebar (Suwandi, 1995:14-19)”. Hal tersebut diindikasikan ketika sungai dijadikan sarana sebagai alat transportasi poros hulu hilir dengan belum adanya jalan raya, aktifitas kontak dagang telah terjadi di sini dengan hubungan jalur sungai untuk mencapai pemukiman masyarakat di sana, terlebih lagi mata pencaharian masyarakat ialah petani sehingga memungkinkan masyarakat melakukan sistem barter untuk menunjang kegiatan perekonomian.     
Kemudian untuk mempermudah penjelasan mengenai persebaran menhir berpasangan tersebut, maka dapat di bagi dalam beberapa sektor, dan setiap sektor di bagi lagi menjadi beberapa grup. Untuk di kawasan Situs Ulak Lebar sendiri terdiri dari 7 buah sektor, yaitu dua sektor berada di sebelah Selatan sungai Kelingi (sektor I dan sektor II), satu sektor terletak di sebelah Timur benteng tanah (sektor III), dua sektor dalam kompleks benteng (sektor IV dan sektor V), dan dua sektor terletak di sebelah Barat benteng (sektor VI dan sektor VII), dan ada tambahan dua sektor lagi (sektor VIII dan sektor IX), tetapi letaknya tidak satu komplek dengan Situs Ulak Lebar melainkan di puncak Bukit Sulap.
Dalam hal ini, Suwandi (1995:10-23) dapat menjelaskan secara rinci mengenai sektor-sektor pada menhir berpasangan ialah sebagai berikut :
a.       Sektor I
Pada Sektor I, terdapat 12 pasang menhir yang terbagi atas Grup A dan Grup B. Kemudian posisi nisan menunjukkan arah Utara dan Selatan. Pada sektor ini juga, tidak ada perubahan yang terjadi di sekitar sektor kecuali pecahan gerabah dan keramik yang sudah tidak ada lagi sebab lapisan humus tanah sudah ada tanaman kopi warga di sekitar sektor yang tebal dan lembab.
b.      Sektor II
Pada sektor II ini terdapat empat buah grup menhir berpasangan. Luas sektor II sekitar ± 36.000 m2. Sektor ini sangat banyak dijumpai pecahan gerabah polos dan pecahan keramik asing. Sejak tahun 1995, sebagian lokasi dari sektor II dimanfaatkan oleh masyarakat untuk melakukan penambangan pasir dan batu kali sebab letaknya berdekatan dengan sungai utama yaitu Sungai Kelingi. Dan sebagian wilayah sektor II mengalami kerusakan akibat adanya penambangan pasir dan batu kali tersebut.
c.       Sektor III
Sektor III terletak di sebelah Timur benteng Kuto yang ke arah Utara Sungai Kelingi dan lebih dekat dengan Sungai Ketue. Jumlah menhir pada sektor III ini sebanyak sekitar 50 pasang dan terbagi menjadi 10 grup.
d.      Sektor IV dan Sektor V
Sektor IV ini berada di dalam lokasi benteng kuto Ulak Lebar. Dalam hal ini ditemukan berupa sepasang menhir berpasangan berposisi Utara dan Selatan, letaknya hanya 4 meter dari tebing curam tepian sungai Kelingi. Namun hal yang menarik dari temuan menhir berpasangan di sektor IV ini, diindikasikan merupakan tempat persemayaman terakhir dari sosok Bujang Kurap yang telah menjadi cerita rakyat masyarakat Kota Lubuklinggau.
Tak jauh dari menhir berpasangan di sektor IV, yang terpisah oleh jalan proyek irigasi sungai Kasie, terdapat sepasang menhir berpasangan lagi pada sektor V ini. Namun temuan yang menonjol pada sektor IV dan sektor V ini adalah temuan pecahan keramik asing di sepanjang jalan yang dibuat oleh proyek irigasi sungai Kasie, di hitung dari dalam lokasi benteng ditemukan tidak kurang dari 8 kg pecahan keramik asing yang bervariasi berasal dari Dinasti Sung, Dinasti Ming, dan Dinasti Ching.
e.       Sektor VI dan Sektor VII
Temuan pada sektor VI dan sektor VII di Situs Ulak Lebar ini mengenai menhir berpasangan tidak ada perubahan. Di sektor VI itu sendiri terdapat satu grup dengan dua pasang menhir berpasangan, dan di sektor VII terdapat dua group dengan tujuh pasang menhir berpasangan.

2.2.  Perkembangan Sosial dan Stratifikasi Masyarakat Pada Situs Megalitik
        Berlanjut Di Desa Ulak Lebar
Seperti yang telah diungkapkan sebelumnya, bahwa tradisi dari masa prasejarah ini ternyata terus dipakai oleh masyarakat Lubuklinggau dahulu meskipun pengaruh agama Islam telah masuk di wilayah ini. Memang setelah agama Islam masuk di wilayah ini, benda-benda dari tradisi megalitik masih digunakan tetapi fungsinya sudah beralih. Jika awalnya menhir dianggap sebagai media penghormatan, maka pada masa awal pengaruh perkembangan Agama Islam, menhir tersebut digunakan sebagai nisan. Meskipun keberadaannya masih tetap berkaitan dengan penghormatan terhadap orang yang telah mati, tetapi pada masa itu menhir sudah tidak dipuja lagi melainkan hanya digunakan sebagai tanda sebuah penguburan seperti halnya pada makam-makam di Situs Ulak lebar.
Lalu Suwandi (2012:87-88) menjelaskan dalam bukunya yaitu Bujang Kurap; Cerita Rakyat Musi Rawas – Lubuklinggau dikatakan bahwa “Kuburan-kuburan lama yang batu nisannya berupa batu-batu besar tersusun tegak menurut tradisi megalitik tanpa identitas atau aksara, menunjukkan bahwa pada masa lalu mereka telah ada kehidupan yang teratur, bermasyarakat, religius, gotong royong, kebersamaan, dan serta aktifitas lain. Kehidupan sosial kemasyarakatan mereka telah tampak teratur karena adanya kendali penguasa teritorial bagian dari wilayah Kesultanan Palembang di kawasan Ulak Lebar.” Jadi dapat disimpulkan bahwa di kawasan strategis inilah pada masa itu layak dijadikan sebuah negeri, karena mempunyai persyaratan umum yang tepat, yaitu dengan adanya lembah yang subur, dataran yang luas yang terletak di kaki Bukit Sulap. Serta lingkungan yang praktis dibentuk oleh tiga aliran sungai yang telah disebutkan diatas.
Diungkapkan oleh Suwandi (2012:13-14) melalui penuturannya yang dikaitkan pada aspek legenda mengenai negeri Ulak Lebar berdasarkan para penutur generasi yang lahir pada akhir abad ke 19 sampai awal abad 20, diceritakan bahwa “Ketika seorang Raja Biku sebagai sosok sakti yang mengembara dari kawasan Laut China hingga sampai di negeri Ulak Lebar, ia bertapa ataupun bersemedi untuk memperoleh petunjuk dalam mendirikan sebuah kerajaan kecil. Dalam tapanya, ia didatangi oleh Dewa Mantra Guru Sakti Tujuh dari kayangan yang memberinya tugas besar, yaitu diperintahkannya untuk berdiam di puncak bukit sebagai penjaga dan pemberi berkah bagi orang-orang yang tinggal di wilayah Ulak Lebar nantinya beserta negeri-negeri lain disekitarnya. Kemudian Raja Biku menikahi Puteri Ayu Selendang Kuning yang merupakan adik dari Dewa Mantra Guru Sakti Tujuh, mereka bersama membentuk keluarga, selain itu mereka juga mendirikan sebuah kerajaan yaitu Ulak Lebar di kawasan segitiga sungai Kasie, Ketue dan dan sungai Kelingi.
Sebagaimana sebuah kerajaan, masyarakat Ulak Lebar pun terbagi dalam beberapa tingkatan masyarakat yaitu :
·      Golongan Raja (Raja dan keluarga raja)
·      Golongan Menter (Menteri dan kaum cendekiawan kerajaan)
·      Golongan Hulubalang (40 Hulubalang Pilihan dan Hulubalang Jajal Batikan)
·      Golongan Biasa (Petani dan pedagang)
·      Golongan Jitan atau Senan {(Suwandi, 2012:15)}.
  Hingga pada masa selanjutnya, negeri Ulak Lebar berkembang menjadi pemukiman-pemukiman pada aspek pertanian yang menetap, kemudian terjadi kontak dagang dengan pendatang, menggambarkan aktifitas sosial mereka cukup tinggi sehingga diperlukan sosok pemimpin yang dapat mengayomi masyarakat dan cukup disegani. Lalu berkembanglah sosok yang bernama Depati ataupun Gindo sebagai pemimpin di negeri yang telah dianggap sebagai peninggalan nenek moyang mereka.
Temuan berupa menhir-menhir berpasangan ini, dapat dianalogikan merupakan makam dari beberapa para pemimpin elit tradisional dan juga makam masyarakat yang pernah tinggal di negeri Ulak Lebar. Dimana bila ada sebuah makam maka ada sebuah kehidupan yang pernah dibuat sebelumnya disana. Namun untuk mengetahui secara pasti, siapa saja tokoh-tokoh masyarakat yang dimakamkan di Situs Ulak Lebar tidak bisa digambarkan sebab hanya keturunannya sajalah yang dapat menjelaskan.
Ditambahkan lagi oleh Novita (2001:11) diungkapkan bahwa “Di dalam benteng kuto Ulak lebar, terdapat beberapa makam-makam dimana tokoh-tokoh dimakamkan, pada situs tersebut dikenal penduduk setempat sebagai makam Raden Kuning, Depati Bodo dan Depati Jokuto ataupun Bujang Kurap yang pernah singgah disana. Keunikan yang terlihat dari makam di sini ialah nisan pada makam tersebut berbentuk seperti menhir berpasangan. Makam Depati Jokuto berada di dalam Benteng Ulak Lebar, ia adalah Depati Negeri Ulak Lebar yang memerintah di wilayah tersebut pada tahun 1824. Sebenarnya ia merupakan depati sementara karena menggantikan kakaknya, Depati Lang Gandus, yang pada saat itu dimintai bantuan oleh Kesultanan Palembang untuk ikut berperang melawan Belanda. Kemudian juga terdapat Kompleks Makam Batu Bertunas yang terletak di sebelah timur bagian luar benteng. Di kompleks makam ini terdapat paling tidak 45 buah makam, namun seperti yang telah diuraikan sebelumnya tokoh yang dimakamkan di kompleks tersebut tidak diketahui sehingga masyarakat setempat menamainya dengan Kompleks Makam Batu Bertunas. Jika makam Depati Jokuto dan Kompleks Makam Batu Bertunas terletak di lahan yang sama dekat benteng Ulak Lebar, maka Kompleks makam Raden Kuning dan Depati Bodo terletak di seberang Sungai Kelingi yang berada di sebelah selatan benteng. Di Kompleks Makam Raden Kuning terdapat 4 buah makam, sedangkan di Kompleks Makam Depati Bodo yang berada di sebelah barat lautnya terdapat 5 buah makam. Berdasarkan catatan sejarah, Depati Bodo adalah depati pertama negeri Ulak Lebar yang memerintah sekitar tahun 1789. Ia berasal dari Palembang dan pernah menjabat sebagai hulubalang pada Kesultanan Palembang Darussalam. Berbeda dengan Depati Bodo, tokoh yang bernama Raden Kuning ini tidak diketahui jabatan dan kedudukannya, tetapi jika dilihat dari keletakan makamnya yang berada di dekat tokoh negeri Ulak Lebar kemungkinan ia juga merupakan seorang yang cukup penting di negeri ini.”
 


BAB III
PENUTUP

3.1.  Kesimpulan
Situs Ulak Lebar ini terletak di Desa Ulak Lebar, Kelurahan Sidorejo, Kecamatan Lubuklinggau Barat II, yang berjarak kurang lebih sekitar 1,5 km ke arah Barat dari pusat kota. Lokasi situs ini ditandai dengan berdirinya Bukit Sulap, aliran Sungai Kelingi, Sungai Kasie, dan Sungai Ketue.
Kemudian pada Situs Ulak Lebar yang berada di kaki Bukit Sulap ini, telah ditemukan berupa sebuah benteng tanah yang terletak antara Sungai Kelingi dan Sungai Ketue. Benteng ini berupa gundukan tanah yang membentang di sisi Barat dan Timur, sedangkan pada sisi Utara dan Selatan berbatasan langsung dengan Sungai Kelingi dan Sungai Ketue yang bertebing curam.
Untuk di kawasan Situs Ulak Lebar sendiri terdiri dari 7 buah sektor, yaitu dua sektor berada di sebelah Selatan sungai Kelingi (sektor I dan sektor II), satu sektor terletak di sebelah Timur benteng tanah (sektor III), dua sektor dalam kompleks benteng (sektor IV dan sektor V), dan dua sektor terletak di sebelah Barat benteng (sektor VI dan sektor VII), dan ada tambahan dua sektor lagi (sektor VIII dan sektor IX), tetapi letaknya tidak satu komplek dengan Situs Ulak Lebar melainkan di puncak Bukit Sulap.

3.2.  Saran
            Terlepas dari peristiwa sejarah yang pernah terjadi pada masa lampau, kita selaku pelaku sekaligus penerus sejarah dari abad modern ini sebaiknya melestarikan serta menjaga atas peninggalan-peninggalan sejarah yang ditinggalkan oleh para nenek moyang kita, agar anak cucu kita nanti di masa depan masih dapat melihatnya. Sudah selayaknya peninggalan sejarah yang ada dijadikan sebagai aset ataupun Benda Cagar Budaya (BCB) di Lubuklinggau untuk mendongkrak wisata kesejarahan yang bernilai tinggi terhadap peristiwa yang dibuat oleh para nenek moyang dahulu yang pernah hidup dan membuat peradaban di Ulak Lebar atas megalith-megalith yang ditinggalkan. Sekian dan Terima Kasih. Barakallah. 

DAFTAR PUSTAKA

Novita, Aryandini. “Situs Ulak Lebar, Kabupaten Musirawas. Tinggalan Megalitik Pada Masa Awal Perkembangan Agama Islam.” Harian Sriwijaya Post, 03 Juni 2001
Suparni. 2013. Skripsi; Upaya Meningkatkan Hasil Belajar Pada Materi Menghargai Berbagai Peninggalan Sejarah Setempat Tentang Situs Megalitik Berlanjut Di Desa Ulak Lebar Melalui Model Pembelajaran Artikulasi Pada Siswa Kelas IV SD Islam Biatul A’la Lubuklinggau Tahun Ajaran 2012-2013. Lubuklinggau: STKIP PGRI Lubuklinggau
Syam, Suwandi. 2012. Bujang Kurap; Cerita Rakyat Musi Rawas – Lubuklinggau. Lubuklinggau: bennyinstitute
                            . 2016. Silampari; Hikayat Putri yang Hilang. Lubuklinggau: bennyintitute
                            . 1995. Buku Hasil Observasi Survey Penelitian Pada Situs Ulak Lebar. Tidak diterbitkan

POSTINGAN TERBARU

Sejarah SUBKOSS menjadi KODAM II/Sriwijaya

 

POSTINGAN POPULER