Tulisan Bergerak

Selamat Datang. Selamat Mengunjungi halaman blog saya. Semoga anda menyukainya dan menemukan apa yang engkau cari. Terima Kasih. Barakallah.

Minggu, 31 Juli 2022

Onderneming Taba Pingin Nv: Sejarah Perkebunan Kelapa Sawit di Loeboeklinggau

 

Oleh Berlian Susetyo*

 

 

Pada awalnya orang-orang Belanda tidak terlalu menaruh perhatian besar terhadap kelapa sawit. Mereka lebih mengenal minyak kelapa. Namun, seiring revolusi industri (1750–1850) yang terjadi di Eropa, mendorong terjadinya lonjakan permintaan terhadap minyak. Hal ini mendorong pemerintahan Hindia Belanda mencoba melakukan penanaman kelapa sawit di beberapa tempat.

Kelapa Sawit (Elaeis guineensis) bukan tanaman asli Indonesia. Tanaman ini merupakan tanaman asli dari Afrika Barat dan Afrika Tengah. Di Indonesia, sejarah kelapa sawit berawal dari empat biji kelapa sawit yang dibawa oleh Dr. D. T. Pryce, masing-masing dua benih dari Bourbon, Mauritius dan dua benih lainnya berasal dari Hortus Botanicus, Amsterdam, Belanda, pada tahun 1848. Keempat biji kelapa sawit itu kemudian ditanam di Kebun Raya Bogor dan ternyata berhasil tumbuh dengan subur. Setelah berbuah, biji-biji dari induk kelapa sawit tersebut disebar ke Sumatera (Sejarah Kelapa Sawit di Indonesia pada id.wikipedia.org).

Pulau Sumatera, terutama di wilayah Palembang tepatnya di kawasan Uluan memiliki tanah subur dan penduduk yang makmur. Kekayaan yang terkandung di tanah digunakan untuk mendatangkan kesejahteraan besar, bukan hanya bagi kolonial Belanda, tetapi juga masyarakat lokal. Sehingga Palembang berkembang menjadi wingewesten (daerah dengan keuntungan) bagi kas Belanda selama periode abad ke-20. Para pendatang menyerbu dan mengadu nasib untuk mengejar keuntungan ekonomi dengan membuka berbagai macam usaha salah satunya perkebunan, baik perseorangan maupun korporasi.

Sebuah arsip Belanda yang ditulis Hunger dalam buku De Oliepalm (Elaeis Guineensis) Historisch Onderzoek Over Den Oliepalm in Nederlandsch-Indie (1924:171-172) menuturkan bahwa penanaman kepala sawit di wilayah Karesidenan Palembang pertama kali diujicobakan di Muara Enim (Lematang Ilir) tahun 1869 yang memiliki 258 pohon, 140 diantaranya telah berbuah, bertambah lagi 53 pohon yang menghasilkan buah. Penanaman itu diminati, meskipun ada dukungan dari pemerintah namun tidak mendapat dukungan dari penduduk. Sehingga penanaman sawit diujicobakan disana sini seperti di Moesi Oeloe (Musi Rawas) tahun 1870, tetapi sedikit mendapat dukungan, dan juga ada sanksi yang jatuhkan oleh pemerintah. Kemudian percobaan juga dilakukan di Banyuasin (Pangkalan Balai), tampak tidak tumbuh subur, juga jumlahnya terlalu kecil. Dilakukan ujicoba di Belitung tahun 1890, akan tetapi, hasilnya belum begitu baik disebabkan faktor iklim masih kurang sesuai untuk pertumbuhan kepala sawit. Serta ujicoba penanaman juga dilakukan di Ogan, Komering dan Blida tahun 1896, sangat berhasil dan pohon-pohon tampak bagus. Kepala sawit disini semua orang telah mengetahui dan dibudidayakan, apalagi penduduk disana menyukai minyak kelapa.

Namun setelah kehadiran perusahaan-perusahaan perkebunan asing juga didorong oleh pemberlakuan UU Agraria (Agrarisch Wet) oleh pemerintah Hindia Belanda pada tahun 1870. Undang-undang ini memberikan konsesi berupa hak guna usaha (erfpacht) kepada para pemodal asing. Sehingga orang-orang Eropa berdatangan mencari keuntungan sebanyak-banyaknya ditampung oleh instansi, baik partikelir dan non-partikelir. Mereka menguasai sektor padat modal di bidang perkebunan besar, terutama karet dan kelapa sawit. Oedjan mas berdampak sangat besar bagi penduduk lokal pribumi ketika mengalihkan tanaman substansi masa kesultanan menjadi tanaman komersial ekspor yang diperkenalkan kolonial Belanda.

Seiring dengan berkembangnya revolusi industri, maka permintaan minyak nabati dari hasil pengolahan kepala sawit semakin melonjak dan meningkat, sehingga menjadi kepentingan dagang yang mulai menjamur di tanah Sumatera. Dalam lembaran surat kabar ‘Deli Courant no. 181’ tertanggal 8 Agustus 1926, juga disampaikan bahwa budidaya kepala sawit menawarkan prosfek yang baik, yang menurut Vester akan dioptimalkan, sebab penggunaan minyak nabati sebagai bahan baku pembuatan lemak nabati terus meningkat. Dan sebuah pabrik sekarang sedang dibangun, sebuah perusahaan Taba Pingin, bahan-bahannya akan dipasok oleh industri Belanda. Namun kesulitan-kesulitan transportasi masih tetap menjadi hambatan besar bagi perkembangan industri yang sangat pesat, tetapi pada waktunya hal ini juga akan teratasi. Meskipun begitu, penulis (Berlian Susetyo dan Ravico) katakan dalam Perekonomian Masyarakat Onder Afdeeling Moesi Oeloe Tahun 1900-1942 (2021) bahwa, “Kolonial Belanda telah merencanakan pembangunan jalur kereta api untuk wilayah Palembang dengan rute Kertapati menuju Lubuklinggau sebagai sarana transportasi alat angkut hasil perekonomian perkebunan dan pertanian (hlm. 23)”.

Pembukaan perkebunan kepala sawit pertama kali dibuka tahun 1911 oleh perusahaan A. Hallet asal Belgia serta K. Schadt di Deli (Sumatera Utara) dan Sungai Liat (Aceh) melalui perusahaan Sungai Liput Cultuur Maatschappij dengan luas lahan 5.123 Ha. Salah satu perkebunan karet terbesar di masa kolonial Belanda di Pulau Sumatera. Kemudian perkebunan kepala sawit juga tersebar di wilayah Palembang, salah satunya di Onder Afdeeling Moesi Oeloe yang penanaman dan pengelolaannya digagas oleh kolonial Belanda. Nama perusahaan yang mengurusnya ialah Onderneming Taba Pingin Loeboeklinggau Nv memiliki andil besar dalam memenuhi kebutuhan minyak kelapa sawit di Karesidenan Palembang.

Dalam surat kabar ‘Deli Courant no. 229’ tertanggal 3 Oktober 1922, diungkapkan bahwa ekspansi bertahap mulai dibuka dengan pembangunan perusahaan di wilayah Palembang, yakni di daerah Moesi Oeloe dengan perusahaan kepala sawit (oliepalm-onderneming) Taba Pingin dan perusahaan karet (rubber-onderneming) Air Temam. Senada yang disampaikan di atas, penjelasan dalam surat kabar ‘De Locomotief no. 166’ tertanggal 27 Juli 1921, juga menyampaikan bahwa kepala sawit di tanam di Taba Pingin dan karet di tanam di Air Temam.


Peta Kawasan Perkebunan di Onder Afdeeling Moesi Oeloe 1926
terdapat Onderneming Taba Pingin (Kelapa Sawit) 
dan Onderneming Air Temam (Karet)


Dalam arsip Memorie van Overgave van het Bestuur der Onderafdeeling Moesi Oeloe (1927:27) ditulis H. Hahman bahwa perusahaan kelapa sawit Taba Pingin mulai dibuka tahun 1919, tetapi pada masa malaise barulah dimulai kontruksi pabrik minyak bisa dibangun tahun 1926. Perusahaan ini memiliki 4500 bouws, total penanaman 880 bouws, tanaman yang produktif 880 bouws. Kemudian memiliki jumlah karyawan Eropa termasuk administrator 4 orang, kuli kontrak 202 orang, dan kuli bebas 25 orang. Pengangkutan material, khususnya instalasi berat yang dipasok De Etna Nv sangat sulit yang menyebabkan pabrik minyak yang biaya konstruksinya lebih dari f.150.000, tidak sampai bulan September 1927 selesai. Oleh karena itu, produksi minyak dapat dimulai. Penanamannya dalam kondisi baik, sehingga dengan harapan Onderneming Taba Pingin akan tumbuh menjadi perusahaan kelapa sawit yang menguntungkan dapat dibenarkan secara sah, yang letaknya 16 km dari Muara Beliti menuju jalan utama ke Bengkulu.

Taba Pingin merupakan salah satu perusahaan Land-Syndicaat Hindia Belanda di bawah pemerintahan Onder Afdeeling Moesi Oeloe. Proses penanamannya ialah sebagai berikut:

 Tabel 1. Penanaman Kelapa Sawit di Moesi Oeloe

Tahun

Luas (dalam Ha)

Jumlah Kepala Sawit

1920

295

31.800

1921

213

20.840

1922

65

6.759

Total

573

59.399

Sumber: Hunger, 1924

 

Akan tetapi, tak ada ekspansi lebih lanjut setelah tahun 1922. Namun perusahaan kelapa sawit Taba Pingin ini disatukan di bawah satu administrasi dengan perusahaan karet Air Temam Nv dari perusahaan yang sama. Sehingga keberadaan kedua onderneming ini tidak bisa saling terpisahkan satu sama lain.


Jembatan Lori ini di berlokasi di Kelurahan Rahma


Baru-baru ini, penulis bersama tim melakukan penelusuran terhadap sisa-sisa jejak sejarah yang ditinggalkan oleh Onderneming Taba Pingin Nv ini yang berada di Air Kati, tepatnya di kawasan perkebunan (sekarang menjadi perkebunan karet), dan juga Rahma, Kecamatan Lubuklinggau Selatan I. Kami menemukan beberapa buah tiang pancang jembatan lori (kereta api kecil) yang dijadikan sebagai jalur angkutan hasil buah kelapa sawit. Setelah dilakukan penelusuran, bahwa jembatan lori ini dibuat agar jalur lori ini bisa melintasi sungai dan beberapa tanah yang curam berupa tebing, karena keadaan konstruksi tanah disana tidak rata. Jalur lori ini dimulai dari kawasan perkebunan di Air Kati sampai ke Rahma, berdasarkan tiang pancang jembatan yang masih tersisa. Bahkan jalur lori ini masih terlihat karena telah dijadikan jalan perkebunan oleh masyarakat, hanya saja rel lori sudah tidak ditemukan lagi.


Jembatan Lori di Kelurahan Air Kati

 Berdasarkan penuturan kakek H. Yuhi berusia 102 tahun beralamat di Air Kati bahwa lori pengangkut hasil perkebunan sawit ini dibawa langsung ke halte di Taba Pingin untuk dibongkar muat disana kemudian dibawa menggunakan transportasi kereta api, dari Lubuklinggau ke Palembang. Apa yang telah dipaparkan di atas, bahwa dapat ditarik kesimpulan bahwa berdasarkan temuan tiang pancang jembatan lori di Air Kati dan di Rahma maka jalur lori ini diteruskan ke Taba Pingin, Lubuklinggau.


Lori Angkutan Kelapa Sawit


Dalam lembaran surat kabar ‘Deli Courant no. 257’ tertanggal 4 November 1936, seorang bernama F.H. van de Meer beserta keluarga ingin meninggalkan Palembang lalu menuju Eropa. Akan tetapi, ia ditunjuk sebagai administrator perusahaan kelapa sawit Taba Pingin di Lubuklinggau dari perusahaan kolonial Belanda. Pada tahun 1918, van de Meer bertugas selama beberapa tahun di wilayah pantai Timur Sumatera. Kemudian de Meer dipindahkan dari perusahaan di Betung sebagai tempat ia bekerja pada tahun 1932 ke Taba Pingin. Niat awalnya de Meer hanya sementara di Palembang untuk membantu perusahaan yang sempat agak terbengkalai setelah kematian administrator sebelumnya, H.C.F. Seemann yang meninggal dalam kecelakaan mobil. Beliau menangani semuanya dengan kepuasan penuh dari manajemen dan perusahaan berjalan sangat baik. De Meer berada di Taba Pingin selama hampir empat tahun. Perkebunan yang memiliki ukuran 1.813 Ha ini memiliki banyak lahan perkebunan, dan produksinya sangat bagus. Kemudian selama empat tahun terakhir diputuskan untuk membangun pabrik yang besar, sementara terdapat rencana yang cukup maju untuk memperluas lahan perkebunan di masa mendatang. Setelah itu, van de Meer digantikan W.L. Eussen yang juga dari pantai Timur.

 

 

Selengkapnya bisa dibaca di buku “Musi Ulu Rawas dalam Kajian Sejarah Lokal” di Museum Perjuangan Subkoss Garuda Sriwijaya, Lubuklinggau. Dan dalam Jurnal saya di bawah ini:  

https://journal3.uin-alauddin.ac.id/index.php/rihlah/article/view/23250

 

          

* Penulis kini aktif sebagai Edukator serta Staf Koleksi dan Konservasi di Museum Perjuangan Subkoss Garuda Sriwijaya. Beberapa tulisannya telah dimuat dalam bentuk buku diantaranya: “Sejarah Lubuklinggau dari Masa Kolonial hingga Kemerdekaan” di tahun 2021 (ber-ISBN), lalu “Musi Ulu Rawas dalam Kajian Sejarah Lokal” di tahun 2022 (ber-ISBN), kemudian telah merampungkan buku “Arsip Kolonial Hindia Belanda Kawasan Palembangsche Bovenlanden (Lubuklinggau dan sekitarnya)” di tahun 2022 (ber-ISBN).


Penulis beserta tim dalam menelusuri Jembatan Lori di Rahma dan Air Kati
pada 21 Juli 2022


Kamis, 28 Juli 2022

Rumah Limas di Museum Negeri Sumatera Selatan


 

Museum Perjuangan Subkoss Garuda Sriwijaya terbaru 2022


 

Peta Lama Lubuklinggau Tahun 1945


 

Peta Lama Musi Rawas - Lubuklinggau

 


Peta Lama Wilayah Muara Beliti Tahun 1926

 


Peta Lama Wilayah Selangit Tahun 1926


 

Kantor Pos dan Telegram Pembantu di Muara Beliti 1940

 

Hulppost- en telegraafkantoor in Moeara Beliti 1940


Kantor pos pembantu Muara Beliti ditutup pada tahun 1940, atau mungkin pada awal akhir tahun 1939. Sebagai gantinya, kantor pos pembantu dibuka di Muara Kelingi. Mungkin ini dilakukan karena lokasi Muara Kelingi lebih menguntungkan untuk apa pun. Saya tidak bisa membuktikannya, tapi petunjuknya jelas.

Yang menjengkelkan adalah laporan tahunan PTT dan Javasche Courant pada tahun-tahun terakhir sebelum era Jepang tidak memberikan informasi tentang kantor mana yang ditutup dan kapan, atau dibuka, atau ditempatkan atau diubah statusnya. Hanya angka yang disebutkan.

Kembali ke Muara Beliti. Kantor pos pembantu dibuka pada 1-1-1916 (Javasche Courant 25 Januari 1916, no. 7, hal. 130). Muara Beliti juga merupakan kota penting sebelum tahun 1916. Jauh lebih tua dari Bezemer adalah Kamus Geografis dan Statistik Hindia Belanda (1859-69).

Pada bagian II ditulis tentang MOEARA BLITI: desa di Sumatera, tempat tinggal Palembang, persatuan Kelingi dengan Beliti. Di sini tinggal seorang Pengendali kelas dua (controleur), yang ditugasi dengan otoritas sipil. Pegunungan di dekat desa ini memiliki benzoin dan rotan. Muara Kelingi tidak ada di dalamnya.


Berkas yang dikirimkan Kantor Pos Muara Beliti dari Onderneming Taba Pingin 
(Perkebunan Kelapa Sawit) tertanggal 9-7-1927


Peta jarak antara Muara Beliti dan Muara Kelingi

 

 


Minggu, 10 Juli 2022

Sejarah Perjuangan Rakyat Musi Ulu Rawas dalam Melawan Jepang di Lubuklinggau Tahun 1945


 A.  Pencurian Senjata Jepang

Di daerah Lubuklinggau (Kabupaten Musi Ulu Rawas), penyerahan kekuasaan sipil dari Bunshu-tyo (Bupati) Jepang bernama Swada kepada Raden Ahmad Abusamah (Wakil Bupati Jepang) berjalan lancar, dua hari setelah proklamasi kemerdekaan RI, yaitu pada tanggal 19 Agustus 1945.[1] Demikian halnya dengan penyerahan senjata kepada pihak pejuang Musi Ulu Rawas, dilakukan dengan cara sukarela oleh pihak Jepang. Misalnya, Mantri Kaso (Mantri Perkebunan Jarak) menyerahkan 65 pucuk karaben, 60 peti peluru dan 60 kaleng minyak tanah. Dan penyerahan senjata secara sukarela juga dilakukan oleh Kapten Sasaki yang menyerahkan 65 pucuk karaben, 40 kaleng peluru, 200 keping seng, 20 rol kawat berduri, 50 buah tang, 200 buah cangkul, 200 buah sekop, dan 200 buah sekop garpu. Barang-barang itu dibawa ke rumah M. Ali (juru tulis marga) di Bukit Cermin (Karangjaya), di daerah Rawas.[2] Akan tetapi, ketika pasukan Sekutu tiba, senjata-senjata tersebut di atas diminta untuk diserahkan kepada Sekutu, jadi yang diserahkan hanya 65 pucuk karaben dan 40 kaleng peluru.

 Seperti diketahui, saat sebelum kedatangan Sekutu, hubungan antara Jepang dan pimpinan sipil serta para pejuang Indonesia berjalan relatif cukup baik. Jepang telah mengetahui apa tugas mereka sebelum Sekutu mendarat, sesuai dengan perjanjian Postdam pada 3 Juli 1945, serta Perintah Umum No. 1 dari pihak Sekutu, bahwa agar Jepang tidak menyerahkan senjatanya kepada pihak Indonesia, namun Jepang bersikaf acuh tak acuh dan tidak mematuhi keputusan itu, terutama daerah di luar Jawa.

Sikap Jepang yang agak melunak itu berubah menjadi keras dan bermusuhan dengan rakyat Indonesia setelah pasukan Sekutu mendarat pada tanggal 29 September 1945, kemudian langsung memberikan peringatan keras kepada pimpinan pasukan Jepang yang telah menyerahkan kekuasaan sipil dan persenjataan kepada pihak Indonesia.[3] Begitupun sebaliknya, sikap pihak Indonesia juga berubah setelah diketahui bahwa Jepang dipergunakan Sekutu (Inggris) untuk mengembalikan kekuasaan Belanda menyamar sebagai NICA, datang bersama dengan Sekutu. Oleh karena itu, pada periode bulan Oktober-Desember 1945 di beberapa daerah banyak terjadi aksi-aksi perebutan senjata dari tangan Jepang oleh pejuang Indonesia.

Di Lubuklinggau, tindakan pencurian dan perampasan senjata dari tentara Jepang dilakukan oleh para pemuda BPRI (Barisan Pemberontak Republik Indonesia). Mereka terlebih dahulu mengadakan pertemuan para anggota BPRI yang dihadiri lebih kurang 20 orang pada awal bulan Desember 1945. Dalam pertemuan itu diputuskan bahwa Ali Kuang dari Muara Kuang, Gidug (Abdullah) dari Taba Pingin, Beluluk dari Belalau, dan Tap Iman dari dusun Petunang, mereka menamainya sebagai “pasukan istimewa” akan melakukan pencurian senjata di gudang senjata yang terletak di depan Stasiun Kereta Api (sekarang menjadi gedung Polisi Militer) dan Pasar Muara Lama (Pasar Buah). Mereka berhasil mencuri 24 buah senjata api dan 4 kotak peluru. Senjata-senjata itu diserahkan kepada komandan BPKR Tebing Tinggi, Kapten Zainal Abidin Ning untuk dibagi-bagikan kepada para pemimpin pasukan.

 

B.  Penculikan Serdadu Jepang dan Pembunuhan Orang Switzerland

Selain mencuri senjata, para pejuang ini rupanya juga melakukan penculikan serdadu Jepang yang menjaga pabrik industri kelapa sawit di Taba Pingin oleh para pemuda BPRI dan pejuang dari marga Tiang Pumpung Kepungut dan Marga Proatin V. Akibatnya ketika kekerasan diperlihatkan oleh pejuang-pejuang ini maka membuat Jepang marah terhadap perjuangan rakyat Musi Ulu Raw56as.

Mereka juga menculik orang Switzerland yang terdaftar pada administrasi Jepang untuk mengelola pabrik kelapa sawit di Taba Pingin, mereka menjadi tanggung jawab Jepang untuk menjaga keamanannya. Kemudian orang Switzerland ini dibunuh dan harta bendanya dirampas oleh pejuang.[4] Akibat kematian itu, tentara Jepang tidak tinggal diam. Setiap hari mulai keluar pasukan Jepang dengan bersenjata lengkap, mondar-mandir melakukan penyelidikan untuk mencari pelaku pembunuhan itu. Akibatnya banyak tokoh-tokoh pejuang dan pemuka masyarakat yang ditangkap dan ditahan oleh Jepang, mereka dicurigai telah melakukan dan mendukung kegiatan tersebut, diantaranya yaitu Pangeran Mantab (Pasirah Marga Tiang Pumpung Kepungut), Pangeran Amin (Pasirah Marga Proatin V) beserta istri[5], Djikun (Gindo Taba Pingin), serta beberapa pemuda pejuang. Mereka dimasukkan ke dalam tahanan Butai Jepang di Lubuk Tanjung (yang sekarang menjadi komplek Kodim 0406 Lubuklinggau).[6]

 

C.  Pertempuran 30 Desember 1945

Kemarahan Jepang tidak cukup sampai disitu saja, sebab serdadu Jepang perhatiannya mulai tertuju pada Bendera Merah Putih yang ketika itu sudah banyak dipancangkan di pagar atau halaman rumah masyarakat di sepanjang pinggiran jalan raya, mulai dari Lubuklinggau sampai ke arah Taba Pingin. Dalam patrolinya, serdadu Jepang menurunkan paksa bendera Merah Putih itu. Sehingga situasi di Musi Ulu Rawas mulai gawat, apa yang diperbuat Jepang seolah-olah akan menjajah kembali. Penurunan bendera merah putih itu atas suruhan Sekutu. Melihat peristiwa itu meluaplah amarah rakyat Musi Ulu Rawas. Semangat rakyat waktu itu meluap-luap, berkobar-kobar membenci dan mengutuk tindakan Jepang.

Kemudian situasi bertambah panas ketika tawanan perang Belanda yang ditawan Jepang di kamp perkebunan karet Belalau dibebaskan dan dipersenjatai oleh pihak Sekutu.[7] Kejadian itu diketahui oleh BPKR dan pemuda pejuang dari daerah Kawedanan Rawas dengan komandan Lettu. M.Y. Yusuf Cholidi.[8] Hal ini menimbulkan kemarahan mereka, apalagi diketahui BPKR Kawedanan Musi Ulu anggotanya belum memadai jumlahnya.[9] Untuk mengantisipasi gejala yang dilakukan Jepang, pimpinan BPKR dari Rawas dan Musi Ulu segera melakukan rapat pertemuan untuk menentukan sikap dan tindakan. Hasil pertemuan diputuskan untuk mempersiapkan kekuatan dari dua Kawedanan ini pada Desember 1945 untuk bersama-sama menggempur markas Jepang di gedung dekat pasar Lubuklinggau, depan Stasiun Kereta Api Lubuklinggau.


Kapten Yusud Cholidi, pimpinan BPKR Kawedanan Rawas 
Sumber: Arsip Museum Subkoss, Lubuklinggau


Pimpinan rapat BPKR dari Lubuklinggau diwakili Sai Husin, dari Muara Beliti diwakili oleh Kapten Sulaiman Amin, dan dari Surulangun Rawas diwakili oleh Yusuf Cholidi dan Yusuf Rusdi. Selain dari memutuskan untuk melakukan penyerangan, juga disepakati isyarat-isyarat yang harus dipatuhi saat penyerangan, diantaranya:

1)   Memutuskan hari H dan jam D, yaitu dengan tanda beduk shubuh merupakan siap siaga adalah beduk yang pertama.

2)   Tembakan pertama dilakukan oleh pasukan dari Rawas.

3)   Tembakan kedua dari Musi Ulu.

4)   Kedua tembakan itu berarti kedua pasukan dari dua arah telah berada dekat dengan sasaran.

5)   Tembakan ketiga dari pasukan Rawas, dan tembakan keempat dari pasukan Musi Ulu menandakan segera dengan serentak menyerbu.  



Kapten Sulaiman Amin, pimpinan BPKR Kawedanan Rawas
Sumber: Arsip Museum Subkoss, Lubuklinggau

Sehingga dalam pertemuan itu, diputuskan bahwa semua laki-laki (kecuali yang sudah tua), terutama yang memiliki ilmu kebal (dubalang) harus berangkat ke Lubuklinggau yang berjarak 124 km, teruntuk pasukan yang berasal dari Kawedanan Rawas. Selain pasukan BPKR Rawas dan laskar rakyat, turut serta beberapa orang dari Suku Anak Dalam (SAD) yang berasal dari Surulangun, Rawas Ulu, dan Sungai Kijang. Ditambah para pemuda dari Lesung Batu, Maur, Muara Rupit, dan Terawas. Mereka berjalan kaki dengan membawa peralatan senjata apa adanya berupa tombak/kujur, keris, pedang, bambu runcing. Mereka yang berjumlah lebih kurang 600 orang berjalan dengan semangat tinggi dan dengan suara nyaring meneriakkan “Allahu Akbar”. Pasukan dari Rawas ini berjalan selama tiga hari tiga malam.   

 Semangat dan partisipasi rakyat Rawas Ulu di Kawedanan Rawas sangat besar. Mereka secara ikhlas menyiapkan makanan dan minuman di sepanjang jalan yang dilewati pasukan Rawas Ulu.[10] Bahkan sebelum mereka berangkat, banyak penduduk dari perbatasan Jambi juga memberikan makanan. Setelah tiba di Muara Rupit, perjalanan dilanjutkan menuju dusun Selangit untuk beristirahat. Pada waktu mereka bermalam di Selangit, pasukan Rawas Ulu dijamu oleh Pasirah Sani (kepala marga Batu Kuning Lakitan) beserta keluarganya, dan juga masyarakat yang membuatkan dapur umum. Mereka menyiapkan tempat istirahat, makanan minuman bagi para pejuang yang akan melanjutkan perjalanan ke Lubuklinggau.

Sementara pasukan Rawas Ulu beristirahat, pimpinan mereka mengadakan kontak dengan pimpinan pasukan dari Kawedanan Musi Ulu dipimpin Kapten Sulaiman Amin. Telah diinformasikan bahwa pasukan Lubuklinggau dan juga pasukan dari luar kota Lubuklinggau telah siap, seperti pasukan dari Talang Jawa Ujung, Taba Pingin, Tugumulyo, Muara Beliti, Muara Kelingi, dan Muara Kati. Mereka semua tinggal menunggu aba-aba pertama dari pasukan Rawas Ulu dari Kawedanan Rawas sesuai dengan kesepakatan.

Pada tanggal 29 Desember 1945, diputuskan pada malam waktu dinihari pukul 02.00 (artinya sudah malam tanggal 30 Desember), pasukan Rawas Ulu turut disertai masyarakat Selangit mulai bergerak, dari Selangit menuju Lubuklinggau. Pasukan yang paling depan ialah Suku Anak Dalam yang tidak mempan dengan peluru (dubalang). Mereka bergerak dengan berjalan kaki sejauh kurang lebih 20 km, diperkirakan tiba di Lubuklinggau pada waktu beduk shubuh pertama, namun perhitungan waktu meleset. Ternyata pasukan Rawas Ulu ketika tiba di Dusun Megang, cahaya matahari pagi mulai tampak, tepat pada jam 06.00 pagi telah menyinari Lembah Bukit Sulap. Sementara itu, pasukan dari Musi Ulu telah gelisah menunggu. Karena ketika suara beduk shubuh pertama, tidak terdengar isyarat tembakan pertama dari pasukan Rawas, sementara suara adzan telah berkumandang.

Tidak mau mengambil resiko dan diduga pasukan Rawas tidak jadi masuk, maka pasukan Musi Ulu mengambil sikap mundur dengan teratur. Pasukan Rawas sadar bahwa keterlambatan mereka tiba di Lubuklinggau itu berarti sama dengan kegagalan dalam menempuh jalur isyarat yang telah disepakati antara pimpinan pasukan Rawas dengan pasukan Musi Ulu. Oleh karena itu, mereka segera mengadakan rapat kilat dengan memutuskan untuk pasukan tetap terus bergerak maju menuju markas Jepang, tanpa ada perhitungan strategi.[11]

Karena hari sudah pagi, tentara Jepang telah bangun dan siap berolahraga. Begitu ada pasukan datang menyerbu mereka, pasukan Jepang telah siap menunggu dengan senjata diacungkan kearah datangnya pasukan Rawas dan Musi Ulu. Pasukan yang merasa dirinya kebal, tanpa ragu-ragu serentak menyerbu, seperti dilakukan K.H. Muhammad Nuh, K.H. Latif, Muhammad Syah dan H. Muhammad Tohir.

Perang berkecamuk tidak berjalan lama, serdadu Jepang memuntahkan peluru senjata mortir, dan senapan mesin ditembakkan secara membabi buta. Pejuang yang tidak tembus peluru, namun karena bertubi-tubi diterjang peluru dari jarak dekat, akhirnya Jepang berhasil menangkap H. Muhammad Tohir, Muhammad Syah (Matsah) dan beberapa orang anak buahnya.[12]   

Semua yang berhasil ditawan dikumpulkan di Terminal Mobil (sekarang terminal pasar atas). Di sekeliling terminal berpagar kawat berduri. Pada saat pasukan Jepang memeriksa tawanan, seperti Muhammad Syah (Matsah) yang keadaannya sudah pulih setelah goyah ketika terkena hantaman peluru bertubi-tubi. Saat serdadu Jepang mendekati yang hendak mengikat tangannya, kesempatan baik bagi Matsah dengan cepat menarik jamblo (sejenis senjata tajam mirip keris) lalu ditikam ke dada serdadu Jepang. Maka pada saat itulah, para tawanan yang lain mengambil kesempatan untuk melarikan diri.[13]

Saat korban Matsah jatuh terkulai berlumuran darah, membuat sirine “Kushu Keibo” sebagai tanda bahaya mulai terdengar meraung-raung. Seluruh serdadu Jepang diperintahkan untuk siap tempur, mereka menembak tak tentu arah dengan melontarkan peluru senapan mesin. Peristiwa ini membuat penduduk yang akan ke pasar mengurungkan niatnya untuk berbelanja, los-los pasar tidak jadi dibuka, dan orang-orang yang terlanjur datang ke pasar terjebak dalam kancah pertempuran itu.

Karena kekuatan tidak seimbang, maka pasukan Rawas dan Musi Ulu yang hanya mengandalkan senjata tradisional melawan pasukan Jepang bersenjata modern, menimbulkan banyak korban pertempuran, tidak dapat dielakkan dari pejuang rakyat Musi Ulu Rawas yang banyak berjatuhan. Sejumlah 63 orang pejuang gugur, diantaranya Sersan Juri, Abdul Kadir Malabar, 2 orang Suku Anak Dalam dan 59 orang tidak dikenal identitasnya, sehingga mereka disebut “Pahlawan tak Dikenal”, jenazah mereka waktu itu dimakamkan dibelokkan Rumah Sakit Umum (sekarang RSU. Sobirin), berseberangan dengan rel kereta api.[14]  

Setelah itu pasukan diperintahkan mundur perlahan-lahan namun pertempuran-pertempuran kecil masih berlanjut, jadi situasi di Lubuklinggau belum aman. Pasukan Jepang masih berjaga-jaga. Pasukan Rawas menunggu ke pinggir kota, belum pulang ke Rawas. Mereka baru pulang ke Rawas setelah delegasi dari pemerintah RI dari BPKR Palembang tiba untuk berunding dengan Jepang. Maka diutuslah Kolonel Hasan Kasim, Letnan Kolonel N.S. Effendi dan Letnan Suprapto. Sedangkan dari kepolisian diutus Mayor Zen dan R.M. Mursodo. Dari Lubuk Linggau sendiri yang hadir adalah Kapten Sai Husin, Kapten Sulaiman Amin, H. Kodar, Yusuf Cholidi, H. M. Tohir dan seluruh aparat kepollisian. Hasil perundingan adalah sebagai berikut:

1)   Jepang akan segera meninggalkan Lubuklinggau dan menyerahkan kekuasaan sepenuhnya kepada pemerintahan di Lubuklinggau.

2)   Para pemuda-pemuda dan pejuang tidak lagi melakukan serangan-serangan terhadap Jepang. Setelah Jepang meninggalkan Lubuklinggau, barulah rakyat merasa lega.

Maka, setelah diadakan perundingan tersebut, tidak lagi terjadi bentrokan dengan pasukan Jepang. Dan Bendera Merah Putih dinaikkan kembali di Lubuklinggau sebagai kedudukan Kabupaten Musi Ulu Rawas.

 


Monumen Perjuangan Rakyat Musi Ulu Rawas dalam Melawan Jepang Tahun 1945 

(Dibangun tahun 1972)




Selengkapnya bisa dibaca pada buku Musi Ulu Rawas dalam Kajian Sejarah Lokal tahun 2022 di Museum Perjuangan Subkoss Garuda Sriwijaya.


 

 

REFERENSI

Maaruf, Abd. Aziz. Sekelumit Sejarah Perjuangan Subkoss Garuda Sriwijaya Sumatera bagian Selatan. Lubuklinggau: Yayasan Perjuangan Subkoss Garuda Sriwijaya Perwakilan Kabupaten Dati II Musi Rawas, 1989.

Pemkab Mura. Sejarah Dan Peranan Sub Komandemen Sumatera Selatan (SUBKOSS) Dalam Perjuangan Rakyat Musirawas 1945-1950. Musirawas: Pemerintah Kabupaten Musirawas, 2002.

Subkoss, Tim Penyusun Sejarah Perjuangan. Sejarah Dan Peranan SUBKOSS Dalam Perjuangan Rakyat Sumbagsel (1945-1950). Edited by Amran Halim. Palembang: Dewan Harian Daerah 45 Sumatera Selatan, 2003.

 

 



[1] Dengan disaksikan beberapa tokoh pemuda antara lain: dr. Soefaat, Zaikadir, Ki Agus Anwar, Noersaman, Pangeran Ramitan, Nawawi Ramitan, Demang Ahmad, dan lain-lain. (Selengkapnya baca “Sejarah Lubuklinggau” tahun 2021).

[2] Tim Penyusun Sejarah Perjuangan Subkoss, Sejarah Dan Peranan SUBKOSS Dalam Perjuangan Rakyat Sumbagsel (1945-1950), ed. Amran Halim, (Palembang: Dewan Harian Daerah 45 Sumatera Selatan, 2003), hlm. 82.

[3] Di Palembang, Sekutu mendarat pada tanggal 12 Oktober 1945 untuk melucuti tentara Jepang, dengan kekuatan satu Brigade dibawah pimpinan Mayor Fordes, kemudian diganti Mayor Hutchinson. 

[4] Orang Switzerland ini sudah bekerja sejak masa kolonial Belanda, namun ketika Jepang berkuasa masih diteruskan oleh mereka. Maka saat penculikan itu, para pejuang pada umunya tidak dapat membedakan apakah seseorang itu berkebangsaan Switzerland, Inggris, Australia ataupun Amerika. Bagi mereka, asal kulit putih dan hidungnya mancung dianggap orang Belanda yang harus dilenyapkan dari Musi Ulu Rawas. Perintah penculikan ini dilakukan Saifudin Toha, Wadayon, dan Kapten Zainal Abidin Ning kepada “pasukan istimewa” terdiri 13 orang yakni: Beluluk (pimpinan), Ali Kuang, Gudig, Tap Iman, dan lain-lain. 

[5] Penangkapan istri Pangeran Amin, ada 2 versi sumber. Pertama; ada yang mengatakan ditangkap, kedua; ada juga yang mengatakan tidak ditangkap.

[6] Tim Penyusun Sejarah Perjuangan Subkoss, Sejarah Dan Peranan SUBKOSS Dalam Perjuangan Rakyat Sumbagsel (1945-1950), hlm. 83; Pemkab Mura, Sejarah Dan Peranan Sub Komandemen Sumatera Selatan (SUBKOSS) Dalam Perjuangan Rakyat Musirawas 1945-1950, (Musirawas: Pemerintah Kabupaten Musirawas, 2002), hlm. 80.

[7] Kamp tawanan perang Jepang di Belalau dikosongkan tanggal 8 Oktober 1945 oleh Sekutu. Akan tetapi, Sekutu baru tiba di Palembang tanggal 13 Oktober 1945. Dapat disampaikan bahwa Sekutu telah mempersiapkan tim pembebasan tawanan terlebih dahulu untuk memasuki Lubuklinggau dengan terjun payung menggunakan pesawat.(Selengkapnya baca pada Bab 3).

[8] Pembentukan BPKR untuk Kawedanan Rawas dipelopori oleh M. Hasan, yang kemudian mengadakan rapat musyawarah di akhir bulan September 1945 dilaksanakan di Sungai Baung. Dan terhitung mulai tanggal 25 Oktober 1945, BPKR Kawedanan Rawas dibentuk di bawah BPKR Karesidenan Palembang dipimpin Kolonel Hasan Kasim. BKR merupakan Badan Keamanan Rakyat (BKR) yang dibentuk pemerintah RI, namun di Karesidenan Palembang, BKR dinamakan BPKR (Badan Penjaga Keamanan Rakyat) dibentuk sejak 13 September 1945.

[9] Pembentukan BPKR untuk Kawedanan Musi Ulu sangat terlambat dibanding daerah Kawedanan Rawas, karena serdadu Jepang masih berada di Lubuklinggau.

[10] Sebab pendukungnya adalah munculnya seorang pemprakarsa perlawanan rakyat terhadap pasukan Jepang yang berhasil membangkitkan semngat, yaitu Pangeran Emir Muhammad Noor yang merupakan mantan pendidikan militer Jepang “Gyugun” Pagaralam yang mengangkat dirinya sendiri sebagai Panglima TKR Sumatera Selatan berpangkat Jenderal Mayor. Semakin lama pengaruhnya semakin meluas, sehingga dapat membentuk markasnya di Surulangun Rawas. Ketika pimpinan BPKR Kawedanan Rawas sedang mempersiapkan keberangkatan, Pangeran Emir ini telah berada di Surulangun Rawas dan hendak menuju Jambi bertemu dengan Letkol Abunjani.

[11] Keputusan yang diambil diistilahkan “kepalang mandi basah, kepalang telah maju berpantang surut” dengan pekik “esa hilang, dua terbilang” takdir yang tiada terputus.

[12] Pemkab Mura, Sejarah Dan Peranan Sub Komandemen Sumatera Selatan (SUBKOSS) Dalam Perjuangan Rakyat Musirawas 1945-1950, hlm. 89.

[13] Abd. Aziz Maaruf, Sekelumit Sejarah Perjuangan Subkoss Garuda Sriwijaya Sumatera bagian Selatan, (Lubuklinggau: Yayasan Perjuangan Subkoss Garuda Sriwijaya Perwakilan Kabupaten Dati II Musi Rawas, 1989), hlm. 5.

[14] Dan dikemudian hari, pada tahun 1972 yang dimakamkan disana dipindahkan ke Taman Makam Pahlawan Patria Bukit Sulap. Maka kerangka tulangnya yang dipindahkan. Nama-nama itu dan beberapa pahlawan tanpa nama bisa dicek disana.



POSTINGAN TERBARU

Sejarah SUBKOSS menjadi KODAM II/Sriwijaya

 

POSTINGAN POPULER