Tulisan Bergerak

Selamat Datang. Selamat Mengunjungi halaman blog saya. Semoga anda menyukainya dan menemukan apa yang engkau cari. Terima Kasih. Barakallah.

Minggu, 10 Juli 2022

Sejarah Perjuangan Letkol Atmo Wiryono di Lubuklinggau

 

Pada saat-saat menjelang Perang Kemerdekaan II pada tahun 1948, seluruh unsur militer TNI dan badan-badan perjuangan sangat perlu melakukan penambahan pasukan. Dan tidak kalah penting ialah usaha untuk memperoleh persenjataan guna mendukung kekuatan tempur pasukan tentara RI dalam menghadapi musuh yaitu Belanda. Mengingat Belanda sangat gencar terus merongrong kedaulatan Indonesia yang telah merdeka dengan terus memperkuat kedudukannya untuk menguasai kembali bekas tanah jajahannya yakni Hindia Belanda.

Usaha untuk mendapat senjata sangatlah sulit dan beresiko, terutama saat mendatangkan senjata dari luar negeri. Hal ini disebabkan bahwa angkatan laut Belanda memperketat pengawasan dengan memblokade pelaut-pelaut pejuang Indonesia hampir di seluruh perairan Indonesia. Walaupun sedang gencarnya blokade Belanda, para pelaut-pelaut Indonesia tidak henti-hentinya terus mencoba menerobos blokade Belanda untuk mengusahakan supply senjata dari Singapura yang akan dipergunakan untuk perjuangan khususnya di Sumatera bagian Selatan. Namun senjata yang diselundup tidaklah banyak, hanya beberapa pucuk saja.

Supply senjata dari luar negeri yang penuh tantangan dan berbahaya ini tidak dapat sepenuhnya menjadi andalan guna mencukupi kebutuhan senjata pasukan RI terutama di Sumatera bagian Selatan yang dipertahankan oleh pasukan Sub Komandemen Sumatera Selatan (SUBKOSS) yang dipimpin Kolonel Maludin Simbolon. Sehingga mau tidak mau, supply senjata buatan dalam negeri harus dilakukan sendiri. Oleh karena itu, perlu didirikan pabrik senjata. Ketika markas SUBKOSS telah berada di Lubuklinggau sejak bulan Juli 1947, pabrik senjata didirikan di Lubuklinggau di bawah pimpinan Letkol Atmo Wiryono dan Mayor Darko. Keduanya merupakan bagian dari struktur SUBKOSS bagian persenjataan. Pabrik senjata ini sangatah sederhana. Pembuatannya dari bahan dan peralatan serba buatan sendiri layaknya bangsal pandai besi.

Alamsyah (1987:138) dalam bukunya menceritakan bahwa sebelum perundingan Renville antara RI dan Belanda, telah mencoba membuat berbagai macam senjata dan amunisi, maka sesudah perundingan Renville, pembuatan senjata dan amunisi ditingkatkan lagi, dengan peningkatan kualitas dan dibuat dengan sangat berhati-hati. Hal ini dengan maksud agar jangan sampai terjadi kecelakaan yang menimpa anggota tentara, seperti yang pernah terjadi pada Letkol Atmo Wiryono yang tewas karena terkena ledakan mortir buatan sendiri. Pabrik senjata yang agak maju menurut ukuran saat itu berada di Gunung Meraksa, Lampung dibawah pimpinan Kapten Margono. Senjata yang dibuat benar-benar apa adanya, kendati untuk membuat mortir cukup dari potongan pipa tiang telepon dan tiang listrik, demikian juga membuat senjata kecepek. Amunisi dan bahan peledak sederhana telah diperbaiki mutunya, sehingga kemungkinan menimbulkan korban dapat dikurangi. Hal ini akan meninggikan semangat para tentara yang akan menggunakan senjata tersebut pada setiap front pertempuran. Pabrik senjata seperti di Gunung Meraksa juga terdapat di Lubuklinggau, yang dipimpin oleh Mayor Darko. Pabrik di Lubuklinggau juga membuat senjata-senjata sederhana seperti yang diproduksi di Lampung tadi.

Dalam buku Noor Johan Nuh (2019:107), putra dari pejuang Kolonel Muhammad Nuh yang berasal dari Dusun Merapi di Lahat ini menceritakan bahwa awal perjuangan dari Atmo Wiryono dimulai dari pekerjaannya di Tambang Batu Bara Ombilin di Sawahlunto, Sumatera Barat. Ia sangat ahli dalam bidang teknik dan bahan peledak. Ia sangat ingin masuk tentara untuk menyumbangkan keahliannya terutama dalam memperbaiki senjata-senjata yang rusak yang ada di Sumatera Barat sesuai dengan keahliannya, sekaligus mampu membuat senjata yang dibutuhkan tentara. Keahliannya ini termonitor oleh Komandemen Sumatera yang bermarkas di Bukit Tinggi. Maka panglima Komandemen Sumatera yaitu Mayjend. Suhardjo Hardjowardoyo menetapkannya untuk membantu markas komandemen.


Kolonel Muhammad Nuh, sosok yang menemukan bakat Atmo Wiryono 
Sumber: Arsip Museum Subkoss, Lubuklinggau


Mengetahui keahlian Atmo, kepala staf Komandemen Sumatera yaitu Kolonel Muhammad Nuh mengusulkan agar Atmo Wiryono dipindahkan dari Tambang Batu Bara Ombilin menuju Tambang Batu Bara di Tanjung Enim. Karena Kolonel Muhammad Nuh tau persis bahwa ditempat itu masih banyak tersedia bahan-bahan yang bisa dijadikan dinamit, apalagi di Lahat juga tersedia bengkel kereta api yang tentu saja peralatan di bengkel itu sangat dibutuhkan untuk memperbaiki dan membuat senjata.

Usul Kolonel Muhammad Nuh ini disetujui oleh Panglima Komandemen Sumatera, lalu Atmo kemudian dipindahkan ke Lahat untuk tugas memperbaiki senjata-senjata yang rusak, merawatnya, dan membuat senjata-senjata baru bagi kepentingan tentara. Dengan demikian, Atmo Wiryono yang ditugasi mengkoordinir pekerjaan itu yang diberi pangkat Letnan Kolonel, dan masuk dalam struktur Divisi I Lahat/Sumsel di bawah Komandemen Sumatera. Menariknya, Divisi I Lahat/Sumsel ini dipimpin oleh Kolonel Maludin Simbolon tahun 1945-1946. Sehingga pada saat Kolonel Maludin Simbolon menjadi Panglima SUBKOSS di Lubuklinggau tahun 1947-1948, Letkol Atmo Wiryono menjadi Kepala Bagian Persenjataan dalam struktur SUBKOSS.    

Dalam keterangan Abi Hasan Said (1990) yang juga sebagai teman semasa perjuangan Letkol Atmo Wiryono, dalam arsip wawancaranya mengatakan bahwa pasukan SUBKOSS (Sub Komandemen Sumatera Selatan) kala itu mengadakan latihan militer dan sangat berkesan karena dilatih oleh Letkol Atmo Wiryono. Latihan ini memiliki tugas rahasia untuk menyerang Belanda di Lahat dengan mendatangkan senjata dari Komandemen Sumatera bermarkas di Bukit Tinggi berupa Mortir. Jadi latihan ini dilakukan bagaimana cara menggunakan mortir tersebut. Sampai pada ujicoba senjata mortir dengan menggunakan peluru yang pelaksanaannya di daerah Mesat yang dipimpin Letkol Atmo Wiryono, didampingi Kolonel Hasan Kasim, Kapten JM. Pattiasina, dan Kapten Abi Hasan Said sendiri. Tugas untuk ujicoba senjata tersebut akan dilakukan sendiri oleh Abi Hasan Said, namun Letkol Atmo melarangnya. Tugas ujicoba itu haruslah pasukan yang akan melaksanakan penyerangan tersebut. Namun terjadilah suatu kecelakaan, peluru mortir meledak saat masih berada dalam lube. Sehingga Letkol Atmo Wiryono meninggal dengan keadaan yang tubuhnya hancur dan uratnya putus, bersama dengan 3 orang prajuritnya (salah satunya bernama Hasballah). Setelah diperiksa lebih lanjut, bahwa mortir tersebut tidak asli. Lube terbuat dari bekas tiang listrik, namun pelurunya asli. Meledaknya mortir ini akibat kebocoran pada lube tersebut. Alhasil, rencana menyerang Belanda di Lahat terpaksa dibatalkan. 


Kapten Abi Hasan Said sebagai saksi hidup Letkol Atmo Wiryono
Sumber: Arsip Museum Subkoss, Lubuklinggau 


Tentu saja peristiwa ini menjadi kenyataan yang tidak bisa dihindari oleh Kapten Abi Hasan Said ketika Letkol Atmo Wiryono harus meregang nyawa. Letkol Atmo Wiryono menghembuskan nafas terakhir dipangkuannya. Pesan terakhirnya hanya ada alamat dan foto keluarga yang terdapat dalam dompet untuk dikirim pada keluarganya agar mengetahui bahwa ia telah meninggal dunia. Hal ini patut dijadikan pelajaran bagaimana sikap patriotisme seorang Letkol Atmo Wiryono yang betul-betul militer secara lahir dan bathin.

Menurut Suwandi (2005:17-18) menjelaskan bahwa Letkol Atmo Wiryono dimakamkan di pemakaman yang pada masa itu berada di belakang Rumah Sakit Umum (sekarang RSUD Sobirin). Namun pada saat Makam Pahlawan dipindahkan tahun 1972 ke Taman Makam Pahlawan Patria Bukit Sulap pada masa Bupati Musi Rawas, Muchtar Aman. Penjelasan dari Abd. Aziz Maaruf (1989:23) mengatakan bahwa kerangka tulang Letkol Atmo Wiryono telah terlebih dahulu dipindahkan ke Palembang sejak tahun 1952, bersama dengan kerangka tulang anak buahnya yaitu Kopral Muhtar dan Kopral Makruf.

Makanya, kerangka tulang dari makam Letkol Atmo Wiryono tidak terdapat di Taman Makam Pahlawan Patria Bukit Sulap. Kemudian untuk mengenang perjuangan beliau, nama Letkol Atmo telah diabadikan menjadi nama jalan baik di Kota Lubuklinggau dan juga di Kota Palembang. Termasuk nama Kopral Makruf juga diabadikan sebuah nama jalan kecil di Kota Lubuklinggau, namun nama Kopral Muhtar yang pernah dijadikan nama jalan kecil, saat ini telah berganti menjadi Jln. Hujan Gerimis.

Berdasarkan penjelasan di atas, sekaligus untuk meluruskan sejarah yang telah berkembang sejak tahun 2000-an bahwa monumen yang terletak di dekat rel kereta api di Jalan Garuda di Kota Lubuklinggau ‘bukanlah’ monumen untuk mengenang Letkol Atmo Wiryono, melainkan itu adalah Monumen Perjuangan Rakyat Musi Ulu Rawas untuk mengenang peristiwa pada tanggal 30 Desember 1945 dalam pertempuran melawan pasukan Jepang untuk direbut senjatanya oleh pasukan Musi Ulu Rawas beserta pasukan Suku Anak Dalam dari Rawas Ulu.

Namun ada sumber lain yang membahas asal-usul Letkol Atmo Wiryono, tetapi sangat berbeda dari penjelasan yang telah diuraikan di atas. Perihal gugurnya Letkol Atmo Wiryono di Lubuklinggau, semua sumber mengatakan sama bahwa beliau meninggal di Lubuklinggau tepatnya di Mesat. Apalagi beliau adalah pendatang yang berasal dari Jawa dan bertugas di wilayah Sumatera Selatan pada masa perjuangan revolusi fisik mempertahankan kemerdekaan tahun 1945-1949.

Sumber tersebut ialah buku Sainan Sagiman (1988:31), yang juga teman seperjuangannya, diterangkan bahwa Atmo Wiryono adalah seorang perwira pasukan Legiun Mangkunegaraan (Solo), juga lulusan Sekolah Militer di Breda. Selama periode perang kemerdekaan I, Letkol Atmo Wiryono, Letkol Zainal Abidin Ning, dan Mayor Kiswoto memimpin front Sukarame, disertai juga Lettu Sainan Sagiman sebagai komandan C.I. yang bergerilya sekitar Lahat, Pagaralam dan Tebing Tinggi. Mereka sering tidur di rel kereta api, supaya tidak disergap oleh Belanda pada malam hari. Atmowiryono selalu memakai sarung, berjas militer, bersepatu karet seperti sepatu kebun, dan selalu open cap, tidak bertopi. Bentuk tubuhnya kecil berkulit hitam, ringkih, dan tidak kekar. Saat bergabung dengan Sub Komandemen Sumatera Selatan (SUBKOSS) di Lubuklinggau, beliau tewas ketika sedang mencoba sebuah mortir buatan sendiri, kiriman dari Sawahlunto. Mortir ini meledak, ketika Atmo Wiryono mencoba menembakkannya.  

Berbicara mengenai Legiun Mangkunegaraan, maka perlu diketahui terlebih dahulu sejarah dari keraton Mangkunegaraan di Surakarta. Dalam buku ‘Sejarah Tentara’ Petrik Matanasi (2011:29) menjelaskan bahwa Legiun Mangkunegara ini merupakan pasukan yang dibentuk tahun 1808 sebagai lanjutan dari pasukan Pangeran Mangkunegoro I dan masih dipertahankan ketika pangeran itu menghentikan perlawanan terhadap VOC. Setelah pangeran itu meninggal, anggota pasukan yang asli dibubarkan dan diganti. Kekuatan pasukan ini pernah mencapai 3 batalion, komandan pasukan itu diberi pangkat Letnan Kolonel atau Kolonel. Umunnya perwira Legiun Mangkunegara berasal dari bangsawan dan priyayi Keraton Mangkunegara Surakarta. Pasukan-pasukan pribumi ini masih meneruskan sebagian tradisi militer Indonesia asli, walaupun sedikit terpengaruh oleh tradisi militer Barat KNIL yang dibawa Belanda. Dalam pasukan itu, jumlah perwira keraton jelas lebih banyak dan kebanyakan masih menjaga tradisi asal dibanding perwira pribumi yang aktif dalam dinas militer KNIL.

Dari pernyataan di atas, asal usul dari Letkol Atmo Wiryono adalah seorang perwira pasukan Legiun Mangkunegaraan yang disebutkan dalam buku Sainan Sagiman (1988:31) bisa saja terjadi. Namun sumber-sumber yang penulis himpun tidak terdapat penjelasan bagaimana Letkol Atmo Wiryono pergi meninggalkan keraton Mangkunegara menuju Pulau Sumatera. Maka hingga saat ini kisahnya masih menjadi misteri.   

Lain halnya seperti Mayor Jenderal Suhardjo Hardjowardoyo yang menjadi panglima Komandemen Sumatera, beliau juga salah satu tokoh perwira Legium Mangkunegaraan, namun akhirnya hijrah ke Tanjung Karang, Lampung dengan alasan memiliki masalah perdata terkait pemalsuan yang juga melibatkan Liem Tjiem Goen. Sehingga di Lampung, Raden Suhardjo lantas bekerja sebagai perwira kepolisian sampai masa pendudukan Jepang. Hingga pada akhirnya menjadi Kepala Polisi di Lampung pasca proklamasi kemerdekaan, hingga bergabung Tentara Keamanan Rakyat (TKR) menjadi panglima Komandemen Sumatera yang diputuskan oleh dr. AK. Gani sebagai koordinator/organisator pembentukan TKR Sumatera (Artikel di Tirto.id terbit 08 Juli 2021 berjudul ‘Di Lampung, perwira TKR saling cakar karena saling tidak percaya’ ditulis Petrik Matanasi).

 

Selengkapnya baca: Musi Ulu Rawas dalam Kajian Sejarah Lokal tahun 2022 oleh Berlian Susetyo, Muhammad Wahayuni, dan Ravico



Referensi:

1.    Arsip Wawancara Abi Hasan Said tahun 1990 dari Museum Perjuangan Subkoss Garuda Sriwijaya.

2.    Buku “Perjuangan Kemerdekaan di Sumatera Bagian Selatan 1945-1949” ditulis oleh H. Alamsyah Ratu Perwiranegara tahun 1987.

3.    Buku “Sekelumit Sejarah Perjuangan Subkoss Garuda Sriwijaya Sumatera bagian Selatan” ditulis oleh H. Abd. Aziz Maaruf tahun 1989.

4.    Buku “Sekilas tentang Hidup dan Pengabdian H. Sainan Sagiman” disusun oleh Djazari Mansyur dan Amin Sarwoko tahun 1988.

5.    Buku “Sejarah Tentara” ditulis oleh Petrik Matanasi tahun 2011.

6.    Buku “6 Suara untuk Pak Dirman; Kolonel Muhammad Nuh Kepala Staf Komandemen Sumatera Penentu Kolonel Sudirman menjadi Panglima Besar TKR” ditulis oleh Noor Johan Nuh tahun 2019.

7.    Buku “Monumen Letkol Atmo” ditulis oleh Suwandi Syam tahun 2005.

8.    Website “Tirto.id” oleh Petrik Matanasi tahun 2021.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

POSTINGAN TERBARU

Sejarah SUBKOSS menjadi KODAM II/Sriwijaya

 

POSTINGAN POPULER