Tulisan Bergerak

Selamat Datang. Selamat Mengunjungi halaman blog saya. Semoga anda menyukainya dan menemukan apa yang engkau cari. Terima Kasih. Barakallah.

Sabtu, 08 Januari 2022

Sejarah Kota Lubuklinggau

 

Beredarnya isu-isu tentang sejarah lokal khususnya Kota Lubuklinggau pada media-media sosial seperti Facebook, Instagram, dll membuat niat pegiat sejarah lokal tergugah untuk menceritakan narasi sejarah yang sebenarnya. Alasannya ialah sejarah harus berdasarkan fakta sejarah yang sebenarnya, lalu berdasarkan pada sumber arsip sezaman yang menceritakan sejarah lokal itu sendiri demi meminimalisir berita-berita sejarah yang subjektifitas (terkesan dibuat-buat). Sumber akurat akan mendukung dan menguatkan sejarah itu sendiri mengingat hal ini merupakan kejadian masa lalu yang harus ditampilkan pada khalayak umum.

Perjalanan Kota Lubuklinggau dalam masa awal perkembangannya meninggalkan kisah dan proses yang sangat panjang, terutama sejak masa Kolonial Hindia Belanda. Letaknya yang strategis memberikan aspek penting mengenai jalur transportasi sebagai daerah poros tengah dari beberapa wilayah di Zuid-Sumatera.

Pertama, Lubuklinggau sebagai dusun pesirah dari Marga Sindang Kelingi Ilir. Perlu diketahui bahwa marga merupakan sistem pemerintahan tingkat terendah yang dipimpin seorang pesirah sebagai kepala pemerintahan marga sekaligus kepala adat marga. Sebenarnya marga telah ada sejak zaman Kesultanan Palembang Darussalam, namun setelah kesultanan jatuh ke tangan Belanda tahun 1825, sistem marga tetap diteruskan oleh pemerintah kolonial Hindia Belanda sebagai salah satu bentuk strategi untuk memudahkan administrasi dan pengawasan pemerintah pusat di Karesidenan Palembang ke daerah-daerah uluan. Van Royen (1927) dalam bukunya “De Palembangsche Marga En Haar Grounden Waterrechten” menyatakan bahwa marga Sindang Kelingi Ilir dibentuk setelah tahun 1859 atas pengaturan kondisi untuk menggabungkan beberapa marga yang telah terlebih dahulu terbentuk, seperti marga Batu Kuning Lakitan dengan Batu Kuning Kelingi serta beberapa dusun lain untuk membentuk marga Sindang Kelingi Ilir. Wilayah teritorial marga Sindang Kelingi Ilir memiliki cakupan sangat luas disekitar sungai Kelingi dan sungai Lakitan (Lubuklinggau, Selangit, Terawas).

Dalam Staatsblad no. 466 tahun 1906, marga Sindang Kelingi Ilir dipecah untuk membentuk kembali marga Batu Kuning Lakitan yang berkedudukan di Selangit, dan membentuk marga Suku Tengah Lakitan Ulu berkedudukan di Terawas. Sehingga marga Sindang Kelingi Ilir memiliki teritorialnya sendiri yang berada di Lubuklinggau yang tercatat. Dalam buku Rapport Den Aanleg Staatsspoorwegen Zuid Sumatera (1911), disebutkan Lubuklinggau menjadi kedudukan dusun pesirah marga (ibukota) Sindang Kelingi Ilir yang memiliki beberapa dusun antara lain: Ulak Surung, Petanang, Batu Pepe, Durian Rampak, Tanjung Raya, Lubuk Tanjung, Kayu Ara, Lubuk Aman, dan Batu Urip dengan jumlah penduduk 2094 orang.

Kedua, Lubuklinggau sebagai ibukota Onder Afdeeling Musi Ulu. Perlu diketahui bahwa Onder Afdeeling ialah daerah administrasi pemerintahan Kolonial Belanda yang dipimpin oleh controleur sebagai kepala pemerintahan. Sedangkan Musi Ulu merupakan wilayah bagian hulu berdasarkan aliran sungai musi atas anak-anak sungai yang semuanya bermuara di Sungai Musi seperti Sungai Kelingi, Sungai Rawas, Sungai Lakitan, Sungai Beliti, dan lain-lain. Van Royen (1927) dalam bukunya “De Palembangsche Marga En Haar Grounden Waterrechten” bahwa wilayah Musi Ulu telah ada saat pertama kali pegawai negeri Belanda berada Muara Beliti tahun 1853.

Sebenarnya ibukota Onder Afdeeling Musi Ulu pertama kali berada di Muara Beliti, namun dengan segala pertimbangan bahwa Lubuklinggau merupakan daerah strategis untuk pendongkrak ekonomi seperti Perkebunan Karet di Temam (1918), Perkebunan Kepala Sawit di Taba Pingin (1919), Perkebunan Karet di Belalau (1927), kemudian didukung dengan jalur kereta api yang telah sampai ke Lubuklinggau tahun 1933 sehingga memperlancar pemindahan para masyarakat Jawa yang erat kaitannya dengan kolonisasi transmigrasi Tugumulyo dari tahun 1937 hingga 1942. Lubuklinggau yang sebelumnya hanya berstatus ibukota kedudukan marga Sindang Kelingi Ilir, kemudian dinaikkan statusnya menjadi ibukota Onder Afdeeling Musi Ulu. Dalam Regeeringsalmanak (1935), pemindahan ini berdasarkan Besluit Residen Palembang pada 5 Juli 1932 no. 407. Alhasil, kedudukan Muara Beliti setelahnya hanya menjadi kedudukan marga Proatin V yang dipimpin Pangeran Mohd. Amin Ratu Asmaraningrat.

Ketiga, Lubuklinggau sebagai ibukota Kabupaten Musi Ulu Rawas. Apabila pada masa kolonial Hindia Belanda, wilayah Onder Afdeeling Musi Ulu dan Onder Afdeeling Rawas (beribukota Surulangun) terpisah, maka pada saat pendudukan Jepang, keduanya masuk dalam pemerintahan Bunshu Musikami Rawas yang berdudukan di Lubuklinggau. Pemerintahan Bunshu Musikami Rawas membawahi Musikami Gun (Eks. Onder Afdeeling Musi Ulu) dan Rawas Gun (Eks. Onder Afdeeling Rawas). Kedudukan Bunshu Musikami Rawas ini setingkat dengan Kabupaten, sehingga pada saat setelah proklamasi kemerdekaan Indonesia maka Bunshu Musikami Rawas praktis hanya berubah nama menjadi Kabupaten Musi Ulu Rawas, dan Musikami Gun menjadi Kawedanaan Musi Ulu, serta Rawas Gun menjadi Kawedanaan Rawas (Pemkab. Musirawas, 2002).

Keempat, Lubuklinggau sebagai ibukota Karesidenan Palembang. Dahulu, pemerintahan karesidenan sama seperti daerah provinsi sekarang. Sedangkan daerah provinsi saat itu masih sangat luas cakupannya membawahi beberapa karesidenan, seperti Propinsi Sumatera Selatan membawahi Karesidenan Palembang, Karesidenan Bengkulu, Karesidenan Lampung dan Karesidenan Jambi. Sejak proklamasi kemerdekaan, ibukota Karesidenan Palembang berada di Kota Palembang. Namun akibat peristiwa Perang 5 Hari 5 Malam, ditambah peritiwa Agresi Militer Belanda I maka ibukota Karesidenan Palembang dipindahkan ke Lubuklinggau tahun 1947. Kala itu yang memimpin Karesidenan Palembang ialah Residen Abdul Rozak (Subkoss, 2003).

Kelima, Lubuklinggau sebagai kedudukan komando militer SUBKOSS. Setelah memindahkan ibukota Karesidenan Palembang ke Lubuklinggau, pusat komando militer Sumatera Selatan bernama SUBKOSS juga dipindahkan ke Lubuklinggau. Kemudian disusul dengan memindahkan ibukota pemerintahan Propinsi Sumatera Selatan di Curup pada akhir Desember 1947. Pemindahan pusat sipil dan militer ini akibat Kota Palembang telah jatuh di tangan Belanda, satu-satunya wilayah yang tidak dikuasai Belanda hanya Lubuklinggau, Curup, Sekayu bagian Utara, Pagar Alam, Komering Ulu dan Muara Dua bagian Selatan.     

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

POSTINGAN TERBARU

Sejarah SUBKOSS menjadi KODAM II/Sriwijaya

 

POSTINGAN POPULER