Tulisan Bergerak

Selamat Datang. Selamat Mengunjungi halaman blog saya. Semoga anda menyukainya dan menemukan apa yang engkau cari. Terima Kasih. Barakallah.

Selasa, 11 Januari 2022

Bese Sindang, Sejarah dan Persebarannya di Uluan Sindang

 

Sebagai salah satu bahasa daerah, bese Sindang atau bahasa Sindang dapat memberikan sumbangan yang penting bagi perkembangan bahasa di Indonesia. Peran dan kedudukan bahasa sindang yang digunakan oleh sebaran luas masyarakat pendukungnya sehingga perlu mendapat perhatian, pemeliharaan dan pembinaan.

Menurut Syawaludin (2015), kata Sindang artinya daerah perbatasan, yaitu daerah uluan dataran tinggi yang secara politik lebih bersifat otonom karena Kesultanan Palembang Darussalam tidak memiliki otoritas untuk memaksakan hak-haknya sebagaimana yang berlaku di daerah kepungutan (berasal dari kata pungut, mengacu pada daerah iliran, sultan dan para pembesar kesultanan berkuasa secara langsung serta berhak menyelenggarakan bermacam jenis pungutan berupa pajak maupun tenaga kerja terhadap rakyatnya). Penduduk daerah tinggi Sindang adalah kelompok masyarakat kesukuan yang berdiri sendiri secara ekonomi dan politik. Kelompok suku-suku tersebut antara lain Pasemah, Rejang, Ampat Lawang, Kikim, dan Kisam.

Menurut penuturan Suwandi, berdasarkan geografis wilayah bahwa asal-muasal bahasa Sindang berasal dari masyarakat daerah Rejang yang mendiami daerah dataran tinggi sekitar pegunungan Bukit Barisan, sekitar Muara Aman. Namun ada masyarakat yang mendiami pada bagian yang rendah atau hilir di kawasan Bukit Barisan sehingga disebut orang Lembak (ke Lembak atau ke bawah). Orang Lembak ini baru muncul setelah suku bangsa Rejang berbudaya, pandai bertani dan bercocok tanam, kehidupan yang teratur, dan pandai menulis. Karena kepandaian bertani dan bercocok tanam dengan membuka hutan sehingga pergi menjauh (ladang bepindah) dari wilayah Rejang, turun dari pergunungan Bukit Barisan. Alhasil, masyarakat Rejang keluar ke daerah yang lebih rendah dan menjauh sehingga dinamakan orang Lembak atau Suku Lembak. Lambat laun orang-orang lembak ini terus menyebar ke daerah-daerah lain menyusuri sungai-sungai besar (Kelingi, Lakitan, Beliti) dari hulu ke hilir, seperti Selangit, Kepala Curup, Lubuklinggau, Kotapadang, Saling, Apur, Padang Ulak Tanding, dan lain-lain. Sehingga tak jarang bahasa mereka memiliki kesamaan satu sama lain karena persebaran mereka sangat luas di daerah Sindang.    

Saat ini terdapat 3 daerah yang memiliki rumpun bahasa yang sama yakni bahasa sindang, diantaranya daerah Rejang Lebong, Bengkulu (Lembak), Lubuklinggau dan sekitarnya (Cul) dan wilayah Saling. Pertama, bahasa Sindang bagi masyarakat Provinsi Bengkulu disebut dengan bahasa Lembak karena digunakan oleh Suku Lembak, sebut saja Lembak 8 di Kota Bengkulu, Taba Penanjung, dan Kabupaten Rejang Lebong (Kepala Curup, Kotapadang, Padang Ulak Tanding, Sindang Kelingi, Sindang Beliti Ulu dan Ilir). Kedua, bahasa Sindang di wilayah Lubuklinggau dan sekitarnya, sering disebut juga bahasa Cul karena dalam percakapan sehari-hari frekuensi pemunculan kata Cul yang berarti ‘tidak’ sangatlah tinggi. Perhatian masyarakat lebih bertumpu pada penggunaan kata Cul, sehingga bahasa di wilayah Lubuklinggau dan sekitarnya disebut juga bahasa Cul. Ketiga, bahasa sindang di daerah Saling. Karena pada zaman dahulu, orang-orang Saling (yaitu penduduk daerah Saling yang mendiami beberapa desa disepanjang sungai Saling) sering mengembara ke tempat lain. Daerah yang dikunjungi ini mereka tidak segan-segan menggunakan bahasa sindang sehingga orang lain sering menyebut bahasa ini dengan bahasa Saling.

Menurut Arifin dkk (1996), letak perbedaan bahasa sindang terletak pada tingkat kecepatan pengucapan yang dipengaruhi oleh keadaan aliran sungai. Pada aliran sungai yang tenang, pengucapan kata/kalimat menjadi lambat atau sangat lambat. Namun pada aliran sungai yang deras maka pengucapan kata/kalimat menjadi cepat atau sangat cepat. Kecepatan pengucapan ini berlangsung seperti ini walaupun desa-desa berada di satu jalur aliran sungai yang sama.        

Persebaran bahasa Sindang ini didasarkan pada 3 aliran sungai yakni Sungai Kelingi, Sungai Beliti dan Sungai Lakitan. Sejak dahulu aliran dari hulu ke hilir di ketiga sungai ini melewati daerah kemargaan yang telah dibentuk masa kolonial Hindia Belanda, seperti: 1). Sungai Kelingi (melewati marga Sindang Kelingi Ulu, Sindang Kelingi, dan Sindang Kelingi Ilir); 2). Sungai Beliti (melewati marga Sindang Beliti, Suku Tengah Kepungut, Tiang Pungpung Kepungut); dan 3). Sungai Lakitan (melewati marga Batu Kuning Lakitan, Suku Tengah Lakitan Ulu).

Dari konsep di atas maka diperoleh pembagian wilayah bese Sindang atas kelompok besar antara lain: 1). Wilayah bahasa Sindang Beliti (Apur sekitarnya, Kotapadang) dengan kecepatan pengucapan sangat lambat. Contoh: kalimat ‘hari’ ahai, diakhir kalimat terdapat kata ao; 2). Wilayah bahasa Sindang Kelingi, Sindang Kelingi Ulu (meliputi daerah Kepala Curup, Padang Ulak Tanding sekitarnya) dengan kecepatan pengucapan lambat. Contoh: kalimat ‘hari’ ahai; 3). Wilayah bahasa Sindang Kelingi Ilir, Batu Kuning Lakitan, dan Suku Tengah Lakitan Ulu (meliputi Lubuklinggau, Selangit, Terawas) dengan kecepatan pengucapan sedang. Contoh: kalimat ‘hari’ aghai; 4). Wilayah bahasa Saling (meliputi Muara Saling sekitarnya, Tanjung Ning) dengan kecepatan pengucapan sangat cepat. Contoh: kalimat ‘hari’ hai

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

POSTINGAN TERBARU

Sejarah SUBKOSS menjadi KODAM II/Sriwijaya

 

POSTINGAN POPULER