Oleh : Berlian Susetyo
Program Studi Pendidikan
Sejarah, STKIP PGRI Lubuklinggau
ABSTRAK
Islam tumbuh
dan berkembang menjadi sebuah dasar keyakinan manusia dalam hidup. Islam datang
ke Indonesia melalui jalur perdagangan dunia yang dibawa oleh para pedagang
Arab. Setelah kemerdekaan, pada setiap zaman seperti Demokrasi Liberal,
Demokrasi Terpimpin, Orde Baru dan Reformasi, Islam pernah mengalami pasang
surut akibat pola elit-elit politik yang ingin menerapkan ideologi Pancasila
demi menyatukan keanekaragaman budaya dan perbedaan keyakinan setiap masyarakat
Indonesia. Namun Islam tetap berjuang pada sisi kebiasaan masyarakat terhadap
nilai-nilai moral dan falsafah hidup. Sehingga di masa depan, kejayaan Islam
dapat terwujud kembali pada zaman kebebasan ini akan majunya sistem ilmu
pengetahuan dan teknologi.
Kata Kunci : Setelah
Kemerdekaan, Setiap Zaman, Kejayaan Islam.
ABSTRAC
Islam grew and developed into a basic human beliefs
in life. Islam came to Indonesia through world trade carried by Arab traders.
After independence, in every age such as Liberal Democracy, Guided Democracy,
New Order and Reform, Islam has experienced ups and downs as a result of the
pattern of political elites who want to implement Pancasila ideology for the
sake of uniting the cultural diversity and differences in beliefs of each
community in Indonesia. But Islam remained struggling on the habits of the people
towards moral values and philosophy of life. So that in the future, the glory
of Islam can be realized back in the days of this freedom will be rapid
advancement of science and technology system.
Keywords : After
Independence, Every Age, triumph of Islam.
PENDAHULUAN
Cikal bakal
kekuasaaan Islam telah dirintis pada periode abad 7-8 Masehi, tetapi semuanya
tenggelam dalam hegemoni maritim Sriwijaya yang berpusat di Palembang dan
kerajaan Hindu-Jawa seperti Singasari dan Majapahit di Jawa Timur. Pada periode
ini, para pedagang dan mubalig Muslim membentuk komunitas-komunitas Islam.
Mereka memperkenalkan Islam yang mengajarkan toleransi dan persamaan derajat di
antara sesama, sementara ajaran Hindu-Jawa menekan pada perbedaan derajat
manusia. Ajaran Islam ini sangat menarik perhatian penduduk setempat. Oleh karena
itu, Islam tersebar di kepulauan Indonesia terhitung cepat, meski dengan damai
(Badri Yatim, 2013:194).
Agama Islam
mulai berkembang di Jazirah Arab pada abad ke-7 Masehi. Kemudian agama tersebut
berkembang dengan pesat, ke arah barat sampai ke Spanyol dan ke timur sampai
Persia serta Gujarat. Oleh karena penyebaran Islam di Indonesia pertama-tama
dilakukan oleh para pedagang, pertumbuhan komunitas Islam bermula di berbagai
pelabuhan penting di Sumatera, Jawa dan pulau lainnya.
Islam datang
ke Indonesia ketika pusat-pusat kerajaan Hindu mengalami kemunduran. Pada masa
awal kedatangan Islam sekitar abad ke-12 dan ke-13 Masehi, Sriwijaya sebagai
pusat kerajaan di Indonesia bagian Barat mulai menunjukkan tanda-tanda
kemerosotan. Demikian pula ketika Islam telah berkembang secara luas sekitar
abad ke-15, kerajaan Majapahit sebagai pusat kerajaan di Indonesia bagian Timur
sudah mengalami saat-saat keruntuhan (Daliman, 2012:19).
Salah satu
bukti bahwa Islam tetap berjaya adalah muncul dan berkembangnya Islam di
Indonesia yang telah menjadi bukti sejarah bagi
bangsa Indonesia dimana peranannya sangat besar terhadap perjuangan
kemerdekaan bagi bangsa Indonesia. Dengan melihat ke belakang sejarah masuknya
Islam di Indonesia yaitu melalui berbagai macam cara dimana di antaranya adalah
melalui perdagangan, perkawinan, yang dipelopori oleh para saudagar-saudagar Arab, kemudian
pendidikan (pesantren), tasawuf, dakwah, kesenian dan budaya (Beti Yanuri
Posha, 2015:75-76).
Islam datang
di Indonesia dengan membawa peradaban baru yang memiliki corak keislaman secara
khusus. Beberapa bentuk peradaban Islam mewarnai kehidupan dan pemikiran
masyarakat Islam di Indonesia. Peradaban Islam yang dibawa oleh para mubaligh
Islam dari Arab diakulturasikan dengan tradisi dan budaya setempat. Akulturasi
antara peradaban Islam dan peradaban setempat tersebut menjadi terpadu yang
membawa dampak positif bagi perkembangan budaya Islam di Indonesia (Samsul
Munir Amin, 2010:408).
Pada sistem
birokrasi keagamaan terbentuklah sebuah sistem politik kekuasaan yang diawali
berdirinya kerajaan-kerajaan Islam di daerah pesisir Indonesia, hingga pada
akhirnya Islam berkembang sangat pesat, melalui para ulama ataupun para
cendekiawan muslim serta pemikir-pemikir keagamaan yang memperjuangkan
aktifitas dakwah menjadi sebuah batu sandungan bahwasannya Islam layak menjadi
pedoman kehidupan masyarakat berazazkan kesetaraan antar sesama. Namun tak
dapat kita lupakan begitu saja bahwa Islam berkembang mengalami beberapa
hambatan ketika muncul pengaruh Barat, semula kedatangan mereka bermaksud untuk
berdagang dan mencari rempah-rempah, maka seketika itu pula berubah pada hasrat
ingin menjajah dan menguasai potensi hasil bumi yang melimpah sehingga menjadi
titik awal perlawanan rakyat terhadap kolonialisme. Beberapa organisasi
keislaman berdiri untuk menentang kebijakan para kaum koloni tersebut, namun
masyarakat pribumi masih terbelakang dengan penggunaan teknologi, pengetahuan
serta kemajuan persenjataan sehingga dapat ditaklukan dengan mudah oleh bangsa
penjajah. Hingga pada akhirnya Indonesia berhasil memperoleh kemerdekaannya
tanggal 17 Agustus 1945, masyarakat Indonesia masih berjuang dalam
mempertahankan kemerdekaan tersebut yang diraih dengan derai air mata, sikaf
rela berkorban dengan susah payah dalam memperjuangkannya.
Jadi dari
uraian latar belakang tersebut diatas, perhatian penulis sangat tertarik untuk
mengkaji secara lebih mendalam tentang “Pergerakan
Islam Pada Masa Pasca Kemerdekaan”.
RUMUSAN
MASALAH
Dari uraian di atas, yang menjadi pokok
permasalahan penelitian adalah sebagai berikut :
a)
Bagaimana perkembangan pergerakan Islam
pada masa pasca kemerdekaaan ?
b)
Bagaimana bentuk pergerakan Islam
tersebut serta peranannya setelah kemerdekaan ?
METODE
PENELITIAN
Penelitian ini menggunakan metode
penulisan sejarah dengan melakukan tinjauan pustaka. Pada tahap-tahap penelitian
ini yang digunakan ialah mengumpulkan data yaitu Heuristik, sekiranya akan
menunjang dalam penelitian tentang pergerakan Islam pada masa pasca
kemerdekaan. Tahap berikutnya adalah kritik sumber dengan memilah data yang
memang memiliki tingkat otentisitas dan keabsahan yang sesuai dan relevan
dengan penelitian. Kemudian, Interpretasi adalah penafsiran data berdasarkan
data yang telah tersedia. Tahap terakhir adalah penulisan hasil penelitian
yaitu Historografi.
PEMBAHASAN
Percaturan
Islam pada Politik Pemerintahan Awal Kemerdekaan
Pada akhir
abad ke-19, dan awal abad ke-20, muncul perkembangan baru di Tanah Air yakni
munculnya pergerakan-pergerakan Islam modern. Perkembangan Islam muncul seiring
dengan bangkitnya gerakan-gerakan nasionalisme diberbagai belahan dunia Islam
dalam upaya membebaskan diri dari penjajahan. Pengaruh tokoh-tokoh modern di
Mesir seperti Jamaluddin Al-Afghani, Muhammad Abduh, dan Rasyid Ridha juga
secara langsung maupun tidak langsung telah memberi inspirasi bagi bangkitnya
pergerakan modern di Indonesia. Para tokoh tersebut aktif menyebarkan
pemikirannya melalui publikasi di majalah Al-Urwatul Wutsqa dan Al-Manar.
Organisasi-organisasi modern kemudian bermunculan bak cendawan di musim hujan
seperti Sarekat Islam (SI), Muhammadiyah, Persatuan Islam (Persis), Nahdatul
Ulama (NU), Al-Irsyad dan Jami’at Khair. Dalam perkembangannya pada bulan
September 1937, di Surabaya didirikan Majelis Islam A’la Indonesia (MIAI), yang
disponsori oleh Muhammadiyah dan NU. MIAI merupakan federasi organisasi Islam
dan bercirikan semangat non-kooperatif terhadap pemerintahan penjajah Belanda
kala itu. Kemudian pada masa awal pendudukan Jepang, MIAI dibubarkan dan
diganti dengan Majelis Syuro Muslimin Indonesia (MASYUMI) dengan tujuan untuk
kesatuan semua organisasi Islam di Indonesia (Didin Saefuddin Buchori,
2009:312).
Sejak
awal kemerdekaan Indonesia, di kalangan para pendiri republik ini terjadi tarik
menarik kepentingan antara kecenderungan ingin mendirikan sebuah negara
kesatuan yang kuat, dengan kecenderungan gairah untuk membentuk pemerintahan
yang berorientasi pada demokrasi. Lalu mengenai dasar negara, tarik menarik
telah terjadi pada masa pra-kemerdekaan, yakni antara keinginan untuk
memisahkan urusan negara dengan agama (dengan mendukung sebuah sistem filsafat
pemersatu yakni Pancasila), dengan yang beraspirasi untuk menjadikan Islam
sebagai dasar negara. Tokoh-tokoh yang beraspirasi untuk menjadikan Islam
sebagai dasar negara diperjuangkan oleh golongan nasionalis Islam misalnya H.
Agus Salim, K.H. Abdul Kahar Muzakkir, K.H. Wachid Hasyim, Ki Bagus Hadikusumo,
dan lain-lain.
Soekarno
yang dikenal sebagai salah satu tokoh nasionalis sekuler dan penentang gagasan
didirikannya Negara Islam, ketika berpidato pada 1 Juni 1945, dan mengusulkan
Pancasila sebagai Dasar Negara, ternyata beliau suka dengan hal-hal yang
simbolik. Bahwa Pancasila sebagai lima dasar, seperti Panca Indera, Pandawa
Lima, Panca Dharma dan bahkan Rukun Islam juga ada lima (Suwarno, 2012:56-57).
Setelah
proklamasi kemerdekaan Indonesia dikumandangkan, perihal tentang Piagam Jakarta
dipersoalkan. Sore harinya, tiba seorang pejabat angkatan laut Jepang yang
datang menemui Hatta dan melaporkan bahwa masyarakat penganut Kristen di
Indonesia bagian Timur tidak akan bergabung dan tidak mau menjadi bagian dari
RI jika beberapa unsur dari Piagam Jakarta disahkan sebagai konstitusi negara.
Penerapan Piagam Jakarta dianggap akan mengakibatkan timbulnya kebijakan negara
yang bersifat diskriminatif. Namun pada akhirnya, kalimat “dengan menjalankan
syari’at Islam bagi pemeluk-pemeluknya” pada sila pertama Piagam Jakarta dihapus
setelah menjalani beberapa musyawarah yang menghasilkan perubahan menjadi hanya
“Ketuhanan Yang Maha Esa” saja sebagaimana Pancasila sekarang pada sila pertama.
Hilangnya
tujuh kata dalam Piagam Jakarta sangat disayangkan oleh umat Islam karena merupakan
sebuah kerugian yang besar. Namun karena penghilangan tujuh kata dimaksudkan
untuk menyelamatkan Indonesia yang baru merdeka maka hal itu dapat diterima dan
bahkan dianggap sebagai sebuah pengorbanan. Bahkan Alamsyah Ratu Perwiranegara,
mantan Menteri Agama RI, pernah menyebutkan bahwa “Pancasila merupakan hadiah
terbesar yang diberikan kepada umat Islam kepada Republik Indonesia (Suwarno,
2012:58).
Suasana
sosial politik Indonesia pada tahun-tahun pertama kemerdekaan memperlihatkan
tidak adanya hambatan penting yang menghalangi hubungan politik antara kelompok
Islam dengan kelompok nasionalis. Perdebatan mereka tentang corak hubungan
antara Islam dan negara seperti
terhenti. Paling tidak, untuk sementara waktu kedua kelompok ini melupakan
perbedaan ideologis diantara mereka.
Kelompok
Islam menjadikan wadah Masyumi sebagai organisasi politik untuk menyuarakan
aspirasi mereka. Para anggota Masyumi adalah kaum modernis dan tradisonalis,
baik secara pribadi maupun organisasi seperti Muhammadiyah dan NU. Kekuatan
Masyumi antara tahun 1946-1951 benar-benar mencolok. Pada pemilihan umum
tingkat regional yang diselenggarakan di beberapa wilayah di Jawa tahun 1946,
dan pemilihan umum di Yogyakarta pada tahun 1951, Masyumi meraih suara
mayoritas suara mutlak lebih banyak dibanding dengan kontestan lainnya.
Kekuatan
Masyumi sebagai partai politik Islam terus diuji sehingga harus mengalami masa
surutnya. Diantaranya adalah keputusan anggota-anggota lain yang selama ini
menjadi pendukungnya mulai menyatakan keluar dari Masyumi. Terakhir, karena
konflik dengan Soekarno yang memaksa Masyumi dibubarkan oleh Presiden pada
tahun 1960 sebab para tokoh-tokoh Masyumi dituduh Soekarno terlibat dalam
pemberontakan PRRI pada tahun 1957-1958 (Didin Saefuddin Buchori, 2009:317-318).
Politik
Islam pada Masa Revolusi Fisik (1945-1949)
Di beberapa
wilayah pinggiran, beberapa kelompok Muslim menolak sikap kompromi dan
bersikeras untuk bertempur demi merealisasikan sebuah negara Islam. Di antara
gerakan pemberontakan Islam yang terbesar adalah Dâr al-Islam, yang didirikan oleh
mantan aktivis Sarekat Islam bernama Kartosuwiryo. Ia berperang melawan Belanda
pada tahun 1947 dan pada tahun 1948, ia tidak mau menerima perjanjian Renville
antara Indonesia dan Belanda, keluar dari partai Masyumi, bertahan untuk
melanjutkan pertempuran militer dengan caranya sendiri, dan menyatakan dirinya
sebagai imam untuk sebuah pemerintahan Islam sementara, Negara Islam Indonesia.
Negara Islam ini ditegaskan sebagai negara yang berdasarkan Al-Qur’an dan hadist,
dan sebuah republik konstitusi dengan sebuah parlemen hasil pemilihan. Sang
imam, yang dipilih oleh parlemen, merupakan kepala negara. Negara baru tersebut
menegaskan bahwasanya negara memberikan perlindungan yang sama di muka hukum,
hak standar kehidupan yang tinggi, dan kebebasan beribadah, berbicara, dan
perwakilan untuk seluruh warga. Pertempuran militer melawan Belanda dan
belakangan melawan Republik Indonesia terus berlangsung hingga gerakan ini
akhirnya dibasmi pada tahun 1962.
Setelah Wakil
Presiden mengeluarkan Maklumat No. 10 tentang diperkenankannya mendirikan
partai-partai politik, tiga kekuatan yang sebelumnya bertikai muncul kembali.
Pada tanggal 7 November 1945, Majelis Syura Muslimin Indonesia (Masyumi) lahir
sebagai wadah aspirasi umat Islam, 17 Desember 1945 Partai Sosialis yang
mengkristalisasikan falsafah hidup Markis berdiri, dan 29 Januari 1946, Partai
Nasional Indonesia (PNI) yang mewadahi cara hidup nasionalis “sekuler” pun
muncul. Partai-partai yang berdiri sesudah itu dapat dikategorikan ke dalam
tiga aliran utama ideologi yang terdapat di Indonesia di atas. Partai-partai
Islam setelah merdeka selain Masyumi adalah Partai Sarikat Islam Indonesia
(PSII) yang keluar dari Masyumi tahun 1947, Persatuan Tarbiyah Islamiyah
(Perti), dan Nahdlatul Ulama (NU) yang keluar dari Masyumi tahun 1952.
Dalam masa-masa
revolusi tersebut, konflik ideologi di atas memunculkan tiga alternatif dasar
negara yaitu: Islam, Pancasila, dan Sosial Ekonomi. Akan tetapi dalam
perjalanan sidang-sidang konstituante itu, perdebatan ideologis mengenai unsur
dasar negara terkristal menjadi Islam dan Pancasila (Rif’at Husnul Ma’afi, 2013:82-83).
Politik
Islam Periode Demokrasi Parlementer (1950-1959)
Secara
de facto dan de jure, sistem politik Indonesia pada periode ini menganut sistem
demokrasi liberal. Dengan ciri khas utama kebebasan politik, sosial, dan
ekonomi yang luas, keterbukaan dalam proses politik, kebebasan pers dan media
massa, serta penghargaan besar terhadap HAM. Namun sulitnya para elite politik
dalam menggalang koalisi yang kokoh dengan partai-partai yang berbeda aliran
politik, praktik “politik dagang sapi” yang hanya menguntungkan segelintir
elite politik, persaingan elite politik di parlemen yang mengarah pada mosi
tidak percaya untuk menjatuhkan kabinet yang berkuasa, kendala komunikasi
antara pusat dan daerah dalam sebuah wilayah kepulauan yang luas dan sarana
prasarana transportasi dan komunikasi yang belum memadai. Akibatnya timbul dari
keadaan seperti instabilitas politik, sosial, ekonomi serta munculnya
pergolakan-pergolakan di daerah-daerah seperti Gerakan DI/TII, PRRI dan
Permesta (Suwarno, 2012:60-61).
Negara Islam
Indonesia (NII) yang kemunculannya oleh berbagai pihak dituding sebagai akibat
dari merasa sakit hatinya kalangan Islam, dan bersifat spontanitas, lahir pada saat
terjadi vacum of power di Republik Indonesia (RI). Sejak tahun 1926, telah
berkumpul para ulama di Arab dari berbagai belahan dunia termasuk H.O.S
Tjokroaminoto guna membahas rekonstruksi khilafah Islam yang runtuh pada tahun
1924 sayangnya, isyuro para ulama tersebut tidak membuahkan hasil dan tidak
berkelanjutan.
Oleh karena
itu, muncullah gerakan yang disebut Darul Islam. Darul Islam secara harfiah
berasal dari bahasa Arab dan Al-Islam yang berarti rumah atau keluarga Islam,
dunia atau wilayah Islam. Pengertian secara istilah Darul Islam di Indonesia
digunakan untuk menyatakan gerakan-gerakan sesudah tahun 1945 yang berusaha
dengan kekerasan untuk merealisasikan cita-cita Negara Islam.
Gerakan
kekerasan yang bernada Islam ini terjadi di berbagai daerah di Indonesia di
antaranya Jawa Barat pada 1949-1962, Jawa Tengah pada 1965, Sulawesi berakhir
1965, di Kalimantan berakhir 1963 dan di Aceh pada 1953 yang berakhir dengan
kompromi pada tahun 1957. Gerakan-gerakan Islam tersebut mendapat perlawanan keras
dari tentara republik Indonesia karena mereka dianggap tidak patuh dan tunduk
pada pemerintah serta melakukan pemberontakan dimana-dimana di antaranya adalah
Gerakan DI/TII Jawa Barat yang dipimpin oleh Sekarmaji Kartosuwiryo, Gerakan
DI/TII Jawa Tengah yang dipimpin oleh Amir Fattah, Pemberontakan di Sulawesi
Selatan yang dipimpin oleh Kahar Muzakkar, Pemberontakan di Kalimantan Selatan
yang dipimpin Ibnu Hadjar dan Pemberontakan di
Aceh yang dipimpin Daud Beureuh (Rif’at Husnul Ma’afi, 2013:77-78).
Setelah
penyerahan kedaulatan 27 Desember 1949, sejarah politik Indonesia memasuki
babak baru dengan diterapkannya sistem demokrasi parlementer dan konstitusi UUD
RIS 1949 yang kemudian diganti dengan UUDS 1950. Pada tahun 1950-1957 ditandai
dengan jatuh bangunnya partai-partai politik yang berumur rata-rata kurang dari
setahun. Setelah NU keluar dari Masyumi,
parpol Islam diwakili oleh Masyumi, NU, PSII, dan Perti. Ciri lainnya tidak
satu pun parpol yang mayoritas. Pada masa revolusi, PNI dan Masyumi sering
mengadakan kerjasama, namun pada masa ini hubungannya tidak serasi lagi, bahkan
dalam saat-saat tertentu sama sekali terputus (Rif’at Husnul Ma’afi, 2013:83).
Politik
Islam Periode Demokrasi Terpimpin (1959-1965)
Dalam
perkembangannya, Soekarno menggagas ide yang ingin menyatukan paham
nasionalisme, Islam dan komunisme yang terkenal dengan sebutan “NASAKOM”.
Konsep yang jelas mengenai ide ini tak pernah terumuskan. Ide ini mendapat
reaski keras dari umat Islam. Namun secara tidak terduga mendapat dukungan dari
NU. Bahkan NU memberikan gelar kepada Soekarno dengan sebutan Waliyyul Amri Dharury bisy Syaukah (arti
harfiahnya : Pelindung dalam keadaan darurat dengan pemberian wewenang). Sikap
akomodatif NU ini hanyalah suatu pragmatisme politik semata (Didin Saefuddin
Buchori, 2009:318).
Pada periode
Demokrasi Terpimpin ini, kekuatan umat Islam khususnya kalangan muslim modernis
semakin terpinggirkan. Pembubaran Masyumi melalui Surat Keputusan Presiden
Soekarno no. 200/tahun 1960 tertanggal 17 Agustus 1960 adalah atas bujuk rayu
PKI (atau tekanan TNI AD) yang berhasil mempengaruhi Presiden Soekarno dengan
alasan Masyumi menolak konsepsi presiden (Nasakom) dan beberapa tokohnya
dituduh terlibat dalam pemberontakan PRRI dan Permesta. Kemudian pada akhir
tahun 1960, banyak pemimpin Masyumi yang ditangkap dan dipenjarakan oleh rezim
demokrasi terpimpinnya Soekarno tanpa melalui proses peradilan. Jadi kekuatan
umat Islam yang tersisa pada demokrasi terpimpin hanya tinggal kalangan Islam
tradisionalis yang diwakili oleh NU (Suwarno, 2012:67-68).
Peranan
partai Islam di masa itu mengalami kemerosotan. Soekarno makin memperlihatkan
otoritasnya sebagai penguasa. Pancasila ditafsirkan sesuai keinginannya. Partai
yang mendapat angin waktu itu adalah PKI yang mulai melakukan manuver-manuver
politiknya. Dan bahkan pada bulan Mei 1963, NU dan PKI mendukung sepenuhnya
pengangkatan Soekarno sebagai presiden seumur hidup (Didin Saefuddin Buchori,
2009:318).
Politik
Islam pada Periode Orde Baru (1966-1998)
Awal Orde
Baru ditandai dengan dikeluarkannya Surat Perintah Sebelas Maret (Supersemar)
tahun 1966. Supersemar menjadi tonggak lahirnya Orde Baru karena sejak itu ada
dualisme kekuasaan, satu pihak di tangan Soekarno yang kekuasaannya makin lama
makin menurun, dan di pihak lain di tangan Jenderal Soeharto sebagai pengembang
Supersemar yang kekuasaannya makin lama makin meningkat (Suwarno, 2012:72).
Harapan baru
umat Islam muncul kembali. Masyumi diusulkan untuk direhabilitasi namun
ternyata ditolak oleh pemerintah. Sebagai kompensasinya, pemerintah mengizinkan
pendirian partai baru untuk menampung para mantan aktivis Masyumi. Nama partai
tersebut adalah Partai Muslimin Indonesia (Parmusi) dengan pemimpinnya adalah
Djarnawi Hadikusumo dan Lukman Harun. Satu demi satu keinginan umat Islam
kandas di tangan Orde Baru. Piagam Jakarta yang diusulkan untuk dilegilisasi
kembali pada sidang MPRS tahun 1968 ditolak. Demikian juga keinginan untuk
menyelenggarakan Kongres Umat Islam Indonesia pada tahun yang sama pun tidak
dikabulkan.
Sikaf saling
mencurigai muncul dan merebak, bahkan pemerintahan Orde Baru makin
memperlihatkan sikap represifnya terhadap umat Islam. Setiap kegiatan dakwah
harus meminta izin dari aparat keamanan, setiap organisasi Islam harus
mengganti azaz organisasinya dengan azaz tunggal Pancasila. Kegiatan-kegiatan
kemahasiswaan di kampus-kampus juga dibatasi dengan norma-norma yang
menyebabkan mahasiswa memfokuskan hanya pada perkuliahan saja, sementara
pendakwah yang dianggap membahayakan penguasa dipenjarakan.
Didasarkan
pada anggapan bahwa Islam yang kuat secara politik akan menjadi hambatan bagi
modernisasi. Dengan mendepolitisasi Islam, mereka berharaf akan mendapat
mempertahankan kekuasaan dan melindungi kepentingan-kepentingan mereka.
Kendati
Islam secara politik mendapat tekanan dari berbagai sudut, di pihak lain secara
kultural kebangkitan Islam justru menyeruak tanpa terbendung. Tercatat pada
sekitar pertengahan tahun 1980-an, secara fenomenal dakwah Islam menerobos
dinding-dinding gedung mewah seperti hotel-hotel berbintang. Gedung-gedung
perkantoran modern banyak menyediakan tempat untuk Shalat Jum’at,
pengajian-pengajian muncul di kalangan birokrasi pemerintahan, berbagai kegiatan
dakwah seperti tablig akbar mendapat sambutan ribuan pengunjung, masjid-masjis
bermunculan, seminar-seminar keislaman diadakan di kampus-kampus sekuler
seperti UI, UGM, ITB, IPB dan Universitas Trisakti, para wanita dari kalangan
terpelajar banyak yang mengenakan jilbab di kota-kota besar dan buku-buku Islam
terbitan baru dengan tema-tema aktual diterbitkan secara besar-besaran.
Tidak hanya
itu, bahkan pada tingkat ekonomi berhasil didirikan Bank Muamalat yang
beroperasi secara syari’at Islam pada tahun 1992. Sementara pada lapisan kaum
intelektual didirikan organisasi bernama Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI)
dengan ketuanya B.J. Habibie (Didin Saefuddin Buchori, 2009:319-321).
Politik
Islam pada Periode Reformasi (1998-sekarang)
Periode
Reformasi dimulai sejak jatuhnya kekuasaan otoriter Soeharto pada 21 Mei 1998
yang disusul dengan naiknya B.J. Habibie menjadi Presiden RI ke-3 (sampai
Oktober 1999), kemudian masa Presiden Gus Dur (sejak Oktober 1999 hingga Juli
200 1), lalu masa Presiden Megawati hingga masa sekarang.
Kebebasan
yang terbuka lebar di masa ini pula dimanfaatkan oleh umat Islam untuk menata
dirinya. Bukan hanya di bidang politik, melainkan juga bidang ekonomi,
pendidikan, sosial, dan kehidupan keberagamaan. Banyak fenomena menarik tentang
menguatnya kebangkitan politik kaum santri. Kebijakan-kebijakan pemerintah yang
pro-Islam semakin tampak terbuka, seperti dicanangkannya program zakat nasional
pada tahun 2005 dan penataan madrasah-madrasah di bawah Departemen Agama dengan
dukungan dana besar.
Kemudian
mengapa penulis tidak membahas secara utuh dan menyeluruh tentang pergerakan
Islam masa Reformasi sebab Islam berkembang hanya pada persaingan partai
politik belaka, berdirinya parpol baru menyebabkan kebebasan demokratisasi
sehingga Islam berkembang dalam bentuk partai politik semata. Partai-partai
baru ini tidak menegaskan sebagai partai Islam namun konstituennya adalah
kalangan Islam. Dalam segi kebijakan pemerintah, Islam telah masuk dalam ranah
perekonomian seperti penerapan sistem syari’ah pada bank-bank yang
berlatarbelakang Islam seperti Bank Muamalat yang merupakan warisan dari Orde
Baru.
Sebagai
tambahan juga seiring dengan perkembangan Teknologi, Informasi dan Komunikasi
yang semakin pesat, kalangan Islam memanfaatkan jaringan internet untuk membuat
situs dakwah yang menarik dan program TV bernuansa islami. Sementara ditingkat
keberagamaan masyarakat terbentuk biro-biro perjalanan haji dan umrah untuk
memfasilitasi masyarakat yang hendak melaksanakan ibadah haji dan umrah.
Perkembangan
Islam dan kehidupan umat Islam di Indonesia akan terus berjalan seiring
berjalannya waktu. Banyaknya kaum muda Islam terpelajar yang bergelar Sarjana,
Magister dan Doktor tampaknya membawa angin segar bagi perkembangan baru Islam
Indonesia dimasa depan. Beberapa pendapat yang dilontarkan para pakar dan
pemikir Islam dunia memprediksi bahwa kebangkitan Islam akan muncul di Asia
Tenggara khususnya Indonesia. Apakah itu mitos atau realitas, hanya waktu yang
akan menjawabnya.
Peranan
Pendidikan dalam Perkembangan Islam Pasca Kemerdekaan
Selain dari
organisasi-organisasi yang berkonsep Islam dalam mendukung pergerakan Islam di Indonesia,
namun terdapat aspek lain yang tak luput dari pusat perhatian yakni Lembaga
Pendidikan. Lembaga-lembaga pendidikan Islam sudah berkembang dalam beberapa
bentuk sejak zaman penjajahan kolonial Belanda. Salah satu bentuk pendidikan
Islam tertua di Indonesia ialah pesantren yang tersebar di berbagai penjuru pelosok
negeri. Lembaga pendidikan pesantren dipimpin oleh seorang kiai atau ulama yang
saat itu belum ada kurikulum yang jelas pada tingkat lanjutan. Kemajuan seorang
penuntut sangat ditentukan oleh kerajinan, kesungguhan dan ketekunan
masing-masing.
Dengan
berkembangnya pemikiran Islam di awal abad ke-20, persoalan administrasi dan
organisasi pendidikan mulai mendapat perhatian dari beberapa kalangan.
Kurikulum sudah mulai jelas, belajar untuk memahami, bukan sekedar menghafal,
ditekankan dan pengertian ditumbuhkan. Itulah yang dinamakan dengan Madrasah. Pada
umumnya madrasah dibagi menjadi dua jenjang, yaitu tingkat dasar yang dinamakan
Madrasah Ibtidaiyah, dan untuk tingkat lanjutan yang dinamakan Madrasah Tsanawiyah.
Setelah
Indonesia merdeka, terutama setelah berdirinya Departemen Agama, persoalan
pendidikan agama Islam mulai mendapat perhatian lebih serius. Badan Pekerja
Komite Nasional Indonesia Pusat pada bulan Desember 1945, menganjurkan agar
pendidikan madrasah diteruskan. Badan ini mendesak pemerintah agar memberikan
bantuan kepada madrasah. Departemen Agama dengan segera membentuk bagian khusus
yang bertugas menyusun pelajaran pendidikan agama Islam, mengawasi pengangkatan
guru-guru agama dan mengawasi pendidikan agama (Samsul Munir Amin,
2010:419-420).
Upaya
pembinaan madrasah, menuju kesatuan sistem pendidikan nasional, semakin
ditingkatkan. Usaha tersebut tidak hanya merupakan tugas dan wewenang
Departemen Agama saja, tetapi merupakan tugas dan wewenang pemerintah secara
keseluruhan bersama masyarakat. Pada tahun 1975, dikeluarkan Surat Keputusan
Bersama (SKB) 3 Menteri, antara Menteri Dalam Negeri, Menteri Agama dan
Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, tentang peningkatan mutu
pendidikan pada madrasah. Hal ini
dilatarbelakangi bahwa siswa-siswa madrasah sebagaimana halnya tiap-tiap
warga negara Indonesia berhak memperoleh
kesempatan yang sama untuk
memperoleh pekerjaan dan penghidupan yang
layak bagi kemanusiaan dan
pengajaran yang sama, sehingga lulusan
madrasah, yang menghendaki melanjutkan atau pindah ke
sekolah-sekolah umum dari
tingkat sekolah dasar sampai
perguruan tinggi. Dalam rangka
merealisasikan SKB 3 menteri tersebut,
maka pada tahun
1976, Departemen Agama mengeluarkan kurikulum sebagai standar untuk dijadikan
acuan oleh madrasah, baik untuk MI, MTs, maupun Madrasah Aliyah (Beti Yanuri
Posha, 2015:81).
Sementara
itu, perguruan Islam swasta dalam bentuk lain masih berjalan. Adapun bentuk
lembaga pendidikan Islam swasta adalah sebagai berikut: Pertama, pesantren Indonesia klasik, seperti telah disebutkan. Kedua, madrasah diniyah (sekolah agama),
yaitu sekolah-sekolah yang memberikan pengajaran tambahan bagi murid sekolah
negeri pada usai sekolah. Pelajaran berlangsung di dalam kelas, di waktu sore
pada sekolah dasar dan sekolah menengah. Ketiga,
madrasah-madrasah swasta, biasanya mata pelajaran dan sistem pengajarannya
sama dengan madrasah negeri.
Departemen
Agama menganjurkan agar pesantren tradisional dikembangkan menjadi sebuah
madrasah, disusun secara klasikal, menggunakan kurikulum yang tetap, dan
memasukkan mata pelajaran umum selain agama. Persoalan kualitas lulusan sekolah
agama terus ditingkatkan, terutama kemampuan bahasa Arab dan bahasa Inggris.
Berkenaan
dengan perguruan tinggi Islam, kaum muslimin di Indonesia sejak awal sudah
mulai berpikir untuk membangunnya. Universitas Islam Indonesia (UII) adalah
perguruan tinggi Islam pertama yang memiliki fakultas-fakultas non agama. UII
bermula diawal tahun 1945, di saat Masyumi memutuskan untuk mendirikan Sekolah
Tinggi Islam di Jakarta. Namun sebelum perkembangannya, pada tanggal 22 Januari
1950, sejumlah pemimpin Islam mendirikan sebuah universitas Islam di Solo, kemudian
tanggal 20 Februari 1951, universitas Islam yang ada di Yogyakarta disatukan
dengan universitas Islam di Solo sehingga menjadi Universitas Islam Indonesia
(UII) yang sejak itu memiliki cabang di dua kota tersebut.
Perguruan
tinggi Islam yang khususnya terdiri dari fakultas-fakultas keagamaan mulai
mendapat perhatian dari Kementerian Agama pada tahun 1950. Pada tanggal 12
Agustus 1950, Fakultas Agama di UII dipisahkan dan diambil alih oleh pemerintah.
Pada tanggal 26 September 1951, secara resmi dibuka perguruan tinggi baru
dengan nama Perguruan Tinggi Agama Islam Negeri (PTAIN) dibawah pengawasan
Kementerian Agama. Kemudian pada tahun 1960, didirikan juga Institut Agama
Islam negeri (IAIN), yang juga berada dalam pengawasan Kementerian Agama yang
terus mengalami perkembangan pesat sebagai pusat pendidikan tinggi agama Islam.
Disamping di kelola oleh negeri, beberapa perguruan tinggi Islam swasta juga
telah banyak berdiri dan memiliki fakultas-fakultas umum selain
fakultas-fakultas Agama, diantaranya Universitas Muhammadiyah di beberapa kota,
Universitas Islam Jakarta, Universitas Muslimin Indonesia (UMI) Makassar, dan
sebagainya (Samsul Munir Amin, 2010:420-422).
KESIMPULAN
Dari uraian
kalimat tersebut di atas yang bertema “Pergerakan Islam Masa Pasca Kemerdekaan”
menyimpulkan bahwa Islam juga berperan dalam upaya mempertahankan kemerdekaan
Indonesia serta berusaha membangkitkan kembali kejayaan Islam yang pernah
diraih melalui sistem perkembangan kebijakan-kebijakan politik Islam dalam
membangun pemikiran-pemikiran modern pada tiap-tiap zamannya sebagai falsafah
hidup manusia berbangsa dan bernegara.
Kekucilan
Islam dalam era globalisasi ini menjadi tolak ukur bahwa Islam masih hidup di
dalam hati tiap-tiap manusia dan bersiap menyongsong era baru melalui para
cendekiawan-cendekiawan muslim dalam upaya menghidupkan kembali kejayaan Islam
sehingga kekuatan Islam masih dapat diperhitungkan sepanjang umat tidak saling
memecahbelahkan keeratan manusia di dunia.
REFERENSI
Daliman. 2012. Islamisasi
dan Perkembangan Kerajaan-Kerajaan Islam di Indonesia. Yogyakarta : Ombak
Husnul Ma’afi, Ri’fat. 2013. Politik Islam di Indonesia Pasca Kemerdekaan hingga Demokrasi Terpimpin.
Al-Daulah: Jurnal Hukum dan Perundangan Islam, Volume 3, Nomor 1, April 2013,
ISSN 2089-0109
Munir Amin, Samsul. 2010. Sejarah Peradaban Islam. Jakarta : Amzah
Saefuddin Buchori, Didin. 2009. Sejarah Politik Islam. Jakarta : Pustaka
Intermasa
Suwarno. 2012. Sejarah
Politik Indonesia Modern. Yogyakarta : Ombak
Yanuri Posha, Beti. 2015. Perkembangan Islam di Indonesia Pasca Kemerdekaan. Jurnal HISTORIA
Volume 3, Nomor 2, Tahun 2015, ISSN 2337-4713
Yatim, Badri. 2013. Sejarah Peradaban Islam Dirasah Islamiyah II. Jakarta : PT.
RajaGrafindo Persada
Artikel sebenarnya ini ditujukan kepada Dosen Sejarah saya yaitu Bapak Ravico, M.Hum.
Meski hasilnya dengan apa adanya tetapi saya tetap berusaha.
Artikel sebenarnya ini ditujukan kepada Dosen Sejarah saya yaitu Bapak Ravico, M.Hum.
Meski hasilnya dengan apa adanya tetapi saya tetap berusaha.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar