SITUS ULAK LEBAR
“PERADABAN SUNGAI KELINGI”
Kota
Lubuklinggau memiliki peran yang cukup
berarti dalam perjalanan sejarah Indonesia khususnya di Provinsi Sumatera Selatan. Pada masa Kesultanan Palembang Darussalam, wilayah ini sempat dijadikan pusat kekuatan angkatan perang oleh Sultan
Mahmud Badaruddin II ketika menghadapi armada Inggris. Dari data arkeologi yang terdapat di wilayah ini, diketahui bahwa pemukiman
kuno di Kota Lubuklinggau-Musirawas diperkirakan telah
ada sejak masa prasejarah. Hal ini dibuktikan dengan ditemukannya alat-alat
paleolitik berupa alat serut berpunggung tinggi tipe tapal kuda serta kapak
genggam yang dibuat dengan teknik bifasial. Tinggalan arkeologi dari masa
prasejarah ini ditemukan di Situs Lesungbatu.
Pada masa kemudian, ketika pengaruh agama Hindu-Buddha
berkembang, sisa-sisa pemukiman kuno dari masa tersebut ditemukan di Situs
Bukitcandi yang berupa reruntuhan bangunan candi dan yoni serta di Situs Binginjungut
dan Situs Tingkip di mana ditemukan beberapa arca Buddha. Dalam perkembangan
selanjutnya meskipun pengaruh agama Hindu-Buddha maupun agama Islam telah masuk
ke wilayah Musirawas, tradisi kehidupan dari masa prasejarah ternyata masih
terus berlanjut seperti yang dapat dilihat di Situs Ulak lebar.
Situs
ulak lebar terletak di kelurahan Sidorejo kecamatan Lubuklinggau Barat, kota
Lubuklinggau. Lokasi situs ini ditandai dengan Bukit Sulap, Sungai Kelingi,
Sungai Kasie, Dan Sungai Ketue. Di situs yang berada di kaki Bukit Sulap ini terdapat sebuah benteng tanah
yang letaknya di antara Sungai Kelingi dan Sungai Ketue. Benteng ini berupa
gundukan tanah yang membentang di sisi barat dan timurnya, sedangkan pada sisi
utara dan selatannya berbatasan langsung dengan Sungai Kelingi dan Ketue yang
bertebing curam. Gundukan tanah yang merupakan dinding benteng mempunyai
tinggi ± 2 m dan lebar ± 4 m. Benteng Ulak lebar ini berdenah agak membulat dengan pintu masuk terdapat di sisi timur.
Tinggalan kepurbakalaan disitus ini yang
ditemukan dari hasil observasi, ada tiga macam yaitu tradisi megalitik berupa
menhir, benteng alam (bangunan pertahanan dari tanah), dan pecahan-pecahan
gerabah dan keramik asing. Komplek situs ini
terbagi atas 7 sektor, yakni 2
sektor disebelah selatan sungai kelingi ( sektor I dan sektor II), 5 sektor
disebelah utara sungai kelingi diapit oleh 2 buah sungai yang bermuara kesungai
kelingi oleh sungai kasie disebelah barat
dan sungai ketue sebelah timur. 2 sektor dalam kompleks benteng (sektor
IV dan sektor V), satu sektor terletak disebelah timur benteng (sektor III),
dan dua sektor terletak disebelah barat benteng (sektor VI dan sektor VII).
a. Sektor I
Pada Sektor 1, terdapat 12
Pasang Menhir yang terbagi atas Grup A dan Grup B. Kemudian posisi nisan
menunjukkan arah utara dan selatan. Pada sektor ini tidak ada perubahan yang
terjadi di sekitar sektor kecuali pecahan gerabah dan keramik yang hampir tidak
ada lagi karena sulit mencarinya dikarenakan lapisan humus tanah tanaman kopi
disekitar sektor ini yang sudah tebal dan lembab.
b.
Sektor II
Disektor II terdapat 4 Group
Menhir. Luas sektor II ± 36.000 m2
yaitu dari utara (tepi sungai kelingi) keselatan 120 m dan dari barat (tepi
jalan menuju jembatan gantung) ketimur 300 m. Sektor ini sangat banyak dijumpai pecahan gerabah
polos dan pecahan keramik asing. Sejak tahun 1995, sebagian lokasi dari sektor
II dimanfaatkan oleh masyarakat untuk melakukan penambangan pasir. Sebagian
wilayah sektor II mengalami kerusakan akibat adanya penambangan pasir (galian
C).
c.
Sektor III
Sektor III terletak
disebelah timur benteng kuto arah utara sungai Kelingi dan lebih dekat dengan
sungai Ketue. Jumlah menhir pada sektor III sebanyak 50 pasang dan terbagi
menjadi 10 Group
d.
Sektor VI dan sektor V
Sektor
ini berada dalam lokasi benteng kuto ulak lebar. Temuan disektor 4 terdapat
sepasang menhir posisi utara dan selatan
letaknya hanya 4 meter dari tebing curam tepi sungai Kelingi.
Sejauh 38 m arah keutara (145 0) dari menhir sektor 4,
terpisah oleh jalan proyek irigasi sungai kasie, terdapat 1 pasang menhir lagi pada Sektor 5.
Temuan
yang menonjol disektor 4 dan 5 ini adalah pecahan keramik yang cukup banyak. Temuan
pecahan keramik disepanjang jalan yang dibuat oleh proyek irigasi sungai kasie,
didalam lokasi benteng ditemukan
tidak kurang dari 8 kg pecahan keramik asing yang bervariasi berasal dari Dinasti
Sung (abad
10), Dinasti
Ming
(abad 16), Dinasti
Ching
(abad 17), Jepang
(abad 17), Eropa
(abad 19), dan Vietnam (abad 16).
e.
Sektor VI dan sektor VII
Temuan disektor 6 dan 7 di
Situs Ulak Lebar mengenai menhir tidak ada perubahan. Disektor 6 yaitu terdapat
1 group ( 2 pasang ), dan disektor 7 terdapat 2 group ( 7 pasang ). Perubahan
yang patut menjadi catatan bahwa di kedua sektor ini menjadi lokasi percetakan
sawah proyek irigasi kasie, diharafkan proyek ini membawa dampak positif bagi
kesejahteraan masyarakat dan benda cagar budaya tetap terpelihara.
TRADISI
DARI MASA PRASEJARAH
Dalam perkembangannya, sebuah pemukiman yang
dilengkapi oleh benteng tanah diperkirakan telah ada sejak masa prasejarah
tepatnya pada saat dikenalnya kegiatan bercocoktanam. Pada masa itu
pemukimannya sudah mulai menetap sehingga diperlukan sebuah bangunan yang
berfungsi untuk melindungi pemukiman tersebut dari ancaman-ancaman binatang
buas maupun antar kelompok pemukiman yaitu benteng yang berupa gundukan tanah.
Pada masa itu juga berkembang sebuah tradisi ysng
dikenal dengan istilah ‘tradisi megalitik’. Tradisi ini mengacu pada pendirian
bangunan dari batu besar yang berkaitan dengan kepercayaan akan adanya hubungan
antara yang hidup dan yang mati, terutama kepercayaan akan adanya pengaruh kuat
dari yang telah mati terhadap kesejahteraan masyarakat dan kesuburan tanaman.
Tradisi megalitik diwujudkan dalam bentuk antara lain
bangunan punden berundak, dolmen, sarkofagus, dan menhir. Bangunan-bangunan
dari tradisi megalitik ini umumnya berfungsi sebagai kuburan atau tempat
pemujaan terhadap roh leluhur. Salah satu tinggalan arkeologi dari tradisi
megalitik yang berfungsi sebagai tempat pemujaan tersebut adalah menhir. Menhir
ialah batu tegak, yang sudah atau belum dikerjakan dan diletakan dengan sengaja
di suatu tempat untuk memperingati orang yang telah mati. Menhir dianggap
sebagai media penghormatan, menampung kedatangan roh sekaligus menjadi lambang
dari orang-orang yang dihormati.
Seperti yang telah diungkapkan sebelumnya bahwa
tradisi dari masa prasejarah ini ternyata terus dipakai oleh masyarakat
Musirawas meskipun pengaruh agama baik Hindu-Buddha maupun Islam telah masuk di
wilayah ini. Memang setelah agama Islam masuk di wilayah ini, benda-benda dari
tradisi megalitik masih digunakan tetapi fungsinya sudah beralih. Jika pada
awalnya menhir dianggap sebagai media penghormatan, maka pada masa perkembangan
Agama Islam menhir tersebut digunakan sebagai nisan. Jadi meskipun
keberadaannya tetap berkaitan dengan penghormatan terhadap orang yang telah
mati tetapi pada masa itu menhir sudah tidak dipuja lagi melainkan hanya
digunakan sebagai tanda sebuah makam seperti halnya pada makam-makam di Situs
Ulak lebar.
keren AA' blognya. tambah lagi info sejarahnya bang ;) anak-anak sman sumsel tertarik liat blog abang . Thank you abang (pak Aliando)
BalasHapusIyaa,, Insya Allah nti akan dtmbh lgi info2 tntng sejarah ny..
BalasHapusslgi kami bsa mbgi ilmu kpda tman2,, smga pngetahuan akan prtmbah bnyak..
Kalo boleh ana tanya,,, kamu anak didik Pak Ziko Febriansyah bukan ??
BalasHapus