RESUME
FILSAFAT SEJARAH
Materi
:
v Pandangan
Siklus : Toynbee,
Spengler
v Pandangan
Kritis : Collingwood
v Pandangan
Evolusi : Chardin
([1])Arnold Toynbee menyimpulkan bahwa dalam gerak sejarah
tidak terdapat hukum tertentu yang menguasai dan mengatur timbul tenggelamnya
kebudayaan dengan pasti. Toynbee tidak membedakan antara civilization dan culture sebagai
istilah yang berbeda, keduanya diambil seperti sinonim. “The words civilization and culture, do not only indicate a special
quality of a society or commonwealth, but also signify the general society or
commonwealth it self.”
([2])Di
dasari oleh penyelidikan yang ia lakukan, Arnold J.Toynbee mengemukakan bahwa
gerak sejarah tidak terdapat hukum tertentu yang menguasai dan mengatur
timbul/tenggelamnya kebudayaan dengan pasti. Yang di sebut kebudayaan (civilization) oleh Toynbee ialah wujud dari
pada kehidupan suatu golongan seluruhnya, yaitu seperti yang di sebut oleh Oswald
Spengler sebagai Kultur Zivilisation.
Menurut
Toynbee, kebudayaan (civilization)
ialah wujud daripada kehidupan suatu golongan seluruhnya. Menurut Toynbee,
gerak sejarah berjalan melalui tingkatan seperti berikut:
1) Genesis of civilization atau lahirnya kebudayaan.
2) Growth of civilization atau perkembangan kebudayaan.
3) Decline of civilization atau keruntuhan kebudayaan :
a) Breakdown of civilization atau kemerosotan kebudayaan.
b) Disintegration of civilization atau kehancuran kebudayaan.
c) Dissolution of civilization atau hilang dan lenyapnya kebudayaan.
Suatu kebudayaan terjadi apabila
manusia bisa menjawab tantangan dari alam sekitarnya. Pertumbuhan dan
perkembangan suatu kebudayaan itu di gerakkan oleh kaum minoritas yang kuat,
sedangkan kaum mayoritas hanya menirunya saja. Karena, kebudayaan akan tercipta
apabila kaum minoritas itu kuat. Apabila kau minoritas itu lemah dan kehilangan
daya menciptanya, dan tak bisa menjawab tantangan-tantangan alam, maka
keruntuhan (decline) mulai tampak.
Keruntuhan itu terjadi dalam tiga masa, yaitu:
1. Kemerosotan kebudayaan (breakdown).
2. Kehancuran kebudayaan (disintegration).
3. Lenyapnya kebudayaan (dissolution).
Jarak antara tiga masa ini bisa terbentang hingga
mencapai 2000 tahun. Pada masa breakdown sebelum
masa disintergration terjadi, sering terdapat usaha untuk
menghentikan kehancuran yang dipimpin oleh jiwa-jiwa besar. Usaha itu mungkin
bisa berhasil apabila kebudayaan itu mengganti segala norma-norma kebudayaan
itu dengan norma-norma ketuhanan. Kembali mencari cara untuk mencapai Civitas Dei (Kerajaan Tuhan).
([3])Oswald
Spengler tersorot karena kitab yang di karang oleh dirinya sendiri yang sangat
mempengaruhi khalayak ramai dan cendekiawan Eropa-Amerika, yang meramalkan
keruntuhan Eropa. Ramalan ini di dasarkan pada keyakinannya bahwa gerak sejarah
di tentukan oleh hukum alam yang disebut nasib. Kehidupan sebuah kebudayaan
dalam segala-galanya sama dengan kehidupan tumbuh-tumbuhan, sama dengan
kehidupan hewan, sama pula dengan kehidupan manusia. Dan persamaan ini pula ada
pada alam semesta.
([4])Menurut Oswald Spengler, gerak sejarah ditentukan oleh
hukum alam yang disebut nasib, fatum atau
Schicksal dalam Bahasa Jerman. Dalil
Oswald ialah kehidupan sebuah kebudayaan dalam segala-galanya sama dengan
kehidupan tumbuhan, hewan, dan prikehidupan manusia.
Hukum itu,
tampak pada siklus-siklus berikut :
·
Alam : Musim semi - musim panas - musim rontok - musim
dingin.
·
Manusia : Masa muda - masa dewasa - masa puncak - masa
tua.
·
Tumbuhan : Masa pertumbuhan - masa berkembang - masa
berubah - masa rontok.
·
Hari : Pagi- siang- sore- malam.
·
Kebudayaan : Pertumbuhan – perkembangan – kejayaan –
keruntuhan.
Tiap-tiap masa
pasti datang sesusai masanya, itulah keharusan alam, itulah yang pasti terjadi.
Manusia hanya bisa menerimanya.
Siklus terdiri
dari 4 bagian/masa: tumbuh, berkembang, jaya, dan runtuh, begitu seterusnya.
Tujuan gerak sejarah adalah: melahirkan, membesarkan, mengembangkan,
meruntuhkan kebudayaan. Oleh sebab itu,
keruntuhan suatu budaya bisa diramalkan terlebih dahulu berdasarkan perhitungan.
Oswald
mengadakan perbedaan antara kultur dengan zivilisation
(civilization). Kultur adalah
kebudayaan yang masih hidup, dapat tumbuh dan berkembang. Sedangkan Zivilization ialah kebudayaan yang sudah
mati.
Mempelajari
sejarah tujuannya ialah mengetahui diagnose
atas tingkat suatu kebudayaan. Sesudah diagnose
itu ditentukan, nasib kebudayaan itu dapat diramalkan sehingga untuk
selanjutnya pemilik kebudayaan itulah yang menentukan sikap hidupnya.
B.
Pandangan Kritis :
Collingwood
([5])R.G. Collingwood adalah seorang ahli filsafat
terkemuka, terutama dalam bidang filsafat sejarah. Pada masa hayatnya dia
adalah Guru Besar dalam bidang Filsafat Metafisika yang dijabatnya dari tahun
1935 sampai dengan tahun 1941 di Universitas Oxford Inggris. Namun pada masa
hidupnya dia tidak begitu dikenal, tetapi setelah meninggal tahun 1943, barulah
para ahli sejarah mengakui kehebatannya di dalam bidang sejarah dan mereka
merasa berhutang budi kepadanya. Tulisan-tulisannya yang berupa makalah-makalah
yang disampaikannya di dalam ceramah-ceramah, diterbitkan secara anumerta
sehingga para ahli menamakan bukunya ini sebagai “one of the great voices of
our time” sebagai satu pemikiran besar pada masa sekarang ini. Collingwood
menganggap ide modern terhadap sejarah dimulai pada masa Herodotus sampai
kepada masa sekarang ini. Baginya sejarah bukanlah apa yang dapat dibaca dari
buku-buku dan dokumen-dokumen, karena itu hanya merupakan keinginan dari orang
sekarang. Dalam pemikiran ahli sejarah adalah apabila dia memberikan kritik dan
interpretasi dokumen-dokumen itu, yang dengan demikian memberikan bayangan
baginya mengenai ciri-ciri dari pemikiran-pemikiran yang diselidikinya.
([6])Pemikiran filsafat sejarah Collingwood
mengembangkan filsafat sejarah dengan metode “re-enactment” yaitu dalam
menerangkan sejarah kita juga harus memasuki jiwa dari pelaku sejarah,
contohnya dalam menceritakan kisah Ken Arok yang menikahi Ken Dedes yang
jelas-jelas telah mengandung anak dari anak Tunggul Ametung. Kita harus
mengetahui apa yang dirasakan atau bahkan merasakan apa yang dirasakan Ken Arok
agar kita dapat menerangkan peristiwa sejarah tersebut. Re-enactment yaitu
memunculkan kembali sejarah pada silam untuk merekonstruksinya di masa
sekarang.
Secara
singkat pandangan Collingwood mengenai masalah filsafat sejarah, pada dibagi
kepada dua :
1.
Mengenai ide
modern yang berkembang semenjak Herodotus sampai abad ke 20.
2.
Gambaran-gambaran
filsafat mengenai sifat, isi dan metode sejarah.
C.
Pandangan Evolusi :
Chardin
([7])Marie-Joseph-Pierre Teilhard de Chardin lahir di
daerah pedalaman Perancis pada tahun 1881. Ia belajar di sekolah Yesuit lalu
masuk ordo tersebut. Ia menjadi paleontology professional (peneliti binatang
dan tumbuh-tumbuhan yang telah punah) sehingga mengakibatkan perhatiannya
tertuju pada asal-usul manusia. Ia pun terlibat dalam penemuan Manusia Peking
pada tahun 1929.
Teilhard
de Chardin tertarik pada hubungan agama Kristen dengan pemikiran evolusi. Teori
Evolusi Darwin yang diuraikan dalam karyanya tahun 1859, Asal-usul
Jenis-jenis dan pada tahun 1871 Keturunan Manusia memberi para
teolog tiga pilihan dasar. Pertama, mereka dapat menolak teorinya, pilihan yang
hanya dipilih oleh sejumlah kecil saja seperti juga sekarang ini. Kedua, mereka
dapat berusaha menyesuaikan ilmu evolusi dengan teologi Kristen tradisioanal.
Ini menjadi pilihan mayoritas, walaupun ada yang lebih mempertahankan
ortodoksi, ada juga yang kurang mempertahankannya. Ketiga, mereka dapat
menafsirkan kembali teologi Kristen menurut teori evolusi. Pandangan Teilhard
de Chardin termasuk penafsiran kembali radikal yang paling terkenal. Teologinya
mirip dengan Teologi Proses pihak Protestan.
Beberapa
pandangan Teilhard de Chardin tidak disenangi atasannya dari ordo Yesuit. Ia
terus- menerus dilarang menerbitkan tulisan-tulisan teologis dan filsafatnya,
dan ia patuh. Ia juga tidak diijinkan menjadi guru besar di College de France,
suatu kehormatan besar. Tetapi pada waktu meninggalnya di tahun 1955
teman-temannya mulai menerbitkan karyanya. Yang terkenal adalah Gejala
Manusia, Lingkungan Ilahi dan Masa Depan Manusia, yang
diterbitkan dalam bahasa Perancis dari tahun 1955 sampai 1959. Pada masa Konsili
Vatican Kedua, ketika terdapat sikap terbuka yang baru terhadap pemikiran
modern, de Chardin menjadi sangat populer di kalangan Katolik-Roma. Akan tetapi
popularitasnya kemudian memudar. Pemikirannya juga diterima positif oleh
beberapa pemikir non Kristen. Pemikir agnostic Julian Huxley menyumbangkan Kata
Pendahuluan yang simpatik pada terjemahan Inggris dari bukunya Gejala
Manusia. De Chardin melihat evolusi sebagai hukum keberadaan semesta alam,
begitu juga pandangan-pandangannya mengenai Kekristenan disesuaikan. Ini
menghasilkan penafsiran kembali yang menarik dari banyak tema Kristen, sebagai
berikut:
1.
Penciptaan dilihat sebagai suatu proses evolusi. Dosa
diinterpretasikan kembali sebagai ketidaksempurnaan yang tak terelakkan yang
selalu menyertai proses evolusi. Evolusi dan kesempurnaan tidak cocok, sama
seperti ide lingkaran berbentuk segi empat tidak cocok. Kejahatan harus dilihat
sebagai hasil sampingan dari evolusi. Seperti diamati tepat sekali oleh Huxley,
“para teolog mungkin akan menganggap bahwa pembahasannya tentang dosa dan
penderitaan tidak memadai atau sekurang-kurangnya tidak ortodoks.”
2.
De Chardin tidak menolak pandangan tradisional tentang
Kristus yang historis sebagai Anak Allah yang menjelma. Tetapi ia lebih
menitikberatkan Kristus yang kosmis. Kristus seutuhnya atau tubuh
Kristus yang mistik berkembang di dalam kerangka evolusi manusia. Penebusan
harus dilihat sebagai proses evolusi ini.
3.
Sejarah manusia berkembang ke arah klimaks kalau semua
disempurnakan dalam Kristus. Ini oleh de Chardin disebut dengan istilah “titik
Omega.”
4.
Semuanya ini meunjukkan konsep baru tentang Allah
sebagaimana dalam Teologi Proses. Allah harus dilihat bukan sebagai tak berubah
dan melebihi batas-batas dunia, tetapi aktif dan terlibat di dalam proses evolusi,
bahkan tidak terlepas darinya.
Teilhard
de Chardin berusaha keras menghubungkan kekristenan dengan pemikiran evolusi.
Cita-citanya dapat dibandingkan dengan usaha Agustinus yang menghubungkan
Kekristenan dengan Neo-Platonisme atau dengan usaha Thomas dari Aquino dengan
ajaran Aristoteles. Akan tetapi de Chardin memberi tempat yang terlalu besar
pada pemikiran evolusioner, sehingga unsur Kristen terdesak. Ia sendiri melihat
pemikirannya sebagai percobaan dan dimaksudkan untuk memperluas pandangan, bukan
untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan secara tuntas. Boleh jadi ia dapat
disamakan dengan Origines, pelopor besar dan pemikir yang gagasan-gagasannya
tidak dapat diterima begitu saja (Lane, 2005: 251-253).
Berdasarkan
penjelasan di atas tampaklah bahwa Teilhard de Chardin memfokuskan pemikiran
teologinya di bidang Teologi Dogma, khususnya bidang Antropologi
Teologis, yaitu membahas tentang siapakah manusia menurut rencana Allah
Pencipta. Dia juga membahas di cabang Kristologi, yaitu membahas apa dan
siapa Yesus Kristus. Dia menghubungkan kekristenan dengan teori evolusi.
Dia memberikan penafsiran baru teologi Kristen menurut teori evolusi, misalnya
tentang penciptaan, dosa, kristus, sejarah manusia, dan Allah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar