Tulisan Bergerak

Selamat Datang. Selamat Mengunjungi halaman blog saya. Semoga anda menyukainya dan menemukan apa yang engkau cari. Terima Kasih. Barakallah.

Minggu, 14 Juni 2015

Resume Filsafat Sejarah ( Toynbee, Spengler, Collingwood dan Chardin )



RESUME
FILSAFAT SEJARAH
Materi :
v  Pandangan Siklus     :  Toynbee, Spengler
v  Pandangan Kritis      :  Collingwood
v  Pandangan Evolusi  :  Chardin
                                             

A.      Pandangan Siklus :  Toynbee, Spengler

 ([1])Arnold Toynbee menyimpulkan bahwa dalam gerak sejarah tidak terdapat hukum tertentu yang menguasai dan mengatur timbul tenggelamnya kebudayaan dengan pasti. Toynbee tidak membedakan antara civilization dan culture sebagai istilah yang berbeda, keduanya diambil seperti sinonim. “The words civilization and culture, do not only indicate a special quality of a society or commonwealth, but also signify the general society or commonwealth it self.”
                 ([2])Di dasari oleh penyelidikan yang ia lakukan, Arnold J.Toynbee mengemukakan bahwa gerak sejarah tidak terdapat hukum tertentu yang menguasai dan mengatur timbul/tenggelamnya kebudayaan dengan pasti. Yang di sebut kebudayaan  (civilization) oleh Toynbee ialah wujud dari pada kehidupan suatu golongan seluruhnya, yaitu seperti yang di sebut oleh Oswald Spengler sebagai Kultur Zivilisation.
Menurut Toynbee, kebudayaan (civilization) ialah wujud daripada kehidupan suatu golongan seluruhnya. Menurut Toynbee, gerak sejarah berjalan melalui tingkatan seperti berikut:
1)      Genesis of civilization atau lahirnya kebudayaan.
2)      Growth of civilization atau perkembangan kebudayaan.
3)      Decline of civilization atau keruntuhan kebudayaan :
a)      Breakdown of civilization atau kemerosotan kebudayaan.
b)      Disintegration of civilization atau kehancuran kebudayaan.
c)      Dissolution of civilization atau hilang dan lenyapnya kebudayaan.


              Suatu kebudayaan terjadi apabila manusia bisa menjawab tantangan dari alam sekitarnya. Pertumbuhan dan perkembangan suatu kebudayaan itu di gerakkan oleh kaum minoritas yang kuat, sedangkan kaum mayoritas hanya menirunya saja. Karena, kebudayaan akan tercipta apabila kaum minoritas itu kuat. Apabila kau minoritas itu lemah dan kehilangan daya menciptanya, dan tak bisa menjawab tantangan-tantangan alam, maka keruntuhan (decline) mulai tampak. Keruntuhan itu terjadi dalam tiga masa, yaitu:
1.      Kemerosotan kebudayaan (breakdown).
2.      Kehancuran kebudayaan (disintegration).
3.      Lenyapnya kebudayaan (dissolution).
Jarak antara tiga masa ini bisa terbentang hingga mencapai 2000 tahun. Pada masa breakdown sebelum masa disintergration terjadi, sering terdapat usaha untuk menghentikan kehancuran yang dipimpin oleh jiwa-jiwa besar. Usaha itu mungkin bisa berhasil apabila kebudayaan itu mengganti segala norma-norma kebudayaan itu dengan norma-norma ketuhanan. Kembali mencari cara untuk mencapai Civitas Dei (Kerajaan Tuhan).

                 ([3])Oswald Spengler tersorot karena kitab yang di karang oleh dirinya sendiri yang sangat mempengaruhi khalayak ramai dan cendekiawan Eropa-Amerika, yang meramalkan keruntuhan Eropa. Ramalan ini di dasarkan pada keyakinannya bahwa gerak sejarah di tentukan oleh hukum alam yang disebut nasib. Kehidupan sebuah kebudayaan dalam segala-galanya sama dengan kehidupan tumbuh-tumbuhan, sama dengan kehidupan hewan, sama pula dengan kehidupan manusia. Dan persamaan ini pula ada pada alam semesta.

([4])Menurut Oswald Spengler, gerak sejarah ditentukan oleh hukum alam yang disebut nasib, fatum atau Schicksal dalam Bahasa Jerman. Dalil Oswald ialah kehidupan sebuah kebudayaan dalam segala-galanya sama dengan kehidupan tumbuhan, hewan, dan prikehidupan manusia.
Hukum itu, tampak pada siklus-siklus berikut :
·         Alam : Musim semi - musim panas - musim rontok - musim dingin.
·          Manusia : Masa muda - masa dewasa - masa puncak - masa tua.
·         Tumbuhan : Masa pertumbuhan - masa berkembang - masa berubah - masa rontok.
·         Hari : Pagi- siang- sore- malam.
·         Kebudayaan : Pertumbuhan – perkembangan – kejayaan – keruntuhan.

Tiap-tiap masa pasti datang sesusai masanya, itulah keharusan alam, itulah yang pasti terjadi. Manusia hanya bisa menerimanya.
Siklus terdiri dari 4 bagian/masa: tumbuh, berkembang, jaya, dan runtuh, begitu seterusnya. Tujuan gerak sejarah adalah: melahirkan, membesarkan, mengembangkan, meruntuhkan kebudayaan.  Oleh sebab itu, keruntuhan suatu budaya bisa diramalkan terlebih dahulu berdasarkan perhitungan.
Oswald mengadakan perbedaan antara kultur dengan zivilisation (civilization). Kultur adalah kebudayaan yang masih hidup, dapat tumbuh dan berkembang. Sedangkan Zivilization ialah kebudayaan yang sudah mati.
Mempelajari sejarah tujuannya ialah mengetahui diagnose atas tingkat suatu kebudayaan. Sesudah diagnose itu ditentukan, nasib kebudayaan itu dapat diramalkan sehingga untuk selanjutnya pemilik kebudayaan itulah yang menentukan sikap hidupnya.



B.      Pandangan Kritis :  Collingwood
([5])R.G. Collingwood adalah seorang ahli filsafat terkemuka, terutama dalam bidang filsafat sejarah. Pada masa hayatnya dia adalah Guru Besar dalam bidang Filsafat Metafisika yang dijabatnya dari tahun 1935 sampai dengan tahun 1941 di Universitas Oxford Inggris. Namun pada masa hidupnya dia tidak begitu dikenal, tetapi setelah meninggal tahun 1943, barulah para ahli sejarah mengakui kehebatannya di dalam bidang sejarah dan mereka merasa berhutang budi kepadanya. Tulisan-tulisannya yang berupa makalah-makalah yang disampaikannya di dalam ceramah-ceramah, diterbitkan secara anumerta sehingga para ahli menamakan bukunya ini sebagai “one of the great voices of our time” sebagai satu pemikiran besar pada masa sekarang ini. Collingwood menganggap ide modern terhadap sejarah dimulai pada masa Herodotus sampai kepada masa sekarang ini. Baginya sejarah bukanlah apa yang dapat dibaca dari buku-buku dan dokumen-dokumen, karena itu hanya merupakan keinginan dari orang sekarang. Dalam pemikiran ahli sejarah adalah apabila dia memberikan kritik dan interpretasi dokumen-dokumen itu, yang dengan demikian memberikan bayangan baginya mengenai ciri-ciri dari pemikiran-pemikiran yang diselidikinya.
([6])Pemikiran filsafat sejarah Collingwood mengembangkan filsafat sejarah dengan metode “re-enactment” yaitu dalam menerangkan sejarah kita juga harus memasuki jiwa dari pelaku sejarah, contohnya dalam menceritakan kisah Ken Arok yang menikahi Ken Dedes yang jelas-jelas telah mengandung anak dari anak Tunggul Ametung. Kita harus mengetahui apa yang dirasakan atau bahkan merasakan apa yang dirasakan Ken Arok agar kita dapat menerangkan peristiwa sejarah tersebut. Re-enactment yaitu memunculkan kembali sejarah pada silam untuk merekonstruksinya di masa sekarang.
Secara singkat pandangan Collingwood mengenai masalah filsafat sejarah, pada dibagi kepada dua :
1.      Mengenai ide modern yang berkembang semenjak Herodotus sampai abad ke 20.
2.      Gambaran-gambaran filsafat mengenai sifat, isi dan metode sejarah.
C.       Pandangan Evolusi :  Chardin
            ([7])Marie-Joseph-Pierre Teilhard de Chardin lahir di daerah pedalaman Perancis pada tahun 1881. Ia belajar di sekolah Yesuit lalu masuk ordo tersebut. Ia menjadi paleontology professional (peneliti binatang dan tumbuh-tumbuhan yang telah punah) sehingga mengakibatkan perhatiannya tertuju pada asal-usul manusia. Ia pun terlibat dalam penemuan Manusia Peking pada tahun 1929.
Teilhard de Chardin tertarik pada hubungan agama Kristen dengan pemikiran evolusi. Teori Evolusi Darwin yang diuraikan dalam karyanya tahun 1859, Asal-usul Jenis-jenis dan pada tahun 1871 Keturunan Manusia memberi para teolog tiga pilihan dasar. Pertama, mereka dapat menolak teorinya, pilihan yang hanya dipilih oleh sejumlah kecil saja seperti juga sekarang ini. Kedua, mereka dapat berusaha menyesuaikan ilmu evolusi dengan teologi Kristen tradisioanal. Ini menjadi pilihan mayoritas, walaupun ada yang lebih mempertahankan ortodoksi, ada juga yang kurang mempertahankannya. Ketiga, mereka dapat menafsirkan kembali teologi Kristen menurut teori evolusi. Pandangan Teilhard de Chardin termasuk penafsiran kembali radikal yang paling terkenal. Teologinya mirip dengan Teologi Proses pihak Protestan.
Beberapa pandangan Teilhard de Chardin tidak disenangi atasannya dari ordo Yesuit. Ia terus- menerus dilarang menerbitkan tulisan-tulisan teologis dan filsafatnya, dan ia patuh. Ia juga tidak diijinkan menjadi guru besar di College de France, suatu kehormatan besar. Tetapi pada waktu meninggalnya di tahun 1955 teman-temannya mulai menerbitkan karyanya. Yang terkenal adalah Gejala Manusia, Lingkungan Ilahi dan Masa Depan Manusia, yang diterbitkan dalam bahasa Perancis dari tahun 1955 sampai 1959. Pada masa Konsili Vatican Kedua, ketika terdapat sikap terbuka yang baru terhadap pemikiran modern, de Chardin menjadi sangat populer di kalangan Katolik-Roma. Akan tetapi popularitasnya kemudian memudar. Pemikirannya juga diterima positif oleh beberapa pemikir non Kristen. Pemikir agnostic Julian Huxley menyumbangkan Kata Pendahuluan yang simpatik pada terjemahan Inggris dari bukunya Gejala Manusia. De Chardin melihat evolusi sebagai hukum keberadaan semesta alam, begitu juga pandangan-pandangannya mengenai Kekristenan disesuaikan. Ini menghasilkan penafsiran kembali yang menarik dari banyak tema Kristen, sebagai berikut:
1.        Penciptaan dilihat sebagai suatu proses evolusi. Dosa diinterpretasikan kembali sebagai ketidaksempurnaan yang tak terelakkan yang selalu menyertai proses evolusi. Evolusi dan kesempurnaan tidak cocok, sama seperti ide lingkaran berbentuk segi empat tidak cocok. Kejahatan harus dilihat sebagai hasil sampingan dari evolusi. Seperti diamati tepat sekali oleh Huxley, “para teolog mungkin akan menganggap bahwa pembahasannya tentang dosa dan penderitaan tidak memadai atau sekurang-kurangnya tidak ortodoks.”
2.        De Chardin tidak menolak pandangan tradisional tentang Kristus yang historis sebagai Anak Allah yang menjelma. Tetapi ia lebih menitikberatkan Kristus yang kosmis. Kristus seutuhnya atau tubuh Kristus yang mistik berkembang di dalam kerangka evolusi manusia. Penebusan harus dilihat sebagai proses evolusi ini.
3.         Sejarah manusia berkembang ke arah klimaks kalau semua disempurnakan dalam Kristus. Ini oleh de Chardin disebut dengan istilah “titik Omega.”
4.        Semuanya ini meunjukkan konsep baru tentang Allah sebagaimana dalam Teologi Proses. Allah harus dilihat bukan sebagai tak berubah dan melebihi batas-batas dunia, tetapi aktif dan terlibat di dalam proses evolusi, bahkan tidak terlepas darinya.
Teilhard de Chardin berusaha keras menghubungkan kekristenan dengan pemikiran evolusi. Cita-citanya dapat dibandingkan dengan usaha Agustinus yang menghubungkan Kekristenan dengan Neo-Platonisme atau dengan usaha Thomas dari Aquino dengan ajaran Aristoteles. Akan tetapi de Chardin memberi tempat yang terlalu besar pada pemikiran evolusioner, sehingga unsur Kristen terdesak. Ia sendiri melihat pemikirannya sebagai percobaan dan dimaksudkan untuk memperluas pandangan, bukan untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan secara tuntas. Boleh jadi ia dapat disamakan dengan Origines, pelopor besar dan pemikir yang gagasan-gagasannya tidak dapat diterima begitu saja (Lane, 2005: 251-253).
Berdasarkan penjelasan di atas tampaklah bahwa Teilhard de Chardin memfokuskan pemikiran teologinya di bidang Teologi Dogma, khususnya bidang Antropologi Teologis, yaitu membahas tentang siapakah manusia menurut rencana Allah Pencipta. Dia juga membahas di cabang Kristologi, yaitu membahas apa dan siapa Yesus Kristus. Dia menghubungkan kekristenan dengan teori evolusi. Dia memberikan penafsiran baru teologi Kristen menurut teori evolusi, misalnya tentang penciptaan, dosa, kristus, sejarah manusia, dan Allah.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

POSTINGAN TERBARU

Sejarah SUBKOSS menjadi KODAM II/Sriwijaya

 

POSTINGAN POPULER