Tulisan Bergerak

Selamat Datang. Selamat Mengunjungi halaman blog saya. Semoga anda menyukainya dan menemukan apa yang engkau cari. Terima Kasih. Barakallah.

Selasa, 11 Januari 2022

MAKALAH TENTANG NORMA YANG MENGATUR KEKERABATAN DALAM MASYARAKAT MELAYU (PELAMARAN, PERKAWINAN, PERCERAIAN DAN WARISAN)

 

Pendahuluan

 Semenjak dahulu kala, para ahli ilmu-ilmu sosial maupun kalangan-kalangan lainnya telah menaruh perhatian besar terhadap sistem-sistem kekerabatan yang mengatur mengenai manusia. Hal ini disebabkan karena manusia ingin mengetahui sejarah perkembangan kehidupan dirinya, keluarga, dan masyarakatnya sendiri sebagai sumber dari suatu sistem sosial yang menyeluruh. Suatu sistem merupakan keseluruhan yang terangkai, yang mencakup unsur-unsur, bagian-bagian, konsistensinya, kelengkapan, dan konsepsi-konsepsi atau pengertian-pengertian dasarnya.

Sistem kekerabatan merupakan bagian yang sangat penting dalam struktur sosial. Setiap suku di Indonesia memiliki sistem kekerabatan yang berbeda-beda. Meyer Fortes mengemukakan bahwa sistem kekerabatan suatu masyarakat dapat dipergunakan untuk menggambarkan struktur sosial dari masyarakat yang bersangkutan. Kekerabatan adalah unit-unit sosial yang terdiri dari beberapa keluarga yang memiliki hubungan darah atau hubungan perkawinan. Anggota kekerabatan terdiri atas ayah, ibu, anak, menantu, cucu, kakak, adik, paman, bibi, kakek, nenek dan seterusnya, terlebih untuk masyarakat Melayu.[1]

Masyarakat Melayu adalah salah satu kelompok etnik yang ada di Nusantara yang dalam menjalankan kehidupan dan hubungan sosial kemasyarakatan, senantiasa berpegang kepada ajaran agama Islam, yakni al-Qur`an dan al-hadis serta adat. Kedua sistem hukum tersebut merupakan hukum yang hidup (living law) dalam kehidupan dan perilaku masyarakat Melayu. Harmonisasi hubungan adat dan Islam diungkap dalam pepatah adat yang menyebutkan, ”adat bersendi syarak, syarak bersendi kitabullah, syarak mengata adat memakai, ya kata syarak benar kata adat, adat tumbuh dari syarak, syarak tumbuh dari kitabullah”. Itu artinya, semua aspek budaya dan norma sosial masyarakat Melayu wajib merujuk kepada ajaran Islam dan dilarang bertikai apalagi menyalahinya. Sebaliknya, nilai budaya yang dianggap belum serasi dan belum sesuai dengan ajaran Islam haruslah diluruskan dan disesuaikan dengan Islam. Acuan ini menyebabkan Islam tidak dapat dipisahkan dari adat dalam kehidupan orang Melayu.[2] Dalam catatan lain, Melayu seperti halnya Moor di Benua Hindia hampir sama maknanya dengan Muslim. Begitu penduduk lokal lain yang mempelajari huruf Arab dan melakukan praktik khitan, mereka sering disebut menjadi orang Melayu, alih-alih memeluk agama Islam sebagaimana seharusnya.[3]

Kata Melayu berasal dari kata “Mala” dan “Yu”. Kata “Mala” berarti mula dan “Yu” berarti negeri. Sehingga kata Melayu mengandung arti negeri mula-mula. Dalam bahasa Jawa, kata Melayu atau Belayu berarti berjalan cepat atau lari. Sedangkan dalam bahasa Tamil, kata Melayu dan Melayur berarti hujan. Selain itu terdapat pula istilah Melayu untuk nama sungai, di antaranya adalah sungai Melayu yang terdapat dekat Johor dan Bangkahulu. Apabila pengertian di atas dirangkum menjadi satu, maka Melayu berarti negeri yang mula-mula didiami. Negeri itu dilalui sungai yang diberi nama Melayu. Negeri tersebut berada di atas bukit, karena ada pencairan es kutub utara yang menyebabkan sejumlah daratan atau pulau yang rendah terendam air. Untuk menghindari banjir, maka orang-orang yang berada di daratan atau pulau-pulau yang terendam banjir itu berlarian mencari tempat yang tinggi atau bukit, dan disitulah mereka membuat negeri.[4]

Orang-orang Melayu dikatakan sebagai etnik karena memenuhi kriteria-kriteria sebagai berikut; pertama, secara biologis mampu berkembang biak dan bertahan; kedua, mempunyai nilai-nilai yang sama dan sadar akan rasa kebersamaan dalam suatu bentuk budaya; ketiga, membentuk jaringan komunikasi dan interaksi sendiri; keempat, menentukan ciri kelompoknya sendiri yang ditetapkan oleh kelompok lain dan dapat dibedakan dari kelompok-kelompok populasi lainnya.

Adat istiadat yang berlaku di negeri Melayu adalah tiruan dari adat yang mula-mula mempengaruhi masyarakat Melayu yaitu kepercayaan Budha atau Hindu. Kemudian adat istiadat tiruan tersebut dipengaruhi pula oleh proses kedatangan agama Islam di tanah Melayu. Agama Islam merubah pandangan masyarakat Melayu terhadap berbagai hal dalam kehidupan terutama mengenai adat istiadat yang biasa dilakukan. Adat yang tidak sesuai dengan ajaran Islam secara berangsur-angsur disesuaikan dengan ajaran Islam sehingga lama kelamaan masyarakat Melayu menjadikan Islam sebagai pedoman hidup termasuk aturan adat yang disusun oleh tokoh masyarakat. Artinya transformasi masyarakat tradisional Melayu ke dalam penghidupan yang bernuansa Islam tidaklah secara revolusioner, melainkan secara bertahap sesuai dengan sifat islamisasi yang berlangsung di tanah Melayu, yang berhadapan dengan norma-norma, praktek-praktek dan konvensi-konvensi tradisional yang sudah sangat meresap dalam kebudayaan Melayu yang dikenal dan dianggap sebagai adat. Dengan adatlah, mereka mengatur kehidupan agar setiap anggota masyarakat hidup beradat seperti adat alam, adat bernegeri, adat berkampung, adat memerintah, adat berlaki-bini, dan lain-lain.[5]   

Berdasarkan alur pemikiran yang telah diuraikan di atas, maka timbul beberapa masalah yang berhubungan dengan aturan yang mengatur pola kekerabatan masyarakat Melayu. Oleh karena itu, pokok permasalahan yang akan dikemukakan penulis adalah: Bagaimana perkembangan norma atau aturan yang mengatur kekerabatan masyarakat Melayu pada bidang pelamaran, pernikahan, perceraian, dan warisan ?

 

Metode

Seperti kita ketahui, bahwa penelitian merupakan kegiatan ilmiah yang berkaitan dengan analisa dan konstruksi yang metodologis, konsisten dan sistematis.

Metode penelitian digunakan untuk memperoleh fakta-fakta dan prinsif-prinsif dengan sabar, hati-hati, dan sistematis untuk mewujudkan kebenaran.[6] Adapun metode penelitian yang digunakan penulis dalam penulisan ini adalah metode kepustakaan, yaitu dengan menelusuri literatur sumber. Tujuan dari penelitian kepustakaan adalah untuk memperoleh data awal untuk dapat dipergunakan dalam penelitian di lapangan dan untuk memahami karya-karya tulisan yang dibuat sebelumnya sehingga penulis dapat menjadi kritis terhadap permasalahan yang dihadapi. Literatur sumber yang penulis gunakan ialah buku-buku dan artikel-artikel jurnal berkaitan dengan tema yang penulis angkat menjadi hasil penulisan.

 

Hasil

A.  Pelamaran

Proses lamaran dalam adat Melayu diawali dengan proses menjarum-jarum atau disebut merisik. Merisik bertujuan untuk menyelidiki tentang keberadaan seorang calon pengantin.[7]

Merisik adalah suatu prosesi adat dimana pihak keluarga laki-laki mengunjungi keluarga pihak perempuan. Prosesi ini merupakan pertemuan antara dua keluarga sebagai ajang perkenalan satu sama lain, sekaligus untuk merencanakan upacara pernikahan kedua calon pengantin. Merisik juga bertujuan untuk mendapatkan informasi lebih teliti, penuh kearifan dan bijaksana tentang calon pengantin yang dirisik atau diinginkan.[8]

Orang yang diunjuk menjadi perisik haruslah sopan, ramah dan amanah. Ahli dalam bertutur kata yang bermakna tersirat atau berupa bahasa kias. Biasanya orang tersebut berasal dari keluarga atau kerabat terdekat yang mempunyai hubungan keakraban yang kuat dengan orang tua si gadis.

Dalam prosesi merisik juga dilakukan berbalas pantun.[9] Diantaranya sebagai berikut :

Tumbuh sebatang, pokok ceremai

Ceremai tumbuh, dekat pangkalan

Kami datang, beramai-ramai

Untuk kita berkenal-kenalan

 

Acara merisik sebenarnya dirahasiakan oleh pihak kelurga yang meminang (pihak laki-laki), karena apabila maksudnya ditolak oleh pihak keluarga yang menerima pinangan (pihak perempuan), hal ini akan memerikan aib kepada keluarga yang bersangkutan.

Selanjutnya, pihak perempuan membalas pantun pihak laki-laki seperti tersebut di atas dengan pantun berikut:

Malam hari teranglah bulan

Sayup-sayup terdengar suara

Bila sudah berkenal kenalan

Antara kita bertambah mesra

 

Pihak perempuan menyampaikan maksud dan amanah yang ingin disampaikan adalah untuk berkenalan, agar terjalin keakraban diantara kedua belah pihak. Demikian juga dari pihak laki-laki, prosesi ini juga untuk mempererat tali silaturahmi antara kedua belah pihak keluarga.

Pihak perempuan kemudian membalasnya dengan pantun berikut :

Sungguh cantik, nak dara sunti

Duduk berhias memakai anting

Bunga ditaman sedang menanti

Menunggu kumbang datang menyunting

 

Pantun tersebut bermakna sebagai kewajiban terhadap dirinya sendiri untuk menemukan pasangan hidup dengan menunggu pinangan pihak laki-laki. Selanjutnya, pantun terebut dilanjutkan dengan pantun :

Jika bersembang diwaktu senja

Masa yang lalu terkenang-kenang

Jangan setakat merisik saja

Kami menunggu hari meminang

 

Pantun tersebut bermakna kewajiban menunaikan sesuatu yang harus dilaksanakan yaitu menunggu hari meminang.

 

B.  Pernikahan

Pernikahan merupakan hal yang sakral bagi umat manusia. Dengan adanya perkawinan, maka menjadi sah suatu hubungan antar seorang laki-laki dan seorang perempuan. Di samping itu, kehidupan bagi seorang manusia akan terasa lengkap, begitu pula dengan masyarakat adat jika menikah maka kemungkinan besar akan memiliki suatu keturunan. Sehingga dengan adanya keturunan maka tradisi adat dapat diturunkan ke anak-anak dan cucu-cucu masyarakat adat itu sendiri.[10]

Pernikahan merupakan suatu upacara penyatuan dua insan dalam sebuah ikatan yang diresmikan secara norma agama, adat, hukum, dan sosial. Adanya beragam suku bangsa, agama, budaya serta kelas sosial menimbulkan bervariasinya upacara adat perkawinan. Perkawinan merupakan fase penting dalam kehidupan yang dilalui manusia yang bernilai sakral. Menurut ajaran islam, sebenarnya tahapan upacara perkawinan tidaklah rumit dan memberatkan. Perkawinan dikatakan sah asalkan sesuai dengan syarat-syarat dan rukun- rukunnya. Namun jika mengikut adat akan terlihat sedikit rumit karena banyaknya tahapan-tahapan yang harus dilalui. Namun hal tersebut sah-sah saja karena adat melayu tetap berpegang teguh pada ajaran agama Islam seperti dalam istilah “adat bersendi syarak, syarak bersendi kitabullah” atau “Syarak mengata, adat memakai ” (apa yang diterapkan oleh syarak itulah yang harus digunakan dalam adat).[11]

Ada beberapa tahapan yang dilalui dalam adat Melayu dalam pernikahan, diantaranya: prosesi sebelum pernikahan, prosesi persiapan pernikahan dan prosesi setelah pernikahan.

1.    Prosesi sebelum pernikahan

a.    Menjodoh, ialah prosesi yang dilakukan oleh orang tua untuk mencari dan mencocokkan calon suami/istri untuk anaknya. Mencari jodoh merupakan tanggung jawab orang tua terhadap anaknya dan oleh sebab itulah prosesi ini dilakukan dengan sangat hati-hati dan sangat rahasia, yang diawali dengan niat dan penglihatan. Penglihatan ini tidak hanya dengan mata kasar akan tetapi juga dengan mata hati. Umumnya yang menjadi penilaian di dalam kegiatan mencari jodoh adalah tentang kepercayaan. Calon pasangan anak harus se-iman yaitu agama Islam, garis keturunannya, pekerjaannya, tingkah laku dan perangainya, dan terkhir adalah tentang status. Namun demikian, seiring perkembangan zaman, masyarakat Melayu secara umum sudah tidak lagi melakukan proses menjodoh ini. Orang tua secara utuh memberikan kepercayaan kepada anaknya untuk memilih jodohnya sendiri. Dan peranan orang tua zaman sekarang hanya memberi nasehat agar pilihan anaknya jangan sampai salah.

b.    Menyampaikan hajat, bahwa setelah proses pertemuan kedua keluarga terlaksana dengan baik, maka diutuslah keluarga atau orang tua yang “dituakan” sebagai wakil pihak laki-laki untuk memberitahu orang tua si gadis bahwa akan ada utusan pihak lelaki untuk menyampaikan hajat meminang. Pada saat ini terjadi perundingan kedua belah pihak untuk menentukan waktu yang tepat untuk meminang. Pemberitahuan ini merupakan etika adat Melayu yang berguna agar pihak perempuan dapat memberitahu sanak keluarga atau kerabatnya untuk hadir dalam acara tersebut dan atau dengan kata lain agar pihak perempuan “punya” persiapan untuk menerima tamu yang akan datang. Secara umum tujuan memberitahu ini adalah meluahkan apa yang tersirat di hati untuk disampaikan kepada pihak perempuan.

c.    Meminang, merupakan bentuk keseriusan untuk melakukan hajat pernikahan. Sebelum proses meminang dilaksanakan, terlebih dahulu perlu mempersiapkan se-tepak sirih lengkap, masing-masing kelengkapan yang diletakkan di dalam tepak sirih juga mengandung lambang tertentu.

d.   Berjanji waktu, maksud dan tujuan diadakan berjanji waktu ini adalah untuk mencari hari baik dan bulan baik agar pasangan yang menikah nanti mendapatkan hal yang baik-baik dan terhindar dari kemudharatan.

e.    Menghantarkan belanja, merupakan istiadat dimana keluarga pihak laki-laki menghantar barang-barang keperluan untuk prosesi perkawinan. Prosesi ini seringkali juga disebut dengan prosesi Meminang Adat. Dalam tradisi Melayu, menghantar belanja bermaksud menunjukkan rasa tanggung jawab dari pihak laki-laki untuk mempersunting gadis idamannya. Pada hakekatnya mengantar belanja mencerminkan rasa senasib sepenanggungan, se-aib se-malu, yang berat sama dipikul, yang ringan sama dijinjing. Antar belanja bukan bersifat jual beli atau menghitung untung rugi, tetapi sepenuhnya mengacu pada nilai kekeluargaan dan kekerabatan.

f.     Gadai cupak, adalah kegiatan menyerahkan cupak (sukatan beras) sebagai jaminan pinjaman yang pada saat tertentu akan ditebus kembali. Maksudnya adalah untuk menghindari segala macam yang tidak diinginkan seperti kekurangan hidangan, barang pecah belah dan lai-lain.

g.    Ajak mengajak, maksud dan tujuan mengajak adalah untuk membantu bergotong royong membuat bangsal, tempat berkhatam – berzanzi, mencari kayu api, dan segala hal yang perlu disiapkan.

h.    Beganjal, mengandung makna gotong royong. Pekerjaan yang digotongroyongkan antara lain; mengambil kayu untuk membangun bangsal (rumah perlengkapan dan masak); meminjam barang pecah belah; mengupas kelapa, dan lain-lain. Dengan perkembangan zaman, adat beganjal ini sudah jarang ditemukan. Apatah lagi pelaksnaan pernikahan tidak dilaksanakan di rumah, dan tuan rumah tidak juga masak melainkan menyewa jasa tukang masak (catering).

i.      Betanggas, mengeluarkan serta menghilangkan bau keringat serta untuk mengharumkan dan menyegarkan badan calon pengantin perempuan.

j.      Gantung-gantung, kegiatan menaikkan langit-langit berupa kain yang fungsinya sama seperti plafon rumah. Dan menggantung tabir warna warni beberapa lapis yang diletakkan di sekitar tempat berlangsungnya upacara perkawinan yaitu di sekitar pelaminan dan kamar pengantin. Proses ini juga merupakan suatu prosesi adat dimana pihak keluarga perempuan memasang hiasan yang biasanya terbuat dari daun kelapa atau benda lainya sebagai tanda di rumah tersebut akan diadakan hajatan.

k.    Mandi tolak bala, dalam acara adat perkawinan melayu juga dilaksanakan ritual mandi tolak bala. Ritual mandi tolak bala yaitu memandikan pengantin dengan menggunakan air bunga 5, 7, atau 9 jenis bunga agar terlihat segar dan berseri. Kegiatan ini harus dilakukan sebelum waktu sholat ashar. Mandi tolak bala kadang disebut juga dengan istilah mandi bunga. Tujuan mandi ini adalah menyempurnakan kesucian, menaikkan seri wajah, dan menjauhkan dari segala bencana. Dalam ungkapan adat disebutkan: Mandi Bunga atau Mandi Tolak Bala bukan sekadar untuk mengharumkan raga, namun agar jiwa bersih suci, jauh dari iri dengki.

l.      Mohon do’a restu, prosesi ini mengandung maksud untuk memohon doa dan restu sebelum istiadat pernikahan di laksanakan.

m.  Berandam, kegiatan berandam ini dapat pula dikatakan “bergunting rambut kecil”, yaitu mencukur atau merapikan bulu roma pada bagian dahi, pelipis, alis, tengkuk, bulu tangan dan bagian kaki. Berdasarkan kepada pandangan yang dimiliki masyarakat Melayu, bahwa keindahan pada diri seseorang tidak saja terletak pada yang ternampak di luarnya saja, melainkan keindahan itu terdapat di dalam tubuh dan jiwa seseorang itu.

n.    Berinai, pada masyarakat Melayu, tanda-tanda orang menjadi pengantin baru, jari tangan dan kaki, telapak tangan dan kakinya diberi inai sehingga kelihatan kuning kemarah-merahan.Jadi pada masyarakat Melayu, tidak boleh sembarangan menggunakan inai. Sebab berinai memberi isyarat dan pelambangan bercorak tertentu.Pemasangan inai pada calon pengantin juga dilakukan oleh Mak Andam. Kegiatan ini berbeda suasananya dengan kegiatan berandam. Menginai calon pengantin dalam suasana santai dan diwarnai kemeriahan.

 

2.    Prosesi persiapan pernikahan

a.    Khatam qur’an, kalangan orang tua pada masyarakat Melayu umumnya, secara mutlak menekankan anak-anaknya pandai membaca Al-Qur’an. Hal ini tidak dibedakan baik pada laki-laki maupun perempuan. Belajar membaca Al-Qur’an, menjadi bagian budaya terpenting bagi masyarakat Melayu. Ini dianggap sebagai bagian terpenting dalam kehidupan untuk mendambakan anak menjadi manusia yang shaleh. Menurut pandangan masyarakat Melayu, kepandaian membaca Al-Qur’an menjadi dasar bagi seseorang untuk dapat menjalankan perintah agama seperti halnya shalat lima waktu.

b.    Berarak menjelang pernikahan, pada prosesi ini, calon pengantin laki-laki turun dari rumahnya untuk menikah ke rumah alon pengantin perempuan. Sebelum berangkat ke rumah calon pengantin perempuan, di rumah calon pengantin laki-laki diadakan acara kenduri yang dihadiri oleh keluarga dan tetangga terdekat saja. Kenduri ini sebagai do’a selamat supaya Allah SWT memberikan keselamatan atas calon pengantin dan keluarganya. Disamping itu juga sebagai do’a restu orang tua beserta seluruh keluarga, handai taulan terhadap calon pengantin laki-laki supaya acara akad nikah berjalan dengan lancar.

c.    Serah terima hantaran, penyerahan mahar mas kawin dari pihak laki-laki kepada pihak perempuan yang kemudian dilanjutkan dengan acara ijab kabul atau akad nikah. Selanjutnya calon pengantin laki-laki didudukkan di atas tikar nikah dengan gading-gading pengiringnya yang duduk di sebelah kiri dan kanan. Tikar nikah terbuat dari lapisan kain “plekat” dan dibungkus dengan kain songket atau kain-kain yang bercorak gemerlap.

d.   Ijab kabul, merupakan puncak dari segala rangkaian upacara perkawinan. Sah atau tidaknya perkawinan ditentukan oleh akad nikah, sedangkan acara lainnya hanya sebagai pelengkap yang diatur oleh adat istiadat.

e.    Tepung tawar, simbol pemberian doa dan restu bagi kesejahteraan kedua pengantin, di samping sebagai penolakan terhadap bala dan gangguan. Harapannya, keadaan orang yang kena tepung ini menjadi tawar, tidak terjadi apa-apa yang dapat mendatangkan malapetaka. Begitu juga ramuan yang bernama sedingin telah tersisip harapan, agar sesuatu yang panas menjadi dingin, sedangkan setawar diharapkan kembali seperti sedia kala.

f.     Upacara menyembah, kedua pengantin kemudian melakukan upacara menyembah kepada ibu, bapak, dan seluruh sanak keluarga. Makna dari upacara ini tidak terlepas dari harapan agar berkah yang didapat pengantin nantinya berlipat ganda. Acara ini dipimpin oleh orang yang dituakan, sembah sujud kepada orang tua tiada boleh lupa, agar tuah dibadan dan berkah turun berlipat ganda.

g.    Istiadat makan beradab, biasanya pelaksanaan makan bersuap disejalankan dengan makan berhadap. Artinya setelah kedua pengantin makan bersuap, kemudian mereka makan berhadap. Melalui pelayanan ini terpancar kesetiaan, kepatuhan dan kasih sayang seorang isteri kepada suami.

h.    Pengantin berarak, jalannya prosesi ini bentuknya adalah mengarak pengantin laki-laki ke rumah orang tua pengantin perempuan. Tujuan dari upacara ini sebagai media pemberitahuan kepada seluruh masyarakat sekitar tempat dilangsungkannya perkawinan bahwa salah seorang dari warganya telah sah menjadi pasangan suami-istri. Disamping itu, tujuannya adalah memberitahukan kepada semua lapisan masyarakat agar turut meramaikan acara perkawinan tersebut, termasuk ikut memberikan doa kepada kedua pengantin.

i.      Bersanding, kedua pengantin sudah dirias dan diberi berpakaian, maka mereka dipersandingkan. Persandingan dilakukan di rumah pengantin perempuan. Waktu bersanding hampir tiba, pihak pengantin perempuan mengirim utusan menjemput pengantin laki-laki. Utusan ramai dan didampingi para pemain musik.

3.    Prosesi setelah pernikahan

-       Mandi sampat, mandi yang diperuntukkan bagi pasangan pengantin yang baru selesai melaksanakan Ijab Kabul serta rangkaian pernikahan lainnya. Prosesi ini juga merupakan istiadat mandi atau menyucikan diri yang dilakukan kedua pengantin dengan harapan dan membersihkan diri dari hal-hal buruk sebelum memulai hidup baru.

 

C.  Perceraian

Perceraian merupakan sebuah proses penyelesaian konflik dalam perkawinan. Perceraian juga merupakan suatu proses yang menyangkut banyak aspek seperti emosi, ekonomi, sosial dan pengakuan secara resmi oleh masyarakat melalui hukum yang berlaku.

Perceraian terbagi menjadi dua, yak ni perceraian hidup dan perceraian mati. Perceraian mati sebenarnya memiliki makna terpisahkan karena kematian. Perceraian mati biasanya pasangan suami isteri tersebut tidaklah bercerai secara hukum adat maupun hukum negara. Sementara, perceraian hidup adalah berpisahnya pasangan suami isteri dalam membina rumah tangga secara hukum adat maupun hukum negara.

Banyak alasan bagi pasangan suami istri untuk memilih jalan penyelesaian perceraian. Perceraian menggambarkan situasi dan kondisi menjelang perceraian yang diawali dengan mandeknya proses negoisasi antara pasangan suami-istri. Karena sebelumnya kedua belah pihak akan dipanggil untuk menilai keadaan sebenar yang berlaku. Biasanya usaha-usaha damai akan dilakukan terlebih dahulu melalui nasihat dan penerangan akibat-akibat yang mungkin timbul di sebalik perpisahan antara mereka.

Sekiranya kedua-dua belah pihak masih inginkan perpisahan dan jalan damai ternyata gagal dicapai, perceraian terpaksa dilakukan. Dalam keadaan ini terdapat dua cara penyelesaian iaitu penyelesaian secara baik di luar mahkamah atau penyelesaian melalui mahkamah. Penyelesaian secara baik di luar mahkamah berlaku hasil daripada persetujuan yang dicapai oleh kedua-dua belah pihak berhubung dengan butir-butir perceraian tersebut. Antaranya jumlah nafkah, iddah, nafkah anak-anak, hutang piutang, harta sepencarian dan bayaran sagu hati atau mutaah iaitu harta yang wajib diberikan oleh suami kepada isterinya yang bercerai hidup sama ada dengan talak atau seumpama talak dengan syarat-syarat tertentu. Biasanya kadi akan mencadangkan pembayaran dibuat secara tunai pada masa itu juga kecuali nafkah iddah dan anak-anak.[12]

 

D.  Warisan

Dalam penetapan orang-orang yang menjadi ahli waris dan halangan-halangan yang menyebabkan ahli waris tidak mendapat harta warisan atau berkurangnya hak yang semestinya diterima oleh ahli waris karena adanya ahli waris yang lebih dekat. Hampir tidak terdapat perbedaan antara kewarisan adat Melayu dengan kewarisan Islam, termasuk kedudukan anak angkat.

Tidak diberikannya harta warisan kepada anak angkat dan sebaliknya orang tua angkat tidak menjadi ahli waris bagi anak angkatnya, merupakan implementasi dari hukum waris Islam. Dalam hukum waris Islam dijelaskan bahwa hak saling mewarisi dibatasi hanya kepada faktor hubungan darah dan hubungan perkawinan. Sementara anak angkat dan orang tua angkat tidak memenuhi kriteria tersebut, maka dengan sendirinya tidak termasuk ahli waris yang berhak menerima warisan. Sekiranya anak angkat dimasukkan sebagai ahli waris, maka hal ini jelas tidak adil sekaligus juga menyakiti pihak lain, yakni ahli waris yang berhubungan langsung dengan muwaris.

Adapun yang berkaitan dengan  pembagian warisan, mekanismenya dilakukan dalam internal keluarga yang dikenal dengan sebutan perdamaian warisan. Perdamaian warisan merupakan perwujudan dari budaya “berdamai” dalam adat Melayu. Dalam pembagian harta waris, adat berdamai ini diwujudkan dengan pola pembagian waris secara faraid-islah dan islah.

Faraid-islah, maksudnya adalah pembagian warisan berdasarkan hukum faraid atau hukum waris Islam, dan setelah itu dilakukan pembagian dengan cara musyawarah mufakat atau “islah”. Pembagian dengan cara ini biasanya dipimpin oleh seorang tokoh agama atau “Tuan Guru” yang akan menghitung siapa-siapa saja yang mendapat warisan, dan berapa besar bagian masing-masing ahli waris berdasarkan hukum faraid. Setelah masing-masing ahli waris mengetahui besarnya bagian harta warisan yang akan diterima dan mereka menyatakan untuk menerimanya, kemudian mereka “islah” atau sepakat untuk memberikan sebagian atau keseluruhan harta waris yang menjadi bagiannya kepada ahli waris lain. Dalam kerangka “islah” inilah seorang ahli waris yang seharusnya mendapat bagian warisan sesuai ketentuan syariat Islam dengan ikhlas memberikan hak warisnya tersebut kepada ahli waris lain berdasarkan kesepakatan. Dengan cara “islah” tersebut mereka sudah merasa telah melaksanakan ketentuan norma yang ditetapkan agama, karena pembagiannya didasarkan hukum faraid, walaupun kemudian atas kerelaan masing-masing, membaginya kembali bagian waris tersebut sesuai kesepakatan.[13]

Seorang anak laki-laki, misalkan, yang menurut hukum faraid mendapatkan bagian lebih besar, dibandingkan saudaranya yang perempuan, akan tetapi karena ekonominya sudah mapan dibandingkan dengan saudaranya yang lain, bisa mendapatkan bagian harta warisan lebih sedikit. Dan begitu seterusnya, besar kecilnya bagian yang diterima oleh setiap ahli waris ditentukan oleh kondisi objektif setiap ahli waris.

Sedangkan membagi harta warisan dengan cara islah adalah pembagian warisan dilakukan dengan cara musyawarah mufakat tanpa melalui proses penghitungan faraid terlebih dahulu. Cara inilah yang umum dilakukan oleh masyarakat Melayu-Riau. Perbedaan pembagian warisan dengan cara islah dengan faraid-islah terletak pada saat penetapan ahli waris dan bahagiannya masing-masing. Dalam faraid-islah sebelum dilakukan islah dalam internal keluarga dengan cara musyawarah mufakat, masing-masing ahli waris sudah mengetahui hak kewarisannya menurut hukum faraid. Sementara dengan pola islah penetapan ahli waris dan bagiannya masing-masing ditetapkan dalam rapat internal keluarga.

Lain halnya dilaporkan Marsden, apabila seseorang meninggal, secara alami, hartanya akan dibagi rata kepada anak-anak lelakinya. Namun, bila salah satu dari mereka memiliki kompetensi yang jauh lebih menonjol dibanding yang lain, dia akan mendapat bagian terbesar dan menjadi kepala rumah tangga walaupun dia bukan anak sulung sekalipun. Contoh situasi semacam itu terjadi saat Pangeran Manna (Bencoelen) wafat dan meninggalkan beberapa anak, tetapi tidak ada diantara anak-anaknya yang mewarisi kedudukannya. Namun, salah satu anak yang lebih muda kemudian mewarisi titel pangeran setelah dianggap sebagai kepala keluarga pasca-kematian Ayahnya. Saat sang anak sulung ditanyai mengenai hal ini, dia menjawab dengan lugu bahwa dia melewatkan titel yang seharusnya dia warisi karena dia lemah dan dungu. Jika yang tersisa hanya anak perempuan, dia akan dinikahkan secara ambel anak sehingga ayahnya akan tetap terwariskan.[14]   

 

Diskusi dan Kesimpulan

Dalam aturan-aturan yang mengatur pola kekerabatan masyarakat Melayu yang diantaranya saat melakukan lamaran ialah dimana pihak keluarga laki-laki mengunjungi keluarga pihak perempuan. Prosesi ini merupakan pertemuan antara dua keluarga sebagai ajang perkenalan satu sama lain, sekaligus untuk merencanakan upacara pernikahan kedua calon pengantin. Merisik juga bertujuan untuk mendapatkan informasi lebih teliti, penuh kearifan dan bijaksana tentang calon pengantin yang dirisik atau diinginkan.

Kemudian dalam hal pernikahan, maka menjadi sah suatu hubungan antar seorang laki-laki dan seorang perempuan. Di samping itu, kehidupan bagi seorang manusia akan terasa lengkap, begitu pula dengan masyarakat adat jika menikah maka kemungkinan besar akan memiliki suatu keturunan. Sehingga dengan adanya keturunan maka tradisi adat dapat diturunkan ke anak-anak dan cucu-cucu masyarakat adat itu sendiri.

Pada tahap penyelesaian konflik pernikahan pun perlu menanyakan kembali melalui nasihat dan penerangan akibat-akibat yang mungkin timbul di sebalik perpisahan antara mereka. Sekiranya kedua-dua belah pihak masih inginkan perpisahan dan jalan damai ternyata gagal dicapai, perceraian terpaksa dilakukan.

Dan penetapan warisan menjadi milik ahli waris yang dibatasi hanya kepada faktor hubungan darah dan hubungan perkawinan. mekanismenya dilakukan dalam internal keluarga yang dikenal dengan sebutan perdamaian warisan. Perdamaian warisan merupakan perwujudan dari budaya “berdamai” dalam adat Melayu. Dalam pembagian harta waris, adat berdamai ini diwujudkan dengan pola pembagian waris secara faraid-islah dan islah.

 

Referensi

Darussamin, Zikri. “Integrasi Kewarisan Adat Melayu-Riau dengan Islam”, Sosial Budaya: Media Komunikasi Ilmu-Ilmu Sosial dan Budaya, Vol. 11, No. 2 Juli-Desember 2014.

Ellya Roza. Sejarah Tamadun Melayu. Yogyakarta: Aswaja Pressindo, 2015.

Gusti Andri, “Lamaran Adat Melayu Riau”. Diunduh pada tanggal 16 September 2021. Dari http://www.gustiandri.blogspot.com.

Mardalis, Metode Penelitian Suatu Pendekatan Proposal, cet. IV. Jakarta: Bumi Aksara, 1999.

Marsden, William. Sejarah Sumatera, Diterjemahkan dari The History of Sumatera, the third edition 1811. Depok: Komunitas Bambu, 2013.

Nurmansyah, Gunsu. Nunung Rodliyah dan Recca Ayu Hapsari, Pengantar Antropologi; Sebuah Ikstisar Mengenal Antropologi. Lampung: CV Anugrah Utama Raharja, 2019.

Ruhaizan, Engku Alwi, dan Abdul Gani, “Perceraian dalam Kalangan Masyarakat Melayu di Kuala Besut, Terengganu”, Jurnal Islam dan Masyarakat Kontemporari Jilid 6, Juli 2013, 65-78.

Swastiwi, Anastasia Wiwik dan Dedi Arman, Prosesi Adat Pernikahan Melayu. Karimun: Dinas Pariwisata dan Kebudayaan, 2019.



[1] Gunsu Nurmansyah, Nunung Rodliyah, Recca Ayu Hapsari, Pengantar Antropologi; Sebuah Ikstisar Mengenal Antropologi, (Lampung: CV Anugrah Utama Raharja, 2019), hlm. 94.

[2] Zikri Darussamin, “Integrasi Kewarisan Adat Melayu-Riau dengan Islam”, (Sosial Budaya: Media Komunikasi Ilmu-Ilmu Sosial dan Budaya, Vol. 11, No. 2 Juli-Desember 2014), hlm. 144.

[3] William Marsden, Sejarah Sumatera, Diterjemahkan dari The History of Sumatera, the third edition 1811, (Depok: Komunitas Bambu, 2013), hlm. 44.

[4] Zikri Darussamin,  Op.cit., hlm. 145-146.

[5] Ellya Roza, Sejarah Tamadun Melayu, (Yogyakarta: Aswaja Pressindo, 2015), hlm. 189.

[6] Mardalis, Metode Penelitian Suatu Pendekatan Proposal, cet. IV, (Jakarta: Bumi Aksara, 1999), hlm. 46.

[7] Gusti Andri, “Lamaran Adat Melayu Riau”. Diunduh pada tanggal 16 September 2021. Dari http://www.gustiandri.blogspot.com.

[8] Anastasia Wiwik Swastiwi, Dedi Arman, Prosesi Adat Pernikahan Melayu, (Karimun: Dinas Pariwisata dan Kebudayaan, 2019), hlm. 27.

[9] Dalam budaya Melayu dan adat istiadat Melayu khususnya, ungkapan sangatlah penting karena setiap ungkapan mampu menyimpul dan membakukan nilai-nilai utama budayanya. Lazimnya, ungkapan dijalin dengan bahasa yang indah serta sarat dengan simbol dan makna. Dengan demikian nilai-nilai budaya Melayu yang intinya bersumber dan berasaskan nilai agama Islam dapat dirangkai ke dalam ungkapan baik berupa pantun, gurindam, pepatah, petitih dan sebagainya.

[10] Gunsu Nurmansyah, Nunung Rodliyah, Recca Ayu Hapsari, Op.cit., hlm. 98-99.

[11] Anastasia Wiwik Swastiwi, Dedi Arman, Op.cit.,  hlm. 27.

[12] Ruhaizan, Engku Alwi, dan Abdul Gani, “Perceraian dalam Kalangan Masyarakat Melayu di Kuala Besut, Terengganu”, (Jurnal Islam dan Masyarakat Kontemporari Jilid 6, Juli 2013, 65-78), hlm. 67.

[13] Zikri Darussamin, “Integrasi Kewarisan Adat Melayu-Riau dengan Islam”, (Sosial Budaya: Media Komunikasi Ilmu-Ilmu Sosial dan Budaya, Vol. 11, No. 2 Juli-Desember 2014), hlm. 155.

[14] William Marsden, Sejarah Sumatera, Diterjemahkan dari The History of Sumatera, the third edition 1811, (Depok: Komunitas Bambu, 2013), hlm. 285.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

POSTINGAN TERBARU

Gedung Museum Subkoss terbaru 2024

 

POSTINGAN POPULER