A. PENDAHULUAN
Kepulauan nusantara Indonesia merupakan satu wilayah di kawasan Asia Tenggara atau Hindia Belanda yang memiliki berbagai macam kekayaan, baik kekayaan alam maupun kekayaan budaya, serta kekayaan sumber daya manusia sebagai pengguna sekaligus pengelola. Indonesia adalah negara dengan mayoritas umat Islam sebagai penghuninya. Dari latar sejarah, proses islamisasi di kepulauan Indonesia berlangsung secara bertahap dalam beberapa periode. Setelah Islam datang yang mayoritas di bawa oleh para pedagang muslim dari Timur Tengah dan India, mereka membentuk satu pola komunitas muslim yang bermukim di daerah pesisir untuk para pedagang (karena pada waktu itu kegiatan utama adalah berdagang rempah-rempah), dan ada sebagian yang bermukim di pedalaman sebagai petani ladang dan sawah.
Kawasan muslim Indonesia yang terletak secara geografis di pinggiran Dunia Islam (Timur Tengah) mempresentasikan salah satu bagian Dunia Islam yang paling sedikit mengalami Arabisasi. Sebagaimana tercantum dalam Renaisans Islam Asia Tenggara, Prof. Azyumardi Azra menyatakan, “Islam di Asia Tenggara (Indonesia) sering dipandang banyak orientalis sebagai “Islam periferal”, Islam pinggiran, Islam yang jauh dari bentuk “asli” yang terdapat dan berkembang di pusatnya Timur Tengah. Dengan kata lain, Islam di Asia Tenggara khususnya di Indonesia bukanlah “Islam yang sebenarnya” sebagaimana berkembang dan ditemukan di Timur Tengah”. Dengan perkataan lain, Islamisasi di wilayah ini berlangsung secara gradual. Dampaknya adalah bentuk dan keyakinan agama lama diubah secara lambat tanpa harus menghilangkan subtansinya (akulturasi dan asimilasi).
Pada tahap selanjutnya, kebijakan politik pemerintah kolonial Belanda telah membatasi ruang gerak umat, hal ini tidak selanjutnya menyurutkan semangat umat Islam untuk merajut jalinan intelektual dengan pusat-pusat studi Islam di wilayah lain. Muhammadiyah sebagai sebuah organisasi sosial Islam yang terpenting di Indonesia telah merespon segala bentuk kebijakan pemerintah Belanda yang sifatnya refresif terhadap masyarakat Indonesia. Organisasi yang didirikan di Yogyakarta pada tanggal 18 November 1912 oleh KH. Ahmad Dahlan ini memetakan pola yang seharusnya di jalani oleh para pahlawan dan pemimpin bangsa. Muhammadiyah lebih condong pada pengelolaan aspek pendidikan masyarakat muslim pada masa kolonial Belanda. Pada awal abad XX, dalam kurun waktu sepuluh tahun, seorang Kiai Abdul Wahab Hasbullah, telah mengorganisir kelompok Islam tradisional dengan dukungan dari Kiai Hasyim Asyari, seorang kiayi dari Jombang, Jawa Timur. Kiai Wahab sama halnya dengan KH. Ahmad Dahlan berusaha merespon segala macam kebijakan pemerintah Belanda yang menekan kehidupan masyarakat Indonesia, terutama kehidupan umat Islam. Pada tahun 1916, Kiai Wahab mendirikan sebuah madrasah yang diberi nama Nahdatul Wathan (cikal bakal lahirnya Nahdatul ‘Ulama) dengan pusatnya di kota Surabaya.
Tidak jauh berbeda dengan KH. Ahmad Dahlan dan KH. Wahab, Haji Zamzam dan Haji Muhammad Junus juga berperan aktif dalam merumuskan organisasi Persatuan Islam (Persis) di Bandung pada permulaan tahun 1920-an. Organisasi ini berawal dari pada perkumpulan tamu-tamu kenduri yang diadakan oleh peranakan Sumatera yang tinggal di Bandung. Mereka keturunan Palembang pada abad ke-18. Perbincangan awal adalah menyangkut masalah agama yang dibicarakan oleh majalah Al-Munir di Padang, majalah Al-Manar di Mesir, pertikaian Al-Irsyad dan Jamiatul Khoir, serta masalah-masalah umat lainnya.
Realitas historis ini merupakan cikal bakal lahirnya gerakan sosial keagamaan Islam di Indonesia pada abad ke-20. Mereka menyatukan suara dalam visi-misi masing-masing kelompok dalam menentang kebijakan Belanda yang refresif. Ditengah-tengah kisruhnya keadaan sosial masyarakat Indonesia karena praktek penjajahan Belanda mereka hadir memberikan solusi bagi masyarakat Indonesia. Oleh karena itu, pada tulisan ini saya akan menggambarkan realitas gerakan sosial keagamaan di Indonesia dalam tubuh organisasi Muhammadiyah dan NU, sebagai dua buah organisasi penting dan besar di Indonesia yang secara langsung mempengaruhi peta perjalana politik bangsa Indonesia.
B. PEMBAHASAN
1. KONSEP GERAKAN SOSIAL KEAGAMAAN
Gerakan sosial adalah hasil perilaku kolektif yaitu yang dilakukan bersama-sama oleh sejumlah orang yang tidak bersifat rutin dan perilaku mereka merupakan hasil tanggapan atau respon terhadap adanya rangsangan tertentu. Gerakan sosial lazim dikonsepsikan sebagai kegiatan kolektif yang dilakukan kelompok tertentu untuk menciptakan kondisi sesuai dengan cita-cita kelompok tersebut. Bagi mereka, kehidupan masyarakat seperti yang ada pada saat ini dirasakan semakin tidak mampu menciptakan kesejahteraan, karena itu perlu diganti dengan tatanan sosial baru yang lebih baik. Tatanan sosial baru tersebut harus bersumber pada salah satunya adalah nilai-nilai keagamaan.
Berdasarkan pemaparan di atas dapat diambil garis besar bahwa gerakan sosial keagamaan merupakan hasil perilaku kolektif yang dilakukan oleh sejumlah orang dengan mengatasnamakan nilai dan ajaran keagamaan yang bersifat rutin dan merupakan tanggapan terhadap adanya rangsangan yang berkaitan dengan kesadaran keagamaan.
Faktor Terbentuknya Gerakan Sosial Keagamaan
Munculnya gerakan-gerakan sosial keagamaan diberbagai negara tidak serta merta muncul dengan sendirinya, melainkan disebabkan oleh faktor-faktor tertentu yang melatar belakanginya. Secara umum dan teoritis faktor terbentuknya gerakan sosial keagamaan tersebut antara lain sebagai berikut :
a. Ketegangan struktural dan politik
Pendekatan awal terhadap studi gerakan sosial bersumber dari ulasan-ulasan psikologi sosial fungsional tentang perilaku massa. Titik tolak analisis tersebut ialah asumsi bahwa keseimbangan sistem merupakan suatu kondisi sosial yang natural dan stabil. Dari perspektif ini, masyarakat secara organis menghasilkan infrastruktur kelembagaan yang mengatur keseimbangan diantara input dan output dalam sistem politik. Tuntutan-tuntutan sosial diakomodasi oleh lembaga-lembaga yang responsif, mampu menyalurkan dan menangani begitu banyak kepentingan untuk menghasilkan kebijakan-kebijakan yang optimal. Kebijakan-kebijakan ini nantinya akan berfungsi untuk meredakan berbagai tuntutan dan memelihara keseimbangan sistem tersebut. Bagi kaum fungsionalis, ketidakseimbangan sistem bersumber dari ketegangan-ketegangan struktural eksogen yang menghasilkan ketidakpuasan baru dan mengikis efisiensi lembaga-lembaga, menghasilkan disfungsi-disfungsi berupa patologis yang dapat mengakibatkan ketidakstabilan politik. Jika kemampuan kelembagaan tidak dapat mengakomodasi tuntutan-tuntutan baru masyarakat, maka akan mengakibatkan munculnya ketegangan sosial dan kekacauan politik.
b. Sumber Daya dan Struktur Mobilisasi
Teori Mobilisasi Sumber Daya (TMSD) mencul sebagai tanggapan terhadap berbagai kelemahan dari pendekatan gerakan sosial model sosial-psikologis fungsionalisme di atas, yang mana TMSD melihat gerakan-gerakan sebagai sesuatu yang rasional, suatu manifestasi tindakan kolektif yang terorganisir. TMSD sebagai sebuah pendekatan menegaskan bahwa sementara ketidakpuasan tersebar luas namun gerakan tidak ada. Akibatnya ada variabel-variabel perantara yang menerjemahkan tiap-tiap ketidakpuasan menjadi suatu pernyatan yang terorganisasi. Bagi TMSD, sumber daya dan struktur-struktur mobilisasi seperti organisasi gerakan sosial yang formal diperlukan untuk menciptakan ketidakpuasan kolektif, yang tanpa itu kepuasan akan tetap merupakan ketidakpuasan individual. Gerakan sosial tidak dilihat sebagai ledakan tidak rasional yang ditujukan untuk meringankan ketegangan psikologis, tetapi lebih sebagai suatu pernyataan yang terorganisasi dan terstruktur melalui mekanisme-mekanisme mobilisasi yang memberikan sumber-sumber daya strategis bagi tindakan kolektif yang berlanjut.
c. Kesempatan dan Hambatan Dinamika Sosial
Gerakan-gerakan sosial tidak beroperasi dalam ruang hampa. Mereka adalah bagian dari suatu lingkungan dan konteks sosial yang lebih luas, yang dicirikan oleh berbagai konfigurasi keleluasaan dan hambatan yang berubah-ubah secara cair yang menstrukturkan dinamika gerakan. Terlepas dari tingkat ketidakpuasan, ketersediaan sumber daya atau kelaziman struktur mobilisasi, para aktor kolektif dalam gerakan sosial dibatasi dan diberdayakan oleh faktor-faktor eksogen yang sering kali membatasi kemungkinan gerakan dan daftar taktik, tindakan serta pilihan. Faktor eksogen yang terpenting tersebut menurut para ahli ialah pembukaan dan penutupan ruang politik dan lokasi kelembagaan dan substantifnya.
d. Ideasional dan Proses Pembingkaian (Framing)
Sejak tahun 1980-an para teoritisi gerakan sosial tertarik pada peran faktor-faktor ideasional, antara lain interaksi sosial, makna/identitas dan budaya. Selain dimensi strategis dan strukturalis dari mobilisasi yang digambarkan dalam Teori Mobilisasi Sumber Daya (TMSD) dan model proses politik, teori gerakan sosial semakin kuat mengkaji tentang bagaimana individu dapat mengkonseptualisasi diri merka sendiri sebagai kolektifitas bagaimana para calon peserta/aktor gerakan sosial diyakinkan untuk berpartisipasi dan cara-cara dimana makna diproduksi, diartikulasikan dan disebarkan oleh aktor-aktor gerakan sosial melalui proses interaktif. Dalam perkembangannya sebuah pendekatan teoritis terhadap gerakan-gerakan sosial, minat ini umumnya mewujudkan dirinya melalui studi tentang pembingkaian (framing).
Bingkai (frame) merupakan skema-skema yang memberikan sebuah bahasa dan sarana kognitif untuk memahami pengalaman-pengalaman dan peristiwa di dunia luar. Bagi gerakan sosial, skema-skema ini penting untuk menghasilkan dan menyebarkan penafsiran-penafsiran gerakan dan dirancang untuk memobilisasi para aktor serta merangsang tindakan kolektif. Istilah “pembingkaian” (framing) digunakan untuk menggambarkan proses pembentukan makna. [1]
2. Beberapa Gerakan Sosial Keagamaan
a. Serikat Dagang Islam
Apabila dikaitkan dengan gerakan keagamaan Islam, maka gerakan itu di Indonesia dimulai pada tahun 1901 ketika kelompok masyarakat keturunan Arab membentuk gerakan sosial keagamaan sebagai aktualisasi dari nilai-nilai keislaman dalam pandangan mereka yang keturunan Arab. Maka lahirlah Jami’at Al Khair sebagai nama yang dipilih untuk gerakan sosial tersebut. Kemudian gerakan sosial tersebut lebih konkrit lagi akibat adanya rangsangan penderitaan masyarakat di bidang ekonomi akibat tekanan kolonial, kaum aristokrasi dan kelompok masyarakat golongan timur asing (vreemde osterlingen) maka dibentuklah Syarikat Dagang Islam (1905).
Gerakan tersebut kemudian berubah bentuk lagi akibat terjadinya respon baru terhadap tantangan keummatan yaitu bidang politik. Maka SDI berubah lagi menjadi gerakan sosial Syarikat Islam (SI) pada tahun 1912. Gerakan sosial yang berciri intelektual Islam kemudian lebih menonjol lagi dengan berdirinya Muhammadiyah (1911) dan Nahdlatul Ulama (1926). Dua gerakan sosial ini menjadi kuat karena kemampuan mereka menangkap rangsangan perlunya menghidupkan kembali warisan tradisi keulamaan (ihya atsar al salaf) dalam bentuk pemikiran keIslaman melalui pola pemeliharaan keruntutan sejarah pemikiran Islam (syuhud ‘ain al syari’at) sementara Muhammadiyah datang dengan respon purifikasi dan modernisme pemikiran Islam sebagai jawaban terhadap kondisi dunia Islam yang mengalami kemunduran akibat kekalahan umat Islam di bidang politik dan peradaban. [2]
b. Persatuan Islam
Selanjutnya bermunculan berbagai gerakan sosial Islam seperti Persatuan Islam (1920), Al Jam’iyatul Washliyah (1930) dan lain sebagainya. Gerakan sosial Islam ini mengalami masa kecemerlangan sampai kepada akhir orde lama. Memasuki orde baru, pemerintah memperkenalkan gagasan depolitisasi agama dan memperkecil ruang bagi gerakan-gerakan sosial Islam. Ternyata gerakan sosial keislaman yang sudah mapan ini tidak cukup proaktif dan kreatif berhadapan dengan politik orde baru. Lebih dari itu, gerakan sosial Islam ini tidak berhasil merumuskan sikap yang tidak rutin dalam memberikan jawaban terhadap tantangan yang baru. Ternyata, jumlah anggota yang banyak tidak menjadi jaminan atas adanya gerakan sosial yang dinamis dan kreatif serta responsif terhadap tantangan.
Akibatnya, maka bermunculan gerakan sosial Islam baru yang lebih dinamis dan kreatif yang mampu membangun perilaku kolektif dari sejumlah orang yang tidak lagi bersifat rutin. Munculnya berbagai gerakan sosial keislaman yang baru seperti Jamaah Tablig, Wahdah Islamiyah Jama’iyah Islamiyah, Al Khairat demikian juga berbagai perkumpulan Majelis Zikr, Perkumpulan Tasawuf adalah merupakan bentuk gerakan sosial keislaman yang baru yang mengisi kekosongan peran yang dahulu tekah diperankan oleh NU, Muhammadiyah, Al Washliyah, DDI dan lain sebagainya. Hal inilah yang menjadi tantangan bagi gerakan sosial keIslaman yang sudah mapan untuk melakukan revitalisasi guna membangun pola berpikir yang dinamis, kreatif dan inovatif agar tidak kehilangan momentum memberikan jawaban terhadap rangsangan perubahan.
c. Nahdatul Ulama
Nahdlatul Ulama merupakan nama organisasi Islam Indonesia yang didirikan pada 31 Januari 1926. Istilah nama organisasi ini bersumber dari bahasa Arab yang terdiri atas dua kata yaitu nahdhah berarti “kebangkitan” dan al-ulama yang berarti “orang-orang berilmu” atau “kelompok elit dalam agama Islam”. Organisasi ini dibentuk oleh para ulama untuk mempersatukan solidaritas ulama tradisional dan para pengikut mereka yang mengikuti salah satu dari empat mazhab fiqih Islam Sunni di antaranya Mazhab syafi’i, Maliki, Hanafi dan Hambali. Basis sosial NU sejak dahulu dan kini masih berada di Pesantren terutama di Jawa Timur, Jawa Tengah dan Jawa Barat. Sedangkan Jakarta, Kalimantan Barat dan wilayah-wilayah lainnya menjadi perkembangan basis massa NU selanjutnya. Terdapat sekitar enam ribu pesantren yang tersebar dan berafiliasi pada NU di Indonesia dan memiliki anggota dan simpatisan diperkirakan empat puluh juta.[3] Kini NU tidak hanya memiliki cabang kepengurusan di dalam negeri tetapi memiliki cabang kepengurusan di luar negeri seperti Amerika, jerman, Inggris Jepang dan sebagainya. Hal ini merupakan bukti dari kelenturan, kemampuan menyesuaikan diri dan vitalitas Islam tradisional di Indonesia.[4]
Untuk memahami ciri-ciri dari Nahdlatul Ulama bisa gunakan beberapa bahan yang bersumber dari para peneliti dan dokumen-dokumen NU. Para peneliti yang berkaitan dengan NU seperti Deliar Noer, Greg Baerthon, Martin Van Brunessen dan Hiroko Horokosyi. Dokument yang berkaitan dengan NU antara lain Qanun Asasi, Statuten NU 1926, Buku Khittah Nahdliyah tulisan KH. Ahmad Siddiq, Pokok-pokok Pikiran tentang Pemulihan Khittah Nahdlatul Ulama 1926 karya tim tujuh, Muqadimah Program Dasar Pengembangan Lima Tahun NU, Pokok-pokok hasil Munas Alim Ulama NU dan Hasil Muktamar NU. Selain itu data-data bisa diperoleh dari surat kabar, buku-buku lainnya yang berkaitan dengan NU.
Pada masa kelahirannya NU sebagai organisasi pergerakan memiliki tantangan kolektif. Terdapat dua tantangan kolektif dari organisasi NU Pada masa kelahirannya. Tantangan ini dapat menjadi syarat dari gerakan sosial yang bernuansa agama. Pertama, penjajahan yang dilakukan oleh negara-negara asing baik dari benua Erofa dan Asia merupakan tantangan bagi kelahiran NU. Adanya Penjajahan dilakukan oleh negara-negara seperti Belanda dan Jepang menimbulkan semangat nasionalisme di berbagai wilayah untuk bebas dari penjajahan negara asing dan berkeinginan membentuk negara sendiri. Apabila melihat tahun kelahiran NU yaitu tahun 1926, maka tahun ini merupakan masa kebangkitan yang ditandai dengan lahirnya organisasi-organisasi pergerakan, seperti PNI lahir 1927, PKI lahir 1924. Hal ini menunjukkan bahwa bangsa Indonesia berada pada tahap awal kebangkitan nasional, masa penindasan dan krisis ekonomi.[5] Dengan demikian, kelahiran organisasi NU ini merupakan salah satu bagian dari gelombang kebangkitan Nasional. Hal ini dapat dibuktikan dengan peran Abdul Wahab Hasbullah (1888-1971) yang dikenal salah seorang pendiri NU. Ia pernah membentuk cabang SI di Mekkah pada 1913. Tetapi setelah tiba di Indonesia ia mendirikan lembaga pendidikan Nahdlatul Wathan (kebangkitan tanah air) di Surabaya pada 1916.
Begitu juga pada masa pendudukan Jepang tahun 1942 -1945, organisasi NU bersama-sama dengan organisasi-organisasi Islam lainnya mengalami perubahan besar dalam hubungan dengan pemerintah waktu itu. Perubahan dari hubungan yang dijadikan sasaran penindasan kolonial Belanda menjadi alat mobilisasi massa bagi Jepang untuk melawan tentara sekutu. Organisasi-oraganiasi Islam di bawah kelompok Masyumi yang dipimpin oleh Hasyim Asyari mengobarkan semangat Jihad melawan tentaran sekutu termasuk NU di dalamnya.[6]
Upaya membebaskan diri dari penjajahan melalui semangat nasionalisme dilakukan pula pada masa akhir penjajahan Jepang atau menjelang kemerdekaan Republik Indonesia. Gerakan protes para ulama NU yang berupaya ingin bebas dari penjajahan Jepang dilakukan tidak hanya di Jawa Timur dan Jawa Tengah, tetapi di beberapa daerah lainnya termasuk di Jawa Barat. Peristiwa Tasikmalaya yang dipimpin K.H Zaenal Mustofa dan peristiwa Indramayu merupakan dua peristiwa gerakan protes sosial dari NU terhadap kekuasaan Jepang.[7] K.H Zaenal Mustofa seorang pimpinan pesantren Cimerah Sukamanah dari kalangan NU memimpin gerakan protes sosial terhadap Jepang yang terjadi 18 Februari 1944. Peristiwa gerakan protes dilakukan pula oleh ulama di Lohbener Indramayu terjadi pada 30 Juli 1944.
Para tokoh NU dan tokoh Islam lainnya bergabung dengan kelompok nasionalis lainnya untuk mempersiapkan undang-undang kemerdekaan Republik Indonesia. Wakil NU dan tokoh-tokoh Islam lainnya mengikuti sidang-sidang mengenai perumusan konstitusi negara tanggal 1, 22 Juni 1945 dan 18 Agustus 1945. Pada masa itu tokoh NU disimbolkan oleh sosok Wahid Hasyim. Ia memiliki peran pada awal kemerdekaan yaitu sebagai salah seorang penandatangan Piagam Jakarta (Jakarta Charter) dan sebagai menteri Agama yang pertama setelah pengakuan kedaulatan. Ia pun dikenal sebagai pendiri NU, ketika NU sebagai partai politik. Wahid Hasyim mampu menghubungkan peradaban pesantren dengan peradaban Indonesia moderan.[8] Ia salah seorang putra Hasyim Asyari, walaupun hidupnya hanya sampai 39 tahun ia mampu berperan dalam merancang pengesahan dasar negara dan Undang-undang Dasar.
Walaupun NU memperjuangkan negara yang berdasarkan syariat, tetapi pada akhirnya mereka menyetujui rumusan Pancasila sebagai dasar negara Republik Indonesia. Pada masa itu terjadi konflik antara kelompok muslim yang memperjuangkan Pancasila dengan dengan kelompok muslim memperjuangkan Syariah. Persaingan ini mirip dengan analisa Benda mengenai teori domestikasi kelompok Muslim Indonesia. Teori domestikasi sering diasosiasikan dengan karya-karya Harry J. Benda mengenai Islam politik di Indonesia. Teori ini dibangun di atas landasan analisis historis mengenai Islam di Jawa pada abad ke 16 hingga abad 18 terutama pada masa perebutan kekuasaan antara kerajaan Islam yang taat di pesisir utara Jawa dengan kerajaan Mataram Islam yang sinkretis. Dalam persaingan politik ini, kelompok aristokrasi Jawa yang mewakili negara Mataram yang sinkretis menang besar. Dengan berkembangnya suatu aliansi antara kelompok aristokrasi Jawa dan kekuatan kolonial Belanda, proses domestikasi ini berkembang dalam tingkatan yang paling luas, ditandai oleh dimandulkannya “cengkraman politik” Islam Jawa. Proses pemandulan Islam ini semakin kuat pada masa pasca kolonial, dan mencapai puncaknya pada masa pemerintahan Soeharto.[9]
Pada masa mempertahankan kemerdekaan yaitu pada 1945 sampai dengan 1949 orang-orang NU dan orang-orang Islam lainnya tidak hanya tergabung dalam militer reguler PETA (Pembela Tanah Air) tetapi juga bergabung dalam tentara nonreguler dan milisi yang direkrut dari tentara Hizbullah Masyumi. Orang-orang NU banyak yang menjadi Komandan Hizbullah. Yusuf Hasyim anaknya Hasyim Asyari tercatat sebagai komandan Hizbullah Surabaya. Noer Ali tercatat komandan Hizbullah Kerawang dan Bekasi, ketika perang mempertahankan kemerdekaan di wilayah antara Kerawang dan Bekasi.
Melalui simbol-simbol agama dan kekuatan kharismatik ulama, NU mengeluarkan dogma (fatwa) resolusi jihad dan ungkapan Allahu Akbar di mana-mana pada masa mempertahankan kemerdekaan yaitu oktober 1945. Resolusi jihad yang dikeluarkan oleh Hasyim Asyari bermakna bahwa menyerukan bagi seluruh muslim yang mampu untuk terjun ke medan perang karena perang di jalan Tuhan (jihad fi sabil Allah) merupakan kewajiban bagi setiap muslim (fardhu’ain). Adanya fatwa dan ungkapan Allahu Akbar meningkatkan semangat berperang bagi tentara dan pelaku perjuangan lainnya dalam mempertahankan kemerdekaan pada perang bulan Nopember 1945. Perang mempertahankan kemerdekaan yang terjadi di mana-mana menghasilkan pengakuan kedaulatan Republik Indonesia oleh Belanda melalui perundingan Meja Bundar.
Tantangan kolektif kedua adalah pembaharuan teologi. Adanya pembaruan teologi yang dilakukan oleh Muhammad Abduh di Mesir dan paham wahabiyah di Arab menimbulkan dampak bagi ulama di Indonesia termasuk mendorong berdirinya Nahdlatul Ulama. Pada masa ini persis ditemukannnya sumber-sumber minyak di timur tengah oleh orang-orang Eropa. Sebagian ulama Indonesia mendirikan organisasi yang sejalan dengan pemikiran Abduh dan wahabi dalam bidang pembaruan teologi dan menentang cara beragama yang dianggap mengandung tahayul, bid’ah dan churafat, setelah penghapusan kekhalifahan di Turki dan kejatuhan Hijaj ke tangan Ibn Sa’ud yang menganut Wahabiyah pada tahun 1924. Sebagian ulama lain mempertahankan tradisi dan melakukan perlawanan dengan membentuk organisasi Nahdlatul Ulama. Di antara organisasi-organisasi yang sudah ada sebelam tahun 1926 yang giat melakukan pembaharuan Islam adalah Muhammadiyah yang didirikan pada 18 November 1912 di Yogyakarta oleh Ahmad Dahlan. Pembaharuan teologi oleh kelompok pembaruan menimbulkan konflik teologi di kalangan umat Isalam saat itu. Konflik itu membagi kelompok muslim menjadi dua kelompok yaitu kelompok rasional atau modern yang cenderung berfikir praktis dan rasional, sedangkan kelompok tradisional yaitu kelompok yang mempertahankan tradisi.
Pertentangan antara kelompok tradisional dan kelompok pembaharu Islam muncul ketika adanya dominasi kelompok pembaharu dalam beberapa pertemuan kongres Al-Islam sebelum menghadiri beberapa undangan Kongres dari Ibnu Sa’ud di Mekah kepada kaum Islam di Indonesia.[10] Kongres Al-Islam Indonesia menjelang pertemuan di Mekah itu pernah dilakukan tiga pertemuan. Pertama kongres Al-Islam keempat di Yogyakarta dilaksanakan pada 21-27 Agustus 1925. Kedua, rapat pertemuan di antara organisasi pembaharu di Cinajur Jawa Barat 8-10 Januari 1926. Ketiga, kongres Al-Islam kelima di Bandung dilaksanakan pada 6 Februari 1926. Ketiga pertemuan Al-Islam di Yogyakarta Cianjur dan Bandung ini menurut Noer didominasi oleh golongan pembaharu Islam. Hal itu terlihat jelas, ketika pertemuan tokoh-tokoh pembaharu Islam di Cianjur menjelang kongres di Bandung di mana para pemabaharu Islam itu telah memutuskan untuk mengirim Tjokroaminoto dan KH. Mas Mansur untuk menghadiri kongres di Mekkah. Tjokroaminoto dikenal dari SI (Sarikat Islam) dan KH. Mas Mansur dikenal dari Muhammadiyah. Keputusan tentang perwakilan dari Al-Islam Indonesia untuk berangkat ke Mekkah yang berasal dari kalangan SI dan Muhammadiyah di Cianjur ini diperkuat oleh Kongres Al-Islam di Bandung.
Pada kongres di Bandung itu KH. A. Abdul Wahab sebagai perwakilan dari kelompok yang mempertahankan tradisi mengajukan usul kepada peserta kongres Al-Islam Indonesia di Bandung agar tradisi keagamaan seperti membangun kuburan, membaca doa kepada luluhur dan ajaran mazhab bisa dihormati oleh kepala negeri Arab yang baru yang menguasai Mekkah dan Madinah. Tetapi kelompok pembaharu itu tidak menyambut baik usul dan Kyai Wahab ini. Wahab dan beberapa orang lainnya keluar dari komite Al-Islam itu dan ia mengadakan rapat-rapat di kalangan ulama dari beberapa daerah. Beberapa daerah tempat ulama yang diajak melakukan pertemuan oleh Wahab di antaranya dari Surabaya, semarang, Pasuruan, Lasem dan Pati. Ulama-ulama yang diajak oleh Wahab dalam pertemuan sepakat mendirikan suatu panitia yang disebut Komite Merembuk Hijaz. Perkumpulan ini disebut Komite Merembuk Hijaz atau Komite Hijaz karena masalah Hijaz merupakan masalah penting bagi ulama yang mempertahankan tradisi sampai komite ini diganti dengan nama Nahdlatul Ulama pada pertemuan 31 Januari 1926.
Menurut cerita-cerita dari tokoh-tokoh NU bahwa pendirian NU ini berawal dari instruksi KH. Cholil dari Bangkalan Madura setelah mendengar KH. Hasyim Asyari gelisah dalam merespon kelompok modernis. KH. Cholil mengirim tongkat dan pesan kepada KH. Hasyim Asyari yang berada di Jombang Tebu Ireng melalui melalui kulir KH. As’ad Syamsul Arifin. KH. As’ad berjalan dari Bangkalan Madura sampai Tebuireng Jombang. Setelah bertemu dengan KH Hasyim Asyari, KH. As’ad menyerahkan tongkat dan pesan yang dititipkannya itu. Isi pesan itu KH. Cholil memerintahkan kepada KH. Hasyim Asyari untuk membentuk organisasi bagi para ulama.
d. Muhammadiyah
Muhammadiyah merupakan gerakan Islam, Dakwah Amar Ma’ruf Nahi Munkar, beraqidah Islam yang bersumber langsung kepada Al-Qur’an dan as-Sunnah. Organisasi ini didirikan oleh Muhammad Darwis atau KH. Ahmad Dahlan pada tanggal 18 November 1912 bertepatan dengan 8 Dzulhijjah 1330 Hijriah di kota Yogyakarta. Muhammadiyah sendiri berasal dari istilah Arab, “Muhammad”, yaitu nama Nabi dan Rasul Allah Swt yang terakhir (khotamin nabiyin). Filosofi penamaan gerakan Muhammadiyah adalah agar gerakan ini bertafa’ul (berpengharapan baik), dapat mencontoh dan meneladani jejak agung kemuliaan akhlak baginda Rasul tercinta, Muhammad Saw.
KH. Ahmad Dahlan sebagai pendiri Muhammadiyah dilahirkan di Yogyakarta pada tahun 1869 dengan nama kecil Muhammad Darwis. Ia adalah anak KH. Abubakar bin Kiayi Sulaiman, seorang khatib di mesjid Sultan Yogyakarta. Ibunya adalah anak Haji Ibrahim yang bernama Siti Aminah. Latar belakang pendidikannya dihabiskan dengan belajar nahwu, fiqh dan tafsir di Yogyakarta dan sekitarnya. Pada tahun 1890, KH. Ahmad Dahlan pergi ke Mekkah di mana ia belajar selama setahun lamanya. Salah seorang gurunya adalah Syaikh Ahmad Khatib al-Minagkabawi (1860-1916).
Sepulang dari Mekkah, KH. Ahmad Dahlan menggantikan ayahanda nya, KH. Abubakar karena wafat (1896 M), sebagai khatib di Mesjid Sultan Yogya. Ini adalah salah satu tanda kebesaran Ahmad Dahlan di kemudian hari dalam mengusung Muhammadiyah sebagai organisasi sosial keagamaan terbesar di Indonesia.
Visi Misi Organisasi Muhammadiyah
Dalam buku “Muhammadiyah Sebagai Gerakan Islam”, H. Mustafa Kamal Pasha dan H. Ahmad Adaby Darban menyatakan bahwa sejarah perumusan dan tujuan berdirinya Muhammadiyah sejak berdiri sampai sekarang telah mengalami beberapa kali perubahan redaksional. Namun, hal ini tidak serta merta mengubah subtansi isi dari maksud dan tujuan berdirinya organisasi Muhammadiyah. Redaksi tersebut mengalami beberapa kali perubahan, yakni:
1) Menyebarkan ajaran kanjeng Nabi Muhammad Saw kepada penduduk bumi-putera di dalam residensi Yogyakarta.
2) Memajukan hal agama Islam kepada anggota-anggotanya.
3) Memajukan pengajaran dan pelajaran agama Islam di Hindia Belanda
4) Memajukan hidup sepanjang kemauan agama Islam kepada sekutu-sekutunya.
5) Sesuai dengan kepercayaan untuk mendirikan kemakmuran bersama seluruh Asia Timur Raya di bawah pimpinan Dai Nippon, dan memang diperintahkan oleh Tuhan Allah, maka tujuan Muhammadiyah menjadi:
- Hendak menyiarkan Islam, serta melahirkan hidup yang selaras dengan tuntutannya
- Hendak melakukan pekerjaan kebaikan umum
- Hendak memajukan pengetahuan dan kepandaian serta budi pekerti yang baik kepada anggota-anggotanya
6) Maksud dan tujuan perserikatan ini ialah menegakkan dan menjunjung tinggi agama Islam sehingga dapat mewujudkan masyarakat Islam yang sebenar-benarnya
7) Menegakkan dan menjungjung tinggi agama Islam sehingga terwujud masyarakat Islam yang sebenar-benarnya
8) Menegakkan dan menjungjung tinggi agama Islam sehingga terwujud masyarakat utama, adil dan makmur yang diridhai Allah SWT
9) Muhammadiyah adalah gerakan Islam, dakwah amar ma’ruf nahi munkar, berasaskan Islam yang bersumber pada Al-Qur’an dan as-Sunnah”
Jika kita melihat kembali dokumen awal berdirinya Muhammadiyah, tak satupun yang menjelaskan bahwa Muhammadiyah adalah gerakan tajdid. Dalam Anggaran Dasar pertama disebutkan bahwa maksud dan tujuan Muhammadiyah adalah ”menyebarkan pengajaran Kanjeng Nabi Muhammad kepada penduduk Bumiputra, di dalam residensi Yogyakarta. Memajukan hal agama Islam kepada anggota-anggotanya.”
Rumusan ini menegaskan tentang identitas diri Muhammadiyah sebagai gerakan dakwah amar ma’ruf nahi munkar. Penegasan identitas diri inilah yang membedakan Muhammadiyah dengan gerakan Islam semasanya yang umumnya mengikatkan diri pada orientasi ideologi keagamaan tertentu sebagai gerakan reformis (Al-Irshad), memberantas bid’ah, khurafat, dan takhayul secara radikal (Persis), dan ahlus sunnah wal jamaah (NU). Identitas diri Muhammadiyah sebagai gerakan tajdid baru dirumuskan akhir-akhir ini.
Secara garis besar, gerakan tajdid dalam tubuh Muhammadiyah terumuskan dalam empat poin berikut:
- Menegakkan tauhid yang murni, sesuai dengan ajaran Allah Swt yang dibawa oleh Nabi dan Rasul-Nya sejak zaman Adam as hingga Muhammad Saw
- Menyebarkan ajaran Islam yang bersumber kepada kitab suci Al-Qur’an
- Mewujudkan amalan-amalan Islam dalam kehidupan perorangan, keluarga, dan masyarakat
- Pemahaman agama dengan menggunakan rasio
Model tajdid yang dilakukan oleh Muhammadiyah harus mengacu pada pembentukan watak dan karakter warga anggota masyarakat yang memiliki kompetensi nilai-nilai di atas. Karena itu gerakan keilmuan yang berorientasi pada pengembangan sumber daya manusia melalui pendidikan tetap menjadi program utama gerakan ini. Identitas diri Muhammadiyah sebagai gerakan dakwah amar makruf nahi munkar dan tajdid hendaknya dipahami sebagai gerakan kultural dan bukan struktural, yang berorientasi pada kekuasaan dengan melibatkan lembaga secara langsung dalam politik praktis.
Dalam kaitan ini peran Muhammadiyah adalah mempersiapkan sumber daya manusia yang mampu mengarahkan bahtera kehidupan sosial, budaya, ekonomi, politik, dan keagamaan. Karena itu peran penting Muhammadiyah adalah keikutsertaannya dalam proses dan bukan menciptakan peradaban itu sendiri. Hal ini sama seperti yang diperankan oleh Nabi besar Muhammad SAW yang telah meletakkan dasar nilai-nilai bagi terciptanya peradaban Islam pada masa Klasik Islam. Sebab, secara fisik peradaban Islam itu tidak lahir pada masa awal Islam, tetapi pada masa akhir, yakni seabad kemudian (Achmad Jainuri, “Model Tajdid Muhammadiyah:Membangun Peradaban Utama”
C. KESIMPULAN
Gerakan sosial keagamaan merupakan hasil perilaku kolektif yang dilakukan oleh sejumlah orang dengan mengatasnamakan nilai dan ajaran keagamaan yang bersifat rutin dan merupakan tanggapan terhadap adanya rangsangan yang berkaitan dengan kesadaran keagamaan. Secara umum dan teoritis faktor terbentuknya gerakan sosial keagamaan antara lain: ketegangan struktural dan politik, sumber daya dan struktur mobilisasi, kesempatan dan hambatan dinamika sosial, ideasional dan proses pembingkaian (framing).
pada tahun 1901 ketika kelompok masyarakat keturunan Arab membentuk gerakan sosial keagamaan sebagai aktualisasi dari nilai-nilai keislaman dalam pandangan mereka yang keturunan Arab. Maka lahirlah Jami’at Al Khair sebagai nama yang dipilih untuk gerakan sosial tersebut. Kemudian gerakan sosial tersebut lebih konkrit lagi akibat adanya rangsangan penderitaan masyarakat di bidang ekonomi akibat tekanan kolonial, kaum aristokrasi dan kelompok masyarakat golongan timur asing (vreemde osterlingen) maka dibentuklah Syarikat Dagang Islam (1905).
Gerakan tersebut kemudian berubah bentuk lagi akibat terjadinya respon baru terhadap tantangan keummatan yaitu bidang politik. Maka SDI berubah lagi menjadi gerakan sosial Syarikat Islam (SI) pada tahun 1912. Gerakan sosial yang berciri intelektual Islam kemudian lebih menonjol lagi dengan berdirinya Muhammadiyah (1911) dan Nahdlatul Ulama (1926). Dua gerakan sosial ini menjadi kuat karena kemampuan mereka menangkap rangsangan perlunya menghidupkan kembali warisan tradisi keulamaan (ihya atsar al salaf) dalam bentuk pemikiran keIslaman melalui pola pemeliharaan keruntutan sejarah pemikiran Islam (syuhud ‘ain al syari’at) sementara Muhammadiyah datang dengan respon purifikasi dan modernisme pemikiran Islam sebagai jawaban terhadap kondisi dunia Islam yang mengalami kemunduran akibat kekalahan umat Islam di bidang politik dan peradaban.
Selanjutnya bermunculan berbagai gerakan sosial Islam seperti Persatuan Islam (1920), Al Jam’iyatul Washliyah (1930) dan lain sebagainya. Gerakan sosial Islam ini mengalami masa kecemerlangan sampai kepada akhir orde lama. Memasuki orde baru, pemerintah memperkenalkan gagasan depolitisasi agama dan memperkecil ruang bagi gerakan-gerakan sosial Islam. Ternyata gerakan sosial keislaman yang sudah mapan ini tidak cukup proaktif dan kreatif berhadapan dengan politik orde baru. Lebih dari itu, gerakan sosial Islam ini tidak berhasil merumuskan sikap yang tidak rutin dalam memberikan jawaban terhadap tantangan yang baru. Ternyata, jumlah anggota yang banyak tidak menjadi jaminan atas adanya gerakan sosial yang dinamis dan kreatif serta responsif terhadap tantangan
REFERENSI
Dhofier, Zamakhsyari. 1984. KH. A Wahid Hasyim Rantai Penghubung Peradaban Pesantren dengan Peradaban Indonesia Modern. Jakarta: Prisma.
Efendy, Bahtiar. 1998. Islam dan Negara: Transformasi dan Praktek Politik Islam di Indonesia. Jakarta: Paramadina.
Esposito, John L. 2001. Ensiklopedi Oxford Dunia Islam Modern. Bandung: Mizan.
John L. Esposito, Ensiklopedi Oxford Dunia Islam Modern.
Noer, Deliar. 1990. Gerakan Modern Islam di Indonesia 1900-1942. Jakarta: LP3ES
Ricklefs, M. C. 2001. A History of Modern Indonesia since c.1200. Macmillan: Palgrave
Robert, Mirsel. 2004. Teori Pergerakan Sosial. Yogyakarta: Resist Book.
Suryanegara, Ahmad Mansur. 2010. Api Sejarah 2. Bandung, Salamadani.
Victor, Tanja. 1998. Pluralisme Agama dan Problem Sosial (Diskursus Tiologi tentang Isu-isu Kontemporer. Jakarta: Pustaka Cidesindo
[1] Mirsel Robert, Teori Pergerakan Sosial, Yogyakarta: Resist Book, 2004
[2] Tanja Victor , Pluralisme Agama dan Problem Sosial (Diskursus Tiologi tentang Isu-isu Kontemporer Jakarta: Pustaka Cidesindo, 1998
[3] Pernyataan Amin Rais di Station Televisi menjelang Abdurahman Wahid sebagai calon presiden 1999.
[4] John L. Esposito, Ensiklopedi Oxford Dunia Islam Modern (Bandung: Mizan, 2001), 142.
[5] M. C. Ricklefs, A History of Modern Indonesia since c.1200 (Macmillan: Palgrave, 2001), 206 dan 227.
[6] John L. Esposito, Ensiklopedi Oxford Dunia Islam Modern, 144.
[7] Ahmad Mansur Suryanegara, Api Sejarah 2 (Bandung, Salamadani, 2010), 93-94.
[8]Zamakhsyari Dhofier, KH.A Wahid Hasyim Rantai Penghubung Peradaban Pesantren dengan Peradaban Indonesia Modern, (Jakarta: Prisma no 8, 1984), 73.
[9]Bahtiar Efendy, Islam dan Negara: Transformasi dan Praktek Politik Islam di Indonesia (Jakarta: Paramadina, 1998), 28-31.
[10] Deliar Noer, Gerakan Modern Islam di Indonesia 1900-1942 (Jakarta: LP3ES, 1990), 243.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar