Tulisan Bergerak

Selamat Datang. Selamat Mengunjungi halaman blog saya. Semoga anda menyukainya dan menemukan apa yang engkau cari. Terima Kasih. Barakallah.

Selasa, 11 Januari 2022

MAKALAH TENTANG DOMESTIFIKASI DAN KONTEKSTUALISASI ISLAM: PENGALAMAN SEJARAH INDONESIA

 

A.      PENDAHULUAN

 Domestifikasi dapat dijabarkan dalam konsep ibuisme negara yang merupakan sebuah konsep tentang subordinasi (istilahnya penomorduaan) terhadap kedudukan sesuatu hal. Sementara kontekstualisasi adalah usaha menempatkan sesuatu pada konteksnya, sehingga tidak asing lagi tetapi terjalin dan menyatu dengan keseluruhan, seperti benang dalam tekstil. Dalam hal ini, tidak hanya tradisi budaya yang menentukan tetapi situasi dan kondisi sosial pun turut berbicara.

Domestifikasi Islam merujuk pada suatu usaha intelektual untuk merumuskan Islam yang sejalan dengan konteks budaya masyarakat Muslim menjadi satu ciri menonjol dalam sejarah perkembangan Islam di Nusantara. Sejak awal kehadirannya, diwujudkan dalam bentuk mitos dan legenda konversi keagamaan, Islam telah diterjemahkan ke dalam kosa kata budaya masyarakat lokal. Dan proses tersebut terus berlangsung sejalan perkembangan Islam dan meliputi berbagai wilayah sosial keagamaan yang luas.

Pembahasan tentang domestifikasi juga kontekstualisasi dengan pengertian yang sama dibatasi pada wilayah intelektual dan sosial. Perkembangan pada beberapa periode historis tertentu dalam sejarah Islam Indonesia akan diambil sebagai kasus pembahasan, mulai dari masa pra-kolonial hingga periode kontemporer dalam sejarah Islam Indonesia. Dengan demikian, tulisan ini bisa memberi satu gambaran komprehensif tentang usaha sosial-intelektual Islam, sebagaimana disuarakan para ulama dan tokoh agama, untuk menerjemahkan Islam ke dalam sistem sosial budaya masyarakat. Dengan demikian, Islam menjadi bagian dari wacana yang hidup di tengah masyarakat.

Berdasarkan uraian di atas, maka penjelasan dalam tulisan ini akan dipusatkan pada proses domestifikasi dan juga kontekstualisasi dalam kisah perjalanan sejarah Islam Indonesia.

 

B.       PEMBAHASAN

1.    Domestifikasi dan Kontekstualisasi Islam Pra-Kolonial

Pada masa ini, para sufisme pada dasarnya telah berkembang seiring proses awal perkembangan agama Islam. Bersama sejumlah faktor lain yang bersifat sosial-politik dan ekonomi, sufisme menjadi satu unsur penting dalam sejarah Islam Indonesia. Ia telah berjasa menjadikan Islam memiliki daya lentur dan tingkat adaptasi yang tinggi terhadap sistem sosial-politik budaya Indonesia pra-Islam. Sehingga, dengannya, Islam bisa diterima dengan mudah dan menjadi bagian dari proses pembentukan dan perkembangan sistem sosial-budaya masyarakat Melayu-Indonesia.

Pada masa Kerajaan Aceh, terkenal dua orang tokoh sufi terkemuka, Hamzah al-Fansuri dan Syamsuddin al- Sumatrani. Keduanya ulama Kerajaan Aceh, yang hidup pada masing-masing periode kekuasaan Alauddin Ri’ayat Syah (1589-1602) dan penggantinya, Sultan Iskandar Muda (1607-1636), yang menduduki jabatan sebagai Syaikh Al-Islam yang bertugas sebagai penasihat raja, khususnya di bidang agama.

Dalam masa ini, corak pemikiran sufisme ini memiliki makna sangat penting dalam budaya politik Melayu yang berorientasi kerajaan. Dalam hal ini, sufisme memberi kontribusi atau paling tidak sejalan dengan pemikiran politik yang menekankan keagungan dan kesakralan raja. Salah satu aspek terpenting untuk ditekankan adalah konsep “manusia sempurna” (al-insan al-kamil), yang memang menjadi salah satu bagian pokok dari sufisme wahdatul wujud. Dan melalui konsep manusia sempurna ini signifikansi sufisme dalam budaya politik Melayu bisa dijelaskan. Pengertian manusia sempurna dalam sufisme manusia dengan kualitas spiritual yang bisa mencapai derajat kebenaran Tuhan paralel dengan konsep raja ideal dalam tradisi politik Melayu-Indonesia, yang dirumuskan dalam istilah “Raja-Sufi”, yakni seorang raja yang memimpin dan sekaligus membimbing rakyatnya untuk mencapai derajat kesempurnaan hidup, secara material dan spiritual.

Bila dibanding teks Melayu lain yang dibahas, khususnya Sejarah Melayu, teks Tajussalatin menunjukkan corak pembahasan relatif berbeda. Ketimbang menuturkan kisah hidup dan perilaku raja-raja Melayu sambil tentu saja mengambil pelajaran darinya. Tajussalatin justru menghadirkan cerita para Nabi dan khalifah dalam sejarah Islam. Perhatian utama teks tersebut adalah memberikan nasihat moral dan bimbingan dalam rangka membangun suatu kerajaan ideal. Karena itu, Tajussalatin menekankan pentingnya ajaran Islam dalam praktik politik raja.

Pola perkembangan di atas juga didukung budaya politik Melayu yang memang memandang raja sebagai pusat dari seluruh aspek kehidupan, termasuk kehidupan keagamaan. Dengan demikian, Raja dianggap sebagai penjelmaan dari eksistensi kerajaan, dan rakyat hidup di bawah sang raja. Budaya politik inilah yang menjadi dasar dari pembentukan wacana intelektual Islam yang berkembang, yang di sini disebut sebagai “berorientasi-kerajaan”. Kehadiran Islam di dunia Melayu melahirkan proses reorientasi budaya politik pra-Islam. Dan dalam reorientasi inilah peran ulama bisa dijelaskan. Mereka menjadi aktor intelektual dalam penerjemahan Islam dalam kerangka budaya politik Melayu yang berorientasi raja.[1]  

 

2.    Domestfikasi Islam dalam Historisasi Islam Jawa

Masyarakat Jawa dikenal sebagai masyarakat yang memiliki eksotisasi mistik dibandingkan dengan daerah lain. Bahkan, berbagai studi literatur tentang Jawa dari masa kolonial pun penuh dengan pembahasan itu, yang telah mendarah daging sebagai mitos dan prasangka nyata di masyarakat luas. Sejatinya masyarakat Jawa telah memiliki budaya yang mapan dalam keagamaan dan peradaban. Seperti diketahui bahwa Jawa sebagai pusat warisan budaya agama Hindu dan Budha, maka tidak dapat disangkal bahwa peradaban Jawa terinspirasi dari warisan tersebut.

Masuknya Islam ke Jawa telah membuktikan terjadinya proses akomodasi antara budaya Islam dengan budaya setempat (budaya Jawa). Hal itu membuktikan pula bahwa Islam mampu berada dan berkembang dalam dimensi ruang yang baru dan berbeda, sehingga tidak monolitik Islam Arab sebagai asal-muasal perkembangan Islam. Bahkan, para Wali Songo juga melakukan akomodasi budaya Jawa dalam menyebarkan agama Islam untuk menarik simpatisasi masyarakat Jawa.

Ada yang menarik tentang masyarakat Islam Jawa, dimana masyarakat Jawa dilema untuk menjadi Muslim atau Jawa. Antara keduanya masyarakat Jawa tidak bisa melepaskannya, sehingga masyarakat Jawa harus tetap menjadi Jawa dengan identitas kemuslimannya. Terdapat dua proses didalamnya, yakni masyarakat Muslim asing yang menetap di Jawa, yang kemudian beradaptasi dengan budaya Jawa, serta masyarakat Jawa yang memeluk Islam, serta beradaptasi pula dengan budaya Islam.

Mengenai perkembangan Islam di Jawa tidak bisa dilepaskan dari aspek domestik setempat. Artinya, identitas Islam yang melekat, tetap menunjukkan sebagai Islam Jawa, karena menempati wilayah domestik Jawa. Terdapat sebuah teori “domestikasi Islam” yang dipopulerkan oleh Harry J. Benda pada tahun 1960-an. Gagasan teori ini didasarkan pada historisasi Islam di Jawa yang memiliki perkembangan selanjutnya pada abad ke-16 hingga abad ke-18, di mana pada saat itu terjadi perebutan kekuasaan antara kerajaan Muslim di wilayah pesisir yang diwakili Demak melawan kerajaan Mataram.

Kerajaan Muslim yang cenderung memiliki ortodoksi, dibanding kerajaan Mataram yang sinkretis menjadikan proses domestikasi semakin pelik. Dalam hal ini, perebutan kekuasaan dimenangkan oleh kelompok aristokrasi Jawa dari pihak Mataram. Yang kemudian kelompok aristoraksi Jawa melakukan gabungan kekuatan bersama kolonialisme Belanda.

Adanya kekuatan gabungan tersebut menjadikan politisasi Islam Jawa mengalami “mati suri”, atau dalam istilah Bahtiar Effendy (2009), disebut sebagai “pemandulan cengkraman politik Islam” sebagai esensi teori domestikasi. Hal ini menjadikan Islam terus mendapat tekanan dari pengaruh budaya penguasa. Domestikasi yang digagas Benda menunjukkan adanya perebutan kekuasaan unsur-unsur Islam dan non-Islam dalam masyarakat Jawa. Unsur non-Islam tersebut merupakan unsur ke-Jawa-an. Sebagaimana masa sebelumnya (masuknya Islam) pun Islam telah berada dalam “cengkraman budaya Jawa”, di mana Islam mau tidak mau harus melakukan akomodasi dengan budaya Jawa. [2]

 

3.    Islam dan Negara-Bangsa: Pembentukan Indonesia

Perdebatan domestifikasi negara Muslim tentang hubungan Islam dan negara berkembang sejalan dengan pembentukan Indonesia menjadi sebuah negara-bangsa. Polemik antara Muhammad Natsir dan Soekarno tentang Islam dan nasionalisme pada 1930-an merupakan satu contoh dari awal bergulirnya perdebatan.

Menyuarakan aspirasi kelompok Islam, Natsir merumuskan pergerakan kebangsaan Indonesia dalam terma-terma Islam. Dalam tulisan berseri pada Pandji Islam (1939), dia menekankan pentingnya Islam, agama mayoritas bangsa Indonesia, sebagai dasar utama bagi perjuangan. Dia menulis bahwa kepemimpinan hendaklah di tangan orang Islam, guna “mencapai cita-cita kesempurnaan berlakunya Islam untuk keselamatan kaum Muslimin khususnya dan keselamatan kaum bangsa umumnya”. Bagi Natsir, hal itu merupakan salah satu wujud dari apa yang disebutnya sebagai “cinta tanah air”, seraya berkata bahwa kaum Muslim tidak akan berhenti hanya pada keterlibatan dalam gerakan kebangsaan. Mereka akan terus berjuang menjadikan Islam sebagai dasar dan cita-cita dan akhirnya ideologi negara yang hendak dibangun, “selama negeri belum didasarkan dan diatur menurut susunan hukum kenegaraan Islam”.

Berbeda dengan Natsir, Soekarno yang mewakili kelompok netral agama justru menghendaki sebaliknya. Melalui sejumlah tulisannya, dia menghendaki pemisahan tegas antara agama dan negara. Dia berargumen, Islam tidak memberikan satu aturan spesifik dan baku menyangkut penerapan agama dalam kehidupan politik dan kenegaraan. Lebih dari itu, dia melihat paham kesatuan agama dan politik sebagai warisan kesalahpahaman tentang Islam, sebagai wujud pandangan kolot yang perlu ditafsirkan kembali. Oleh karena itu, lanjut Soekarno, tidak mengherankan jika kaum intelektual yang sangat akrab dengan ide kemajuan Barat modern menjadi terasing dari Islam. Prinsip kemerdekaan roh, akal, dan pengetahuan telah hilang dari pemikiran dan praktik kaum Muslim, termasuk Muslim di Indonesia. Atas dasar itu, usaha reformasi ajaran-ajaran Islam sehingga sesuai dengan kebutuhan modernitas menjadi tidak terelakkan.

Hal itu terus berlangsung dalam wacana politik, yang memuncak pada saat perumusan dasar negara Indonesia oleh BPUPKI (Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia) dan PPKI (Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia). Peristiwa tersebut terjadi dua bulan menjelang proklamasi kemerdekaan 17 Agustus 1945, tepatnya Juni 1945. Ketika anggota lembaga tersebut di atas bersidang untuk menentukan format negara Indonesia, tercapai kesepakatan bahwa umat Islam diberi kebebasan untuk melaksanakan ajaran-ajaran agamanya, yang kemudian tertuang dalam Piagam Jakarta. Namun dengan alasan yang tidak bisa diterima golongan Islam butir piagam Jakarta tersebut dihapus pada saat pengesahan dasar negara Pancasila pada 18 Agustus 1945. Dan peristiwa itulah yang kemudian menimbulkan rasa ketidakpuasan di kalangan Muslim.

Penghapusan butir dalam Piagam Jakarta itu atau juga disebut tujuh kata pada sila pertama Pancasila, “dengan kewajiban menjalankan syari’at Islam bagi pemeluknya” merupakan akar dari berbagai gerakan Islam di Indonesia. Kalangan Islam pada umumnya menganggap penghapusan ini merupakan pengkhianatan dan tidak sah, karena diputuskan tanpa meminta persetujuan umat Islam terlebih dahulu. Mereka menuntut agar Piagam Jakarta dikembalikan dan dijadikan kerangka acuan berbangsa dan bernegara. Dan tuntutan ini Islam sebagai dasar ideologi negara ini kemudian mewarnai tahap berikutnya hubungan Islam dan negara di Indonesia.

Gerakan Darul Islam (DI) tentu merupakan salah satu tuntutan menjadikan Islam sebagai dasar negara. Meskipun, perlu ditekankan, gerakan tersebut tumbuh lebih karena alasan-alasan lain yang akan dijelaskan, ketimbang kesadaran teologis-politis. Suasana Indonesia yang baru merdeka, di mana kekuasaan politik negara belum terkonsolidasi, merupakan satu aspek penting yang memberi sumbangan bagi munculnya gerakan DI.

Di Jawa Barat, gerakan DI muncul lebih disebabkan ketidaksetujuan Kartosuwiryo pemimpin DI atas cara yang ditempuh para pemimpin Republik Indonesia dalam mempertahankan diri dari pendudukan kembali oleh Belanda. Ia menolak Perjanjian Renville (1948) yang disetujui pemerintah Indonesia dan Belanda. Sebaliknya, ia menyerukan jihad melawan pendudukan kembali Belanda, dan memproklamirkan Negara Islam Indonesia (NII) pada 1948. Setahun kemudian, ketika suasana politik makin tidak menentu menyusul aksi polisionil Belanda kedua (1948), ia bahkan memproklamirkan NII dengan meliputi seluruh wilayah Indoneisa. Bersamaan dengan itu, dia juga membangun kekuatan militer melalui pembentukan Tentara Islam Indonesia (TII).

Sementara di Sulawesi Selatan, gerakan pemberontakan DI oleh Kahar Muzakkar mulanya lebih disebabkan kebijakan militer pemerintah pusat yang tidak menampung bekas tentara gerilyawan di wilayah tersebut dalam barisan Tentara Nasional Indonesia (TNI). Selang beberapa waktu kemudian, perlawanan militer ini menjadi gerakan pemisahan diri dari negara Indonesia. Kahar Muzakkar menjadi komandan TII untuk wilayah Sulawesi Selatan dan menjadi bagian dari NII-nya Kartosuwirjo di Jawa Barat. Dan lemahnya kontrol politik pemerintah Indonesia pusat juga kemudian mendorong Daud Beureueh untuk melakukan gerakan DI di Aceh pada 1953, dengan agenda utama pemisahan Aceh dari negara Indonesia. Seperti halnya Kartosuwiryo di Jawa Barat, dia juga mengagendakan pendirian Negara Islam di Aceh.

Tumbuh dalam suasana demikian, gerakan DI meski jelas mengagendakan negara Islam tidak mendapat dukungan Muslim Indonesia secara berarti. Dan DI tampil lebih sebagai gerakan pemberontakan, yang tidak memiliki dampak berarti dalam perkembangan wacana politik tentang Islam dan negara. Tuntutan untuk menjadikan Islam sebagai dasar ideologi negara justru berkembang di Majelis Konstituante (1956-1959). Perolehan kursi partai Islam di parlemen hasil Pemilu 1955, sebanyak 114 dari 257 atau 43,5%, membuat aspirasi partai Islam diwakili Masyumi, NU, PSII dan Persti untuk menjadikan Islam sebagai ideologi negara sulit. Mereka dihadapkan pada jumlah anggota partai sekuler, yang tentu saja menolak aspirasi mereka. Karena itu, perdebatan berlangsung demikian intensif. Dan hubungan Islam dan negara muncul kembali menjadi salah satu isu politik. Dalam hal ini, perdebatan terfokus tentang dasar negara. Pancasila, yang sebelumnya dianggap para pemimpin Islam sebagai simbol di mana mereka dapat memberikan persetujuan politik, telah berubah menjadi “milik kelompok yang anti Muslim.

Demikianlah, Majelis Konstituante menjadi ajang perdebatan dua kelompok yang menghendaki corak ideologi berbeda. Kelompok Islam sebagian didorong oleh kewajiban transendental menghadirkan watak holistik Islam ke dalam realitas Indonesia mendesak menjadikan Islam sebagai dasar negara. Dan perdebatan inilah yang menjadi perhatian utama, mengalahkan keberhasilan mereka di bidang-bidang lain yang menjadi tugas utama Majelis, seperti ketetapan seputar masalah hak-hak asasi manusia, prinsip-prinsip kebijakan negara dan bentuk pemerintahan. Bahkan, perdebatan tersebut tidak mengenal kompromi dan sangat panas.

Kelompok Islam mengedepankan sejumlah argumen untuk menujukkan bahwa Islam memang sangat beralasan menjadi dasar negara, yakni (1) watak holistik ajaran Islam, yang meliputi baik masalah agama dan politik; (2) keunggulan Islam di atas semua ideologi lain di dunia; dan (3) kenyataan bahwa Islam menjadi agama mayoritas penduduk Indonesia. Dipimpin Muhammad Natsir, Kasman Singodimejo, Zaneal Abidin, Isha Anshari, KH Masykur, kelompok Islam kokoh mempertahankan watak Islam yang holistik. Karena itu, bagi mereka, negara harus tunduk di bawah terma-terma Islam. Dan atas dasar itulah, mereka memandang Pancasila sebagai ideologi sekuler (ladiniyah), tanpa sumber-sumber keagamaan yang pasti. Meski sila pertama mengakui pentingnya kepercayaan kepada satu Tuhan, ia dirumuskan lebih didasarkan pada keharusan sosiologis, bukan keilahian. Dengan ungkapan lain, hal itu merupakan konsepsi manusia mengenai Tuhan, dan karenanya dapat berubah sesuai konteksnya. Lebih tegasnya, Pancasila dilihat sebagai berwatak netral, tanpa nilai-nilai keagamaan di dalamnya.[3]

 

C.      KESIMPULAN

Proses domestifikasi dan juga kontekstualisasi dalam kisah perjalanan sejarah Islam Indonesia dilalui dengan kisah perjalanan yang sangat panjang. Dimana Islam menjadi bagian dari wacana yang hidup di tengah masyarakat. Sementara masyarakat Islam Indonesia yang diidentikkan dengan masyarakat yang toleran, harmonis, mempunyai solidaritas yang tinggi, dan tidak terlalu memedulikan formalisme syariah Islam.

Para sufisme menjadi satu unsur penting dalam sejarah Islam Indonesia. Ia telah berjasa menjadikan Islam memiliki daya lentur dan tingkat adaptasi yang tinggi terhadap pencucian jiwa dan menjernihkan akhlak, lalu berkembang menjadi pentingnya ajaran Islam dalam praktik politik kerajaan. Hal ini kemudian menjadi polemik antara hubungan Islam dengan negara-bangsa. Kaum muslim Ulama menginginkan pembentukan Indonesia berdasarkan syari’ah dan kelompok lain menghendaki pemisahan antara negara dan agama. Alhasil muncul gerakan-gerakan pemurnian Islam walapun tak dapat menghasilkan suatu apapun. Masyarakat Islam Indonesia yang diidentikkan dengan masyarakat yang toleran, harmonis, mempunyai solidaritas yang tinggi, dan tidak terlalu memedulikan formalisme syariah.

 

REFERENSI

Abdullah, Taufik dan Endjat Djaenuderadjat. 2015. Sejarah Kebudayaan Islam Jilid 2: Tradisi, Intelektual, dan Sosial. Jakarta: Direktorat Jenderal Kebudayaan, Kemendikbud RI.

Effendi, Bahtiar. 2011. Islam dan Negara; Transformasi Gagasan dan Praktik Politik Islam di Indonesia. Jakarta: Democrasy Project



[1] Taufik Abdullah dan Endjat Djaenuderadjat, Sejarah Kebudayaan Islam Jilid 2: Tradisi, Intelektual, dan Sosial, (Jakarta: Direktorat Jenderal Kebudayaan, Kemendikbud RI, 2015), hlm. 293-299.

[2] Bahtiar Effendi, Islam dan Negara; Transformasi Gagasan dan Praktik Politik Islam di Indonesia, (Jakarta: Democrasy Project, 2011), hlm. 31-34.

[3] Taufik Abdullah dan Endjat Djaenuderadjat, Op.cit., hlm. 300-303.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

POSTINGAN TERBARU

Gedung Museum Subkoss terbaru 2024

 

POSTINGAN POPULER