Pada saat-saat menjelang Perang Kemerdekaan II pada tahun 1948, seluruh
unsur militer TNI dan badan-badan perjuangan sangat perlu melakukan penambahan
pasukan. Dan tidak kalah penting ialah usaha untuk memperoleh persenjataan guna
mendukung kekuatan tempur pasukan tentara RI dalam menghadapi musuh yaitu
Belanda. Mengingat Belanda sangat gencar terus merongrong kedaulatan Indonesia
yang telah merdeka dengan terus memperkuat kedudukannya untuk menguasai kembali
bekas tanah jajahannya yakni Hindia Belanda.
Usaha untuk mendapat senjata sangatlah sulit dan beresiko, terutama
saat mendatangkan senjata dari luar negeri. Hal ini disebabkan bahwa angkatan
laut Belanda memperketat pengawasan dengan memblokade pelaut-pelaut pejuang
Indonesia hampir di seluruh perairan Indonesia. Walaupun sedang gencarnya
blokade Belanda, para pelaut-pelaut Indonesia tidak henti-hentinya terus
mencoba menerobos blokade Belanda untuk mengusahakan supply senjata dari Singapura yang akan dipergunakan untuk
perjuangan khususnya di Sumatera bagian Selatan. Namun senjata yang diselundup
tidaklah banyak, hanya beberapa pucuk saja.
Supply senjata dari luar negeri yang penuh tantangan dan berbahaya ini
tidak dapat sepenuhnya menjadi andalan guna mencukupi kebutuhan senjata pasukan
RI terutama di Sumatera bagian Selatan yang dipertahankan oleh pasukan Sub
Komandemen Sumatera Selatan (SUBKOSS) yang dipimpin Kolonel Maludin Simbolon.
Sehingga mau tidak mau, supply senjata buatan dalam negeri harus dilakukan
sendiri. Oleh karena itu, perlu didirikan pabrik senjata. Ketika markas SUBKOSS
telah berada di Lubuklinggau sejak bulan Juli 1947, pabrik senjata didirikan di
Lubuklinggau di bawah pimpinan Letkol Atmo Wiryono dan Mayor Darko. Keduanya
merupakan bagian dari struktur SUBKOSS bagian persenjataan. Pabrik senjata ini
sangatah sederhana. Pembuatannya dari bahan dan peralatan serba buatan sendiri
layaknya bangsal pandai besi.
Alamsyah (1987:138) dalam bukunya menceritakan bahwa sebelum
perundingan Renville antara RI dan Belanda, telah mencoba membuat berbagai
macam senjata dan amunisi, maka sesudah perundingan Renville, pembuatan senjata
dan amunisi ditingkatkan lagi, dengan peningkatan kualitas dan dibuat dengan
sangat berhati-hati. Hal ini dengan maksud agar jangan sampai terjadi
kecelakaan yang menimpa anggota tentara, seperti yang pernah terjadi pada
Letkol Atmo Wiryono yang tewas karena terkena ledakan mortir buatan sendiri.
Pabrik senjata yang agak maju menurut ukuran saat itu berada di Gunung Meraksa,
Lampung dibawah pimpinan Kapten Margono. Senjata yang dibuat benar-benar apa
adanya, kendati untuk membuat mortir cukup dari potongan pipa tiang telepon dan
tiang listrik, demikian juga membuat senjata kecepek. Amunisi dan bahan peledak
sederhana telah diperbaiki mutunya, sehingga kemungkinan menimbulkan korban
dapat dikurangi. Hal ini akan meninggikan semangat para tentara yang akan
menggunakan senjata tersebut pada setiap front pertempuran. Pabrik senjata
seperti di Gunung Meraksa juga terdapat di Lubuklinggau, yang dipimpin oleh
Mayor Darko. Pabrik di Lubuklinggau juga membuat senjata-senjata sederhana
seperti yang diproduksi di Lampung tadi.
Dalam buku Noor Johan Nuh (2019:107), putra dari pejuang Kolonel
Muhammad Nuh yang berasal dari Dusun Merapi di Lahat ini menceritakan bahwa
awal perjuangan dari Atmo Wiryono dimulai dari pekerjaannya di Tambang Batu
Bara Ombilin di Sawahlunto, Sumatera Barat. Ia sangat ahli dalam bidang teknik
dan bahan peledak. Ia sangat ingin masuk tentara untuk menyumbangkan
keahliannya terutama dalam memperbaiki senjata-senjata yang rusak yang ada di
Sumatera Barat sesuai dengan keahliannya, sekaligus mampu membuat senjata yang
dibutuhkan tentara. Keahliannya ini termonitor oleh Komandemen Sumatera yang
bermarkas di Bukit Tinggi. Maka panglima Komandemen Sumatera yaitu Mayjend.
Suhardjo Hardjowardoyo menetapkannya untuk membantu markas komandemen.
Mengetahui keahlian Atmo, kepala staf Komandemen Sumatera yaitu Kolonel
Muhammad Nuh mengusulkan agar Atmo Wiryono dipindahkan dari Tambang Batu Bara
Ombilin menuju Tambang Batu Bara di Tanjung Enim. Karena Kolonel Muhammad Nuh
tau persis bahwa ditempat itu masih banyak tersedia bahan-bahan yang bisa
dijadikan dinamit, apalagi di Lahat juga tersedia bengkel kereta api yang tentu
saja peralatan di bengkel itu sangat dibutuhkan untuk memperbaiki dan membuat
senjata.
Usul Kolonel Muhammad Nuh ini disetujui oleh Panglima Komandemen
Sumatera, lalu Atmo kemudian dipindahkan ke Lahat untuk tugas memperbaiki
senjata-senjata yang rusak, merawatnya, dan membuat senjata-senjata baru bagi
kepentingan tentara. Dengan demikian, Atmo Wiryono yang ditugasi mengkoordinir
pekerjaan itu yang diberi pangkat Letnan Kolonel, dan masuk dalam struktur
Divisi I Lahat/Sumsel di bawah Komandemen Sumatera. Menariknya, Divisi I
Lahat/Sumsel ini dipimpin oleh Kolonel Maludin Simbolon tahun 1945-1946.
Sehingga pada saat Kolonel Maludin Simbolon menjadi Panglima SUBKOSS di
Lubuklinggau tahun 1947-1948, Letkol Atmo Wiryono menjadi Kepala Bagian
Persenjataan dalam struktur SUBKOSS.
Dalam keterangan Abi Hasan Said (1990) yang juga sebagai teman semasa perjuangan Letkol Atmo Wiryono, dalam arsip wawancaranya mengatakan bahwa pasukan SUBKOSS (Sub Komandemen Sumatera Selatan) kala itu mengadakan latihan militer dan sangat berkesan karena dilatih oleh Letkol Atmo Wiryono. Latihan ini memiliki tugas rahasia untuk menyerang Belanda di Lahat dengan mendatangkan senjata dari Komandemen Sumatera bermarkas di Bukit Tinggi berupa Mortir. Jadi latihan ini dilakukan bagaimana cara menggunakan mortir tersebut. Sampai pada ujicoba senjata mortir dengan menggunakan peluru yang pelaksanaannya di daerah Mesat yang dipimpin Letkol Atmo Wiryono, didampingi Kolonel Hasan Kasim, Kapten JM. Pattiasina, dan Kapten Abi Hasan Said sendiri. Tugas untuk ujicoba senjata tersebut akan dilakukan sendiri oleh Abi Hasan Said, namun Letkol Atmo melarangnya. Tugas ujicoba itu haruslah pasukan yang akan melaksanakan penyerangan tersebut. Namun terjadilah suatu kecelakaan, peluru mortir meledak saat masih berada dalam lube. Sehingga Letkol Atmo Wiryono meninggal dengan keadaan yang tubuhnya hancur dan uratnya putus, bersama dengan 3 orang prajuritnya (salah satunya bernama Hasballah). Setelah diperiksa lebih lanjut, bahwa mortir tersebut tidak asli. Lube terbuat dari bekas tiang listrik, namun pelurunya asli. Meledaknya mortir ini akibat kebocoran pada lube tersebut. Alhasil, rencana menyerang Belanda di Lahat terpaksa dibatalkan.
Tentu saja peristiwa ini menjadi kenyataan yang tidak bisa dihindari oleh Kapten Abi Hasan Said ketika Letkol Atmo Wiryono harus meregang nyawa. Letkol Atmo Wiryono menghembuskan nafas terakhir dipangkuannya. Pesan terakhirnya hanya ada alamat dan foto keluarga yang terdapat dalam dompet untuk dikirim pada keluarganya agar mengetahui bahwa ia telah meninggal dunia. Hal ini patut dijadikan pelajaran bagaimana sikap patriotisme seorang Letkol Atmo Wiryono yang betul-betul militer secara lahir dan bathin.
Menurut Suwandi (2005:17-18) menjelaskan bahwa Letkol Atmo Wiryono
dimakamkan di pemakaman yang pada masa itu berada di belakang Rumah Sakit Umum
(sekarang RSUD Sobirin). Namun pada saat Makam Pahlawan dipindahkan tahun 1972
ke Taman Makam Pahlawan Patria Bukit Sulap pada masa Bupati Musi Rawas, Muchtar
Aman. Penjelasan dari Abd. Aziz Maaruf (1989:23) mengatakan bahwa kerangka
tulang Letkol Atmo Wiryono telah terlebih dahulu dipindahkan ke Palembang sejak
tahun 1952, bersama dengan kerangka tulang anak buahnya yaitu Kopral Muhtar dan
Kopral Makruf.
Makanya, kerangka tulang dari makam Letkol Atmo Wiryono tidak terdapat di
Taman Makam Pahlawan Patria Bukit Sulap. Kemudian untuk mengenang perjuangan
beliau, nama Letkol Atmo telah diabadikan menjadi nama jalan baik di Kota
Lubuklinggau dan juga di Kota Palembang. Termasuk nama Kopral Makruf juga
diabadikan sebuah nama jalan kecil di Kota Lubuklinggau, namun nama Kopral
Muhtar yang pernah dijadikan nama jalan kecil, saat ini telah berganti menjadi
Jln. Hujan Gerimis.
Berdasarkan penjelasan di atas, sekaligus untuk meluruskan sejarah yang
telah berkembang sejak tahun 2000-an bahwa monumen yang terletak di dekat rel
kereta api di Jalan Garuda di Kota Lubuklinggau ‘bukanlah’ monumen untuk mengenang Letkol Atmo Wiryono, melainkan
itu adalah Monumen Perjuangan Rakyat Musi Ulu Rawas untuk mengenang peristiwa
pada tanggal 30 Desember 1945 dalam pertempuran melawan pasukan Jepang untuk
direbut senjatanya oleh pasukan Musi Ulu Rawas beserta pasukan Suku Anak Dalam
dari Rawas Ulu.
Namun ada sumber lain yang membahas asal-usul Letkol Atmo Wiryono,
tetapi sangat berbeda dari penjelasan yang telah diuraikan di atas. Perihal
gugurnya Letkol Atmo Wiryono di Lubuklinggau, semua sumber mengatakan sama
bahwa beliau meninggal di Lubuklinggau tepatnya di Mesat. Apalagi beliau adalah
pendatang yang berasal dari Jawa dan bertugas di wilayah Sumatera Selatan pada
masa perjuangan revolusi fisik mempertahankan kemerdekaan tahun 1945-1949.
Sumber tersebut ialah buku Sainan Sagiman (1988:31), yang juga teman
seperjuangannya, diterangkan bahwa Atmo Wiryono adalah seorang perwira pasukan
Legiun Mangkunegaraan (Solo), juga lulusan Sekolah Militer di Breda. Selama
periode perang kemerdekaan I, Letkol Atmo Wiryono, Letkol Zainal Abidin Ning,
dan Mayor Kiswoto memimpin front Sukarame, disertai juga Lettu Sainan Sagiman
sebagai komandan C.I. yang bergerilya sekitar Lahat, Pagaralam dan Tebing
Tinggi. Mereka sering tidur di rel kereta api, supaya tidak disergap oleh
Belanda pada malam hari. Atmowiryono selalu memakai sarung, berjas militer,
bersepatu karet seperti sepatu kebun, dan selalu open cap, tidak bertopi. Bentuk tubuhnya kecil berkulit hitam,
ringkih, dan tidak kekar. Saat bergabung dengan Sub Komandemen Sumatera Selatan
(SUBKOSS) di Lubuklinggau, beliau tewas ketika sedang mencoba sebuah mortir
buatan sendiri, kiriman dari Sawahlunto. Mortir ini meledak, ketika Atmo
Wiryono mencoba menembakkannya.
Berbicara mengenai Legiun Mangkunegaraan, maka perlu diketahui terlebih
dahulu sejarah dari keraton Mangkunegaraan di Surakarta. Dalam buku ‘Sejarah
Tentara’ Petrik Matanasi (2011:29) menjelaskan bahwa Legiun Mangkunegara ini
merupakan pasukan yang dibentuk tahun 1808 sebagai lanjutan dari pasukan
Pangeran Mangkunegoro I dan masih dipertahankan ketika pangeran itu
menghentikan perlawanan terhadap VOC. Setelah pangeran itu meninggal, anggota
pasukan yang asli dibubarkan dan diganti. Kekuatan pasukan ini pernah mencapai
3 batalion, komandan pasukan itu diberi pangkat Letnan Kolonel atau Kolonel. Umunnya
perwira Legiun Mangkunegara berasal dari bangsawan dan priyayi Keraton
Mangkunegara Surakarta. Pasukan-pasukan pribumi ini masih meneruskan sebagian
tradisi militer Indonesia asli, walaupun sedikit terpengaruh oleh tradisi
militer Barat KNIL yang dibawa Belanda. Dalam pasukan itu, jumlah perwira
keraton jelas lebih banyak dan kebanyakan masih menjaga tradisi asal dibanding
perwira pribumi yang aktif dalam dinas militer KNIL.
Dari pernyataan di atas, asal usul dari Letkol Atmo Wiryono adalah
seorang perwira pasukan Legiun Mangkunegaraan yang disebutkan dalam buku Sainan
Sagiman (1988:31) bisa saja terjadi. Namun sumber-sumber yang penulis himpun tidak
terdapat penjelasan bagaimana Letkol Atmo Wiryono pergi meninggalkan keraton
Mangkunegara menuju Pulau Sumatera. Maka hingga saat ini kisahnya masih menjadi
misteri.
Lain halnya seperti Mayor Jenderal Suhardjo Hardjowardoyo yang menjadi
panglima Komandemen Sumatera, beliau juga salah satu tokoh perwira Legium
Mangkunegaraan, namun akhirnya hijrah ke Tanjung Karang, Lampung dengan alasan
memiliki masalah perdata terkait pemalsuan yang juga melibatkan Liem Tjiem
Goen. Sehingga di Lampung, Raden Suhardjo lantas bekerja sebagai perwira
kepolisian sampai masa pendudukan Jepang. Hingga pada akhirnya menjadi Kepala
Polisi di Lampung pasca proklamasi kemerdekaan, hingga bergabung Tentara
Keamanan Rakyat (TKR) menjadi panglima Komandemen Sumatera yang diputuskan oleh
dr. AK. Gani sebagai koordinator/organisator pembentukan TKR Sumatera (Artikel
di Tirto.id terbit 08 Juli 2021 berjudul ‘Di
Lampung, perwira TKR saling cakar karena saling tidak percaya’ ditulis
Petrik Matanasi).
Referensi:
1.
Arsip Wawancara Abi Hasan Said tahun 1990 dari Museum
Perjuangan Subkoss Garuda Sriwijaya.
2.
Buku “Perjuangan
Kemerdekaan di Sumatera Bagian Selatan 1945-1949” ditulis oleh H. Alamsyah
Ratu Perwiranegara tahun 1987.
3.
Buku “Sekelumit
Sejarah Perjuangan Subkoss Garuda Sriwijaya Sumatera bagian Selatan”
ditulis oleh H. Abd. Aziz Maaruf tahun 1989.
4.
Buku “Sekilas
tentang Hidup dan Pengabdian H. Sainan Sagiman” disusun oleh Djazari
Mansyur dan Amin Sarwoko tahun 1988.
5.
Buku “Sejarah
Tentara” ditulis oleh Petrik Matanasi tahun 2011.
6.
Buku “6 Suara
untuk Pak Dirman; Kolonel Muhammad Nuh Kepala Staf Komandemen Sumatera Penentu
Kolonel Sudirman menjadi Panglima Besar TKR” ditulis oleh Noor Johan Nuh
tahun 2019.
7.
Buku “Monumen
Letkol Atmo” ditulis oleh Suwandi Syam tahun 2005.
8.
Website “Tirto.id”
oleh Petrik Matanasi tahun 2021.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar