Oleh Berlian Susetyo*
Pada awalnya orang-orang
Belanda tidak terlalu menaruh perhatian besar terhadap kelapa sawit. Mereka
lebih mengenal minyak kelapa. Namun, seiring revolusi industri (1750–1850) yang
terjadi di Eropa, mendorong terjadinya lonjakan permintaan terhadap minyak. Hal
ini mendorong pemerintahan Hindia Belanda mencoba melakukan penanaman kelapa
sawit di beberapa tempat.
Kelapa Sawit (Elaeis
guineensis) bukan tanaman asli Indonesia. Tanaman ini merupakan tanaman
asli dari Afrika Barat dan Afrika Tengah. Di Indonesia, sejarah
kelapa sawit berawal dari empat biji kelapa sawit yang dibawa oleh Dr. D. T.
Pryce, masing-masing dua benih dari Bourbon, Mauritius dan dua benih lainnya
berasal dari Hortus Botanicus, Amsterdam, Belanda, pada tahun 1848.
Keempat biji kelapa sawit itu kemudian ditanam di Kebun Raya Bogor dan ternyata berhasil
tumbuh dengan subur. Setelah berbuah, biji-biji dari induk kelapa sawit
tersebut disebar ke Sumatera (Sejarah
Kelapa Sawit di Indonesia pada id.wikipedia.org).
Pulau Sumatera, terutama di wilayah Palembang
tepatnya di kawasan Uluan memiliki tanah subur dan penduduk yang makmur.
Kekayaan yang terkandung di tanah digunakan untuk mendatangkan kesejahteraan
besar, bukan hanya bagi kolonial Belanda, tetapi juga masyarakat lokal.
Sehingga Palembang berkembang menjadi wingewesten (daerah dengan
keuntungan) bagi kas Belanda selama periode abad ke-20. Para pendatang menyerbu
dan mengadu nasib untuk mengejar keuntungan ekonomi dengan membuka berbagai
macam usaha salah satunya perkebunan, baik perseorangan maupun korporasi.
Sebuah arsip Belanda yang ditulis Hunger dalam buku De Oliepalm (Elaeis
Guineensis) Historisch Onderzoek Over Den Oliepalm in Nederlandsch-Indie (1924:171-172)
menuturkan bahwa penanaman kepala sawit di wilayah Karesidenan Palembang
pertama kali diujicobakan di Muara Enim (Lematang Ilir) tahun 1869 yang
memiliki 258 pohon, 140 diantaranya telah berbuah, bertambah lagi 53 pohon yang
menghasilkan buah. Penanaman itu diminati, meskipun ada dukungan dari
pemerintah namun tidak mendapat dukungan dari penduduk. Sehingga penanaman
sawit diujicobakan disana sini seperti di Moesi
Oeloe (Musi Rawas) tahun 1870, tetapi sedikit mendapat dukungan, dan juga
ada sanksi yang jatuhkan oleh pemerintah. Kemudian percobaan juga dilakukan di
Banyuasin (Pangkalan Balai), tampak tidak tumbuh subur, juga jumlahnya terlalu
kecil. Dilakukan ujicoba di Belitung tahun 1890, akan tetapi, hasilnya belum
begitu baik disebabkan faktor iklim masih kurang sesuai untuk pertumbuhan
kepala sawit. Serta ujicoba penanaman juga dilakukan di Ogan, Komering dan
Blida tahun 1896, sangat berhasil dan pohon-pohon tampak bagus. Kepala sawit
disini semua orang telah mengetahui dan dibudidayakan, apalagi penduduk disana
menyukai minyak kelapa.
Namun setelah kehadiran
perusahaan-perusahaan perkebunan asing juga didorong oleh pemberlakuan UU
Agraria (Agrarisch Wet) oleh
pemerintah Hindia Belanda pada tahun 1870. Undang-undang ini memberikan konsesi
berupa hak guna usaha (erfpacht) kepada
para pemodal asing. Sehingga orang-orang Eropa
berdatangan mencari keuntungan sebanyak-banyaknya ditampung oleh instansi, baik
partikelir dan non-partikelir. Mereka menguasai sektor padat modal di bidang
perkebunan besar, terutama karet dan kelapa sawit. Oedjan mas berdampak
sangat besar bagi penduduk lokal pribumi ketika mengalihkan tanaman substansi
masa kesultanan menjadi tanaman komersial ekspor yang diperkenalkan kolonial
Belanda.
Seiring dengan berkembangnya revolusi
industri, maka permintaan minyak nabati dari hasil pengolahan kepala sawit
semakin melonjak dan meningkat, sehingga menjadi kepentingan dagang yang mulai
menjamur di tanah Sumatera. Dalam lembaran surat kabar ‘Deli Courant no.
181’ tertanggal 8 Agustus 1926, juga disampaikan bahwa budidaya kepala
sawit menawarkan prosfek yang baik, yang menurut Vester akan dioptimalkan,
sebab penggunaan minyak nabati sebagai bahan baku pembuatan lemak nabati terus
meningkat. Dan sebuah pabrik sekarang sedang dibangun, sebuah perusahaan Taba
Pingin, bahan-bahannya akan dipasok oleh industri Belanda. Namun
kesulitan-kesulitan transportasi masih tetap menjadi hambatan besar bagi
perkembangan industri yang sangat pesat, tetapi pada waktunya hal ini juga akan
teratasi. Meskipun begitu, penulis (Berlian Susetyo dan Ravico) katakan dalam Perekonomian Masyarakat Onder Afdeeling
Moesi Oeloe Tahun 1900-1942 (2021) bahwa, “Kolonial Belanda telah
merencanakan pembangunan jalur kereta api untuk wilayah Palembang dengan rute
Kertapati menuju Lubuklinggau sebagai sarana transportasi alat angkut hasil
perekonomian perkebunan dan pertanian (hlm. 23)”.
Pembukaan perkebunan kepala sawit pertama
kali dibuka tahun 1911 oleh perusahaan A. Hallet asal Belgia serta K. Schadt di
Deli (Sumatera Utara) dan Sungai Liat (Aceh) melalui perusahaan Sungai Liput
Cultuur Maatschappij dengan luas lahan 5.123 Ha. Salah satu perkebunan
karet terbesar di masa kolonial Belanda di Pulau Sumatera. Kemudian perkebunan
kepala sawit juga tersebar di wilayah Palembang, salah satunya di Onder
Afdeeling Moesi Oeloe yang penanaman dan pengelolaannya digagas oleh
kolonial Belanda. Nama perusahaan yang mengurusnya ialah Onderneming Taba
Pingin Loeboeklinggau Nv memiliki andil besar dalam memenuhi kebutuhan
minyak kelapa sawit di Karesidenan Palembang.
Dalam surat kabar ‘Deli Courant no. 229’ tertanggal 3 Oktober 1922, diungkapkan bahwa ekspansi bertahap mulai dibuka dengan pembangunan perusahaan di wilayah Palembang, yakni di daerah Moesi Oeloe dengan perusahaan kepala sawit (oliepalm-onderneming) Taba Pingin dan perusahaan karet (rubber-onderneming) Air Temam. Senada yang disampaikan di atas, penjelasan dalam surat kabar ‘De Locomotief no. 166’ tertanggal 27 Juli 1921, juga menyampaikan bahwa kepala sawit di tanam di Taba Pingin dan karet di tanam di Air Temam.
Dalam arsip Memorie van Overgave van het Bestuur der Onderafdeeling Moesi Oeloe
(1927:27) ditulis H. Hahman bahwa perusahaan kelapa sawit Taba Pingin mulai
dibuka tahun 1919, tetapi pada masa malaise barulah dimulai kontruksi
pabrik minyak bisa dibangun tahun 1926. Perusahaan ini memiliki 4500 bouws,
total penanaman 880 bouws, tanaman yang produktif 880 bouws.
Kemudian memiliki jumlah karyawan Eropa termasuk administrator 4 orang, kuli
kontrak 202 orang, dan kuli bebas 25 orang. Pengangkutan material, khususnya
instalasi berat yang dipasok De Etna Nv sangat sulit yang menyebabkan
pabrik minyak yang biaya konstruksinya lebih dari f.150.000, tidak
sampai bulan September 1927 selesai. Oleh karena itu, produksi minyak dapat
dimulai. Penanamannya dalam kondisi baik, sehingga dengan harapan Onderneming Taba Pingin akan tumbuh
menjadi perusahaan kelapa sawit yang menguntungkan dapat dibenarkan secara sah,
yang letaknya 16 km dari Muara Beliti menuju jalan utama ke Bengkulu.
Taba Pingin merupakan salah satu perusahaan Land-Syndicaat
Hindia Belanda di bawah pemerintahan Onder Afdeeling Moesi Oeloe.
Proses penanamannya ialah sebagai berikut:
Tahun |
Luas
(dalam Ha) |
Jumlah
Kepala Sawit |
1920 |
295 |
31.800 |
1921 |
213 |
20.840 |
1922 |
65 |
6.759 |
Total |
573 |
59.399 |
Sumber: Hunger, 1924
Akan tetapi, tak ada ekspansi lebih lanjut
setelah tahun 1922. Namun perusahaan kelapa sawit Taba Pingin ini disatukan di
bawah satu administrasi dengan perusahaan karet Air Temam Nv dari perusahaan yang sama. Sehingga keberadaan kedua onderneming
ini tidak bisa saling terpisahkan satu sama lain.
Baru-baru ini, penulis bersama tim melakukan penelusuran terhadap sisa-sisa jejak sejarah yang ditinggalkan oleh Onderneming Taba Pingin Nv ini yang berada di Air Kati, tepatnya di kawasan perkebunan (sekarang menjadi perkebunan karet), dan juga Rahma, Kecamatan Lubuklinggau Selatan I. Kami menemukan beberapa buah tiang pancang jembatan lori (kereta api kecil) yang dijadikan sebagai jalur angkutan hasil buah kelapa sawit. Setelah dilakukan penelusuran, bahwa jembatan lori ini dibuat agar jalur lori ini bisa melintasi sungai dan beberapa tanah yang curam berupa tebing, karena keadaan konstruksi tanah disana tidak rata. Jalur lori ini dimulai dari kawasan perkebunan di Air Kati sampai ke Rahma, berdasarkan tiang pancang jembatan yang masih tersisa. Bahkan jalur lori ini masih terlihat karena telah dijadikan jalan perkebunan oleh masyarakat, hanya saja rel lori sudah tidak ditemukan lagi.
Dalam lembaran surat kabar ‘Deli Courant no. 257’ tertanggal 4 November 1936, seorang bernama F.H. van de Meer beserta keluarga ingin meninggalkan Palembang lalu menuju Eropa. Akan tetapi, ia ditunjuk sebagai administrator perusahaan kelapa sawit Taba Pingin di Lubuklinggau dari perusahaan kolonial Belanda. Pada tahun 1918, van de Meer bertugas selama beberapa tahun di wilayah pantai Timur Sumatera. Kemudian de Meer dipindahkan dari perusahaan di Betung sebagai tempat ia bekerja pada tahun 1932 ke Taba Pingin. Niat awalnya de Meer hanya sementara di Palembang untuk membantu perusahaan yang sempat agak terbengkalai setelah kematian administrator sebelumnya, H.C.F. Seemann yang meninggal dalam kecelakaan mobil. Beliau menangani semuanya dengan kepuasan penuh dari manajemen dan perusahaan berjalan sangat baik. De Meer berada di Taba Pingin selama hampir empat tahun. Perkebunan yang memiliki ukuran 1.813 Ha ini memiliki banyak lahan perkebunan, dan produksinya sangat bagus. Kemudian selama empat tahun terakhir diputuskan untuk membangun pabrik yang besar, sementara terdapat rencana yang cukup maju untuk memperluas lahan perkebunan di masa mendatang. Setelah itu, van de Meer digantikan W.L. Eussen yang juga dari pantai Timur.
Selengkapnya bisa dibaca di buku “Musi Ulu Rawas dalam Kajian Sejarah Lokal” di Museum Perjuangan Subkoss Garuda Sriwijaya, Lubuklinggau. Dan dalam Jurnal saya di bawah ini:
https://journal3.uin-alauddin.ac.id/index.php/rihlah/article/view/23250
*
Penulis kini aktif sebagai Edukator serta Staf Koleksi dan Konservasi di Museum
Perjuangan Subkoss Garuda Sriwijaya. Beberapa tulisannya telah dimuat dalam bentuk
buku diantaranya: “Sejarah Lubuklinggau dari Masa Kolonial hingga Kemerdekaan”
di tahun 2021 (ber-ISBN), lalu “Musi Ulu Rawas dalam Kajian Sejarah Lokal” di tahun
2022 (ber-ISBN), kemudian telah merampungkan buku “Arsip Kolonial Hindia
Belanda Kawasan Palembangsche Bovenlanden (Lubuklinggau dan sekitarnya)” di
tahun 2022 (ber-ISBN).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar