BAB
II
PEMBAHASAN
MATERI
A.
Perkembangan
Emosi
Kehidupan seseorang pada umumnya penuh dengan
dorongan dan minat untuk mencapai atau memiliki sesuatu. Seberapa banyak
dorongan-dorongan dan minat-minat yang dimilikinya merupakan dasar pengalaman
emosionalnya. Perjalanan kehidupan seseorang tidak selalu sama. Keinginan dan
minat yang berbeda-beda dimiliki oleh setiap individu menurut pola hidupnya
masing-masing. Selain itu juga jalan atau cara yang dilakukan untuk mewujudkan
minat dan keinginan yang didorong oleh emosional itu berbeda satu sama lain.
Seseorang yang pola kehidupannya berlangsung
mulus, di mana dorongan-dorongan dan keinginan-keinginan atau minatnya dapat
terpenuhi atau dapat berhasil dicapai, ia cenderung memiliki perkembangan emosi
yang stabil dan dengan demikian dapat menikmati hidupnya. Hal itu juga didukung
dengan nilai, sikap dan moral yang ke arah positif. Sedangkan bagi pola
kehidupan yang tidak berlangsung dengan mulus atau terdapat hambatan yang
membuatnya tidak terlalu menikmati hidupnya, karena emosionalnya tidak stabil.
Sehingga nilai, moral dan sikapnya terkadang cenderung ke arah negatif.
Hubungan antara emosional dengan nilai, moral
dan sikap adalah dorongan emosional dapat mempengaruhi pemikiran-pemikiran dan
tingkah lakunya. Karena itu, seseorang
individu dalam merespon sesuatu lebih banyak dia arahkan oleh penalaran
dan pertimbangan-pertimbangan yang objektif.
1. Pengertian Emosi
Perasaan senang atau tidak senang yang selalu
menyertai perbuatan-perbuatan kita sehari-hari disebut warna afektif. Warna
afektif ini kadang-kadang kuat, kadang-kadang lemah atau kadang-kadang tidak
jelas (samar-samar). Dalam hal warna afektif tersebut kuat, maka perasaan-perasaan
menjadi lebih mendalam, lebih luas dan lebih terarah. Perasaan-perasaan tersebut
disebut emosi (Sarlito, 1982:59). Di samping perasaan senang atau tidak senang,
beberapa contoh macam emosi yang lain adalah gembira, cinta, marah, takut,
cemas dan benci.
Emosi dan perasaan adalah dua hal yang
berbeda. Emosi dan perasaan merupakan suatu gejala emosional yang secara
kualitatif berkelanjutan, akan tetapi tidak jelas batasnya. Pada suatu saat
warna afektif dapat dikatakan sebagai perasaan, tetapi juga dapat dikatakan
sebagai emosi; contohnya marah yang ditunjukan dalam bentuk diam. Jadi sukar sekali
kita mendefinisikan emosi.
Menurut Crow & Crow (1958) pengertian
emosi adalah sebagai berikut : “ An
emotion, is an affective experience that accompanies generalized inner
adjustment and mental and physiological stirredup states in the individual, and
that shows it self in his overt behavior”.
Jadi, emosi adalah pengalaman afektif yang
disertai penyesuaian dari dalam diri individu tentang keadaan mental dan fisik
dan berwujud suatu tingkah laku yang tampak.
Emosi adalah warna afektif yang kuat dan
ditandai oleh perubahan-perubahan fisik. Pada saat terjadi emosi sering kali
terjadi perubahan-perubahan pada fisik antara lain berupa :
a.
Reaksi elektris pada kulit : meningkat bila terpesona
b.
Peredaran darah : bertambah cepat bila marah
c.
Denyut jantung : bertambah cepat bila terkejut.
d.
Pernapasan : bernapas panjang kalau kecewa
e.
Pupil mata : membesar bila marah
f.
Liur : mengering kalau takut atau tegang
g.
Bulu roma : berdiri kalau takut
h.
Pencernaan : mencret-mencret kalau tegang
i.
Otot : ketegangan dan ketakutan menyebabkan otot menegang atau
bergetar (tremor)
j.
Komposisi darah : komposisi darah akan ikut berubah karena
emosional yang menyebabkan kelenjar-kelenjar lebih aktif.
2. Karakteristik Perkembangan Emosi
Secara tradisional masa remaja dianggap
sebagai periode “ badai dan tekanan”, suatu masa dimana ketegangan emosi
meninggi sebagai akibat dari perubahan fisik dan kelenjar.
Pola emosi remaja adalah sama dengan pola
emosi masa kanak-kanak. Jenis emosi yang secara normal dialami adalah :
cinta/kasih sayang, gembira, amarah, takut, dan cemas, cemburu, sedih, dan
lain-lain. Perbedaannya terletak pada macam dan derajat rangsangan yang
mengakibatkan emosinya, dan khususnya pola pengendalian yang dilakukan individu
terhadap ungkapan emosi mereka.
Remaja sendiri menyadari bahwa aspek-aspek
emosional dalam kehidupan adalah penting (Jersild, 1957:133). Untuk selanjutnya
berikut ini dibahas beberapa kondisi emosional sebagai berikut :
a. Cinta/Kasih Sayang
Faktor penting dalam kehidupan remaja adalah
kapasitasnya untuk mencintai orang lain dan kebutuhannya untuk mendapatkan
cinta dari orang lain. Kemampuan untuk menerima cinta sama pentingnya dengan
kemampuan untuk memberinya.
Kebutuhan untuk memberi dan menerima cinta
menjadi sangat penting, walaupun kebutuhan-kebutuhan akan perasaan itu
disembunyikan secara rapi. Para remaja yang berontak secara terang-terangan,
nakal dan mempunyai sikap permusuhan besar kemungkinannya disebabkan oleh
kurangnya rasa cinta dan dicintai yang tidak disadari.
b. Gembira
Pada umumnya individu dapat mengingat kembali
pengalaman-pengalaman yang menyenangkan yang dialami selama remaja. Perasaan
gembira dari remaja belum banyak diteliti. Perasaan gembira sedikit mendapat
perhatian dari petugas peneliti daripada perasaan marah dan takut atau tingkah
laku problema lain yang memantul-mantulkan kesedihan. Rasa gembira akan dialami
apabila segala sesuatunya berlangsung dengan baik dan para remaja akan
mengalami kegembiraan jika ia diterima sebagai seorang sahabat atau bila ia
jatuh cinta dan cintanya itu mendapat sambutan (diterima) oleh yang dicintai.
c. Kemarahan dan Permusuhan
Sejak masa kanak-kanak, rasa marah telah
dikaitkan dengan usaha remaja untuk mencapai dan memiliki kebebasan sebagai
seorang pribadi yang mandiri. Rasa marah merupakan gejala yang penting di
antara emosi-emosi yang memainkan peranan yang menonjol dalam perkembangan
kepribadian. Pertama, diantara emosi-emosi ini adalah cinta, dimana kita
ketahui bahwa dicintai dan mencintai adalah gejala emosi bagi perkembangan
pribadi yang sehat. Rasa marah juga penting dalam kehidupan, karena melalui
rasa marahnya seseorang mempertajam tuntutannya sendiri dan pemilikan
minat-minatnya sendiri.
Mendekati saat mencapai remaja, dia telah
melalui banyak fase dalam perkembangan emosional, antara lain dalam kaitannya
dengan perbuatan marah dan cara menyatakan kemarahan itu. Kondisi-kondisi dasar
yang menyebabkan timbulnya rasa marah kurang lebih sama, tetapi ada beberapa
perubahan sehubungan dengan pertambahan umurnya dan kondisi-kondisi tertentu yang
menimbulkan rasa marah atau meningkatnya penguasaan kendali emosional.
Banyaknya hambatan yang menyebabkan anak kehilangan kendali terhadap rasa
marah, sedikit berpengaruh pada kehidupan emosional remaja. Tetapi rasa marah
tersebut terus akan berlanjut pemunculannya apabila minat-minatnya,
rencana-rencananya dan tindakan-tindakannya dirintangi.
Dalam upaya memahami remaja, ada 4 faktor
yang sangat penting sehubungan dengan rasa marah.
1). Adanya kenyataan bahwa perasaan marah
berhubungan dengan usaha manusia untuk memiliki dirinya dan menjadi dirinya
sendiri. Meskipun marah sering kali tampak tolol dan tidak terkendali, namun
rasa marah akan terus berlanjut sepanjang ada kehidupan, dan sangat berfungsi
sebagai usaha individu untuk menjadi seorang pribadi sesuai dengan haknya.
Selama masa remaja, fungsi marah terutama untuk melindungi haknya untuk menjadi
bebas/independen, dan menjamin hubungan antara dirinya dan pihak lain yang
berkuasa.
2).
Pertimbangan penting lainnya ialah
ketika individu mencapai masa remaja, dia tidak hanya merupakan subjek
kemarahan yang berkembang dan kemudian menjadi surut, tetapi juga mempunyai
sikap-sikap dimana ada sisa kemarahan dalam bentuk permusuhan yang meliputi
sisa kemarahan masa lalu. Sikap-sikap permusuhan berbentuk dendam, kesedihan,
prasangka atau kecenderungan untuk merasa tersiksa. Sikap-sikap permusuhan
dapat juga tampak dalam suatu kecendrungan untuk menjadi curiga dan keengganan
atau menganggap bahwa orang lain tidak bersahabat dan mempunyai motif yang
jelek. Sikap-sikap permusuhan mungkin tampak dalam cara-cara yang bersifat
pura-pura. Remaja bukannya menampakkan kemarahan langsung tetapi remaja lebih
menunjukkan keinginan yang sangat besar. Contoh dalam kampanye politik, seorang
remaja mungkin menyanyikan lagu kebanggaan dari seorang calon, padahal
sebenarnya ia bersifat bermusuhan terhadap calon tersebut tetapi sifatnya itu
ditekan.
3).
Seringkali perasaan marah sengaja
disembunyikan dan seringkali tampak dalam bentuk yang samar-samar. Bahkan seni
dari cinta mungkin dipakai sebagai alat kemarahan. Contohnya : Jika seorang
anak laki-laki yang mempunyai latar belakang kecemburuan dan sikap-sikap
permusuhan yang tidak terselesaikan terhadap saudara perempuannya dan terhadap
gadis-gadis pada umumnya, akhirnya dia mempunyai kebiasaan untuk menarik
gadis-gadis hanya untuk menunjukan perolehannya terhadap gadis-gadis yang jatuh
hati padanya.
4).
Kemarahan mungkin berbalik pada dirinya
sendiri. Dalam beberapa hal, aspek ini merupakan aspek yang sangat penting dan
juga paling sulit dipahami.
d. Ketakutan Dan Kecemasan
Menjelang anak mencapai masa remaja, dia
telah mengalami serangkaian perkembangan panjang yang mempengaruhi pasang surut
berkenaan dengan rasa ketakutannya. Banyak ketakutan-ketakutan baru muncul
karena adanya kecemasan-kecemasan dan rasa berani yang bersamaan dengan
perkembangan remaja itu sendiri.
Satu-satunya cara untuk menghindarkan diri dari rasa takut adalah
menyerah terhadap rasa takut, seperti terjadi bila seorang begitu takut
sehingga ia tidak berani mencapai apa yang ada sekarang atau masa depan yang
tidak menentu.
Biehler (1972) membagi ciri-ciri emosional
ramaja menjadi dua rentang usia yaitu 12-15 tahun dan usia 15-18 tahun.
3. Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Perkembangan
Emosi
Sejumlah penelitian tentang emosi anak
menunjukkan bahwa perkembangan emosi mereka bergantung pada faktor kematangan
dan faktor belajar (Hurlock, 1960;266). Reaksi emosional yang tidak muncul pada
awal kehidupan tidak berarti tidak ada, reaksi tersebut mungkin akan muncul
dikemudian hari, dengan berfungsinya sistem endokrin. Kematangan dan belajar
terjalin erat satu sama lain dalam mempengaruhi perkembangan emosi.
Metode belajar yang menunjang perkembangan emosi antara lain
adalah :
1. Belajar dengan coba-coba
Anak belajar secara coba-coba untuk
mengekspresikan emosi dalam bentuk perilaku yang memberikan pemuasan terbesar
kepadanya, dan menolak perilaku yang memberikan pemuasan sedikit atau sama
sekali tidak memberikan kepuasan.
2. Belajar dengan cara meniru
Dengan cara mengamati hal-hal yang
membangkitkan emosi orang lain, anak-anak bereaksi dengan emosi dan metode
ekspresi yang sama dengan orang-orang yang diamati.
3. Belajar dengan cara mempersamakan diri (learning by
identification)
Anak menirukan reaksi emosional orang lain
yang tergugah oleh rangsangan yang sama dengan rangsangan yang telah
membangkitkan emosi orang yang ditiru. Disini anak hanya menirukan orang yang
dikagumi dan mempunyai ikatan emosional yang kuat dengannya.
4. Belajar melalui pengkondisian
Dengan metode ini objek situasi yang pada
mulanya gagal memancing reaksi emosional, kemudian dapat berhasil dengan cara
asosiasi. Pengkondisian terjadi dengan mudah dan cepat pada tahun-tahun awal
kehidupan karena anak kecil kurang mampu menalar, kurang pengalaman untuk
menilai situasi secara kritis, dan kurang mengenal betapa tidak rasionalnya
reaksi mereka. Setelah melewati masa kanak-kanak, penggunaan metode
pengkondisian semakin terbatas pada perkembangan rasa suka dan tidak suka.
5. Pelatihan atau belajar di bawah bimbingan dan pengawasan, terbatas
pada aspek reaksi.
Kepada anak diajarkan cara bereaksi yang
dapat diterima jika sesuatu emosi terangsang. Dengan pelatihan, anak-anak
dirangsang untuk bereaksi terhadap rangsangan yang biasanya membangkitkan emosi
yang menyenangkan dan dicegah agar tidak bereaksi secara emosional terhadap
rangsangan yang membangkitkan emosi yang tidak menyenangkan.
4. Hubungan Antara Emosi dan Tingkah Laku serta
Pengaruh Emosi Terhadap Tingkah Laku
Gangguan emosi dapat menjadi penyebab kesulitan
berbicara. Hambatan-hambatan dalam berbicara tertentu telah ditemukan bahwa
tidak disebabkan oleh kelainan dalam organ berbicara. Ketegangan emosional yang
cukup lama mungkin menyebabkan seseorang gagap. Seorang gagap seringkali
relative dapat normal dalam berbicara, apabila mereka dalam keadaan relaks atau
senang. Bila dia dihadapkan kepada situasi-situasi yang menyebabkan ia
kebingungan, dapat terjadi ia akan menunjukkan ketidak normalan dalam bicara.
Sikap – sikap takut, malu – malu atau agresif dapat merupakan akibat dari
ketegangan emosi atau frustasi dan dapat muncul dengan hadirnya individu
tertentu atau situasi-situasi tertentu. Justru karena reaksi kita berbeda-beda
terhadap setiap oarnag yang kita jumpai, maka jika kita merespon dengan cara
yang sangat khusus terhadap hadirnya individu-individu tertentu akan merangsang
timbulnya emosi tertentu.
Seorang siswa tidak senang kepada gurunya
bukan karena pribadi guru, namun bisa disebabkan sesuatu yang terjadi pada anak
sehubungan dengan situasi kelas. Jika ia merasa malu karena gagal dalam
menghapal bahan pelajaran di muka kelas, pada kesempatan lain ia mungkin takut
untuk berpartisipasi dalam kegiatan menghapal. Akibatnya ia mungkin memutuskan
untuk membolos, atau mungkin ia melakukan kegiatan yang lebih jelek lagi yaitu
melarikan diri dari semuanya itu, dari orangtuanya, guru-gurunya, atau dari
otoritas-otoritas lain. Penderitaan emosional dan frustasi mempengaruhi
efektivitas belajar. Faktor-faktor afektif dalam pengalaman individu mempengaruhi
jumlah dan luasnya apa yang dipelajari. Seorang anak di sekolah akan belajar
lebih efektif bila ia termotivasi, karena ia merasa perlu belajar. Sekali hal
ini ada pada dirinya, selanjutnya ia akan mengembangkan usahanya untuk
menguasai bahan yang dipelajari. Jika telah ada rasa senang karena berhasil
mencapai prestasi, hal ini akan mengurangi rasa akan kelelahan.
Motivasi untuk belajar akan membantu individu
dalam memusatkan perhatian pada apa yang ia sedang kerjakan dan dengan cara itu
berarti ia akan memperoleh kepuasan. Karena reaksi setiap pelajar tidak sama,
rangsangan untuk belajar yang diberikan harus berbeda-beda dan disesuaikan
dengan kondisi anak. Dengan demikian, rangsangan-rangsangan yang menghasilkan
perasaan yang tidak menyenangkan, akan sangat mempengaruhi hasil belajar dan
demikian pula rangsangan yang menghasilkan perasaan yang menyenangkan akan
mempermudah siswa belajar.
5. Perbedaan Individual dalam Perkembangan Emosi
Meskipun pola perkembangan emosi dapat
diramalkan, tetapi terdapat perbedaan dalam segi frekuensi, intensitas, serta
jangka waktu dari berbagai macam emosi, dan juga saat pemunculannya. Perbedaan
ini sudah mulai terlihat sebelum masa bayi berakhir dan semakin bertambah
frekuensinya serta lebih mencolok sehubungan dengan bertambahnya usia
anak-anak.
Dengan meningkatnya usia anak, semua emosi
diekspresikan secara lebih lunak karena mereka telah mempelajari reaksi orang
lain terhadap luapan emosi yang berlebihan, sekalipun emosi itu berupa
kegembiraan atau emosi yang menyenangkan lainnya. Selain itu karena anak-anak
mengekang sebagian ekspresi emosi mereka, emosi tersebut cenderung bertahan
lebih lama daripada jika emosi itu diekspresikan secara lebih terbuka. Oleh
sebab itu, ekspresi emosional mereka menjadi berbeda-beda.
Perbedaan itu sebagian disebabkan oleh
keadaan fisik anak pada saat itu dan taraf kemampuan intelektualnya, dan
sebagian lagi disebabkan oleh kondisi lingkungan. Anak yang sehat cenderung
kurang emosional dibandingkan dengan anak yang kurang sehat. Ditinjau kedudukannya
sebagai anggota suatu kelompok, anak-anak yang pandai bereaksi lebih emosional
terhadap berbagai macam rangsangan dibandingkan dengan anak-anak yang kurang
pandai. Tetapi sebaliknya mereka juga cenderung lebih mampu mengendalikan
ekspresi emosi.
Cara mendidik yang otoriter mendorong
perkembangan emosi kecemasan dan takut, sedangkan cara mendidik yang permisif
atau demokratis mendorong berkembangnya semangat dan rasa kasih sayang.
Anak-anak dari keluarga yang berstatus sosial ekonomi rendah cenderung lebih
mengembangkan rasa takut dan cemas dibandingkan dengan mereka yang berasal dari
keluarga berstatus sosial ekonomi tinggi.
6. Upaya Pengembangan Emosi Remaja dan
Implikasinya dalam Penyelenggaraan Pendidikan
Dalam kaitannya dengan emosi remaja awal yang
cenderung banyak melamun dan sulit diterka, maka satu-satunya hal yang dapat
dilakukan oleh guru adalah konsisten dalam pengelolaan kelas dan memperlakukan
siswa seperti orang dewasa yang penuh tanggung jawab. Guru-guru dapat membantu
mereka yang bertingkah laku kasar dengan jalan mencapai keberhasilan dalam
pekerjaan/tugas-tugas sekolah sehingga mereka menjadi anak yang lebih tenang
dan lebih mudah ditangani. Salah satu cara yang mendasar adalah dengan
mendorong mereka untuk bersaing dengan diri sendiri.
Apabila ada ledakan-ledakan kemarahan
sebaiknya kita memperkecil ledakan emosi tersebut, misalnya dengan jalan
tindakan yang bijaksana dan lemah lembut, mengubah pokok pembicaraan, dan
memulai aktivitas baru. Jika kemarahan siswa tidak juga reda, guru dapat minta
bantuan kepada petugas bimbingan penyuluhan. Dalam diskusi kelas, tekankan
pentingnya memperhatikan pandangan orang lain dalam mengembangkan atau meningkatkan
pandangan sendiri. Kita hendaknya waspada terhadap siswa yang sangat ambisius,
berpendirian keras, dan kaku yang suka mengintimidasi kelasnya sehingga tidak
ada seseorang yang berani tidak sependapat dengannya atau menentangnya.
Remaja ada dalam keadaan yang membingungkan
dan serba sulit. Dalam banyak hal ia tergantung pada orangtua dalam keperluan-keperluan
fisik dan merasa mempunyai kewajiban kepada pengasuhan yang mereka berikan dari
saat dia tidak mampu memelihara dirinya sendiri. Namun ia harus lepas dari
orangtuanya agar ia menjadi orang dewasa yang mandiri, sehingga adanya konflik dengan
orangtua tidak dapat dihindari. Apabila terjadi friksi semacam ini, para remaja
mungkin merasa bersalah, yang selanjutnya dapt memperbesar jurang antara dia
dengan orangtuanya.
Seorang siswa yang merasa bingung terhadap
rantau peristiwa tersebut mungkin merasa perlu menceritakan penderitaannya,
termasuk mungkin rahasia-rahasia pribadinya kepada orang lain. Karena itu
seorang guru diminta untuk berfungsi dan bersikap seperti pendengar yang
simpatik.
Siswa sekolah menengah atas banyak mengisi pikirannya dengan
hal-hal yang lain daripada tugas-tugas sekolah. Misalnya seks, konflik dengan
orangtua, dan apa yang akan dilakukan dalam hidupnya setelah ia tamat sekolah.
Salah satu persoalan yang paling membingungkan yang dihadapi oleh guru ialah
bagaimana menghadapi siswa yang hanya mempunyai kecakapan terbatas tetapi yang
selalu memimpikan kejayaan. Seorang guru tidak ingin membuat mereka putus asa,
tetapi jika ia mendorong siswa tersebut.
B. Perkembangan Nilai, Moral, dan Sikap
1.
Pengertian Dan Saling Keterkaitan Antara Nilai, Moral, Dan Sikap
Serta Pengaruhnya Terhadap Tingkah Laku.
Nilai-nilai kehidupan adalah norma-norma yang
berlaku dalam masyarakat, misalnya adat kebiasaan dan sopan santun (Sutikna,
1988:5). Sopan santun, adat, dan kebiasaan serta nilai-nilai yang terkandung
dalam pancasila adalah nilai-nilai hidup yang menjadi pegangan seseorang dalam
kedudukannya sebagai warga Negara dengan sesama warga Negara.
Nilai-nilai yang terkandung dalam pancasila
yang termasuk dalam sila kemanusiaan yang adil dan beradab, antara lain :
1.
mengakui persamaan derajat, persamaan hak, dan persamaan kewajiban
antara sesama manusia,
2.
mengembangkan sikap tenggang rasa, dan
3.
tidak semena-mena terhadap rang lain, berani membala kebenaran dan
keadilan, dan sebagainya.
Moral adalah ajaran tentang baik buruk
perbuatan dan kelakuan, akhlak, kewajiban, dan sebagainya (Purwadarminto, 1957:
957). Dalam moral diatur segala perbuatan yang dinilai tidak baik dan perlu
dihindari. Moral berkaitan dengan kemampuan untuk membedakan antara perbuatan
yang benar dan yang salah. Dengan demikian, moral merupakan kendali dalam
bertingkah laku.
Dalam kaitannya dengan pengalaman nilai-nilai
hidup, maka moral merupakan kontrol dalam bersikap dan bertingkah laku sesuai
dengan nilai-nilai hidup yang dimaksud. Misalnya dalam pengalaman nilai hidup :
tenggang rasa, dalam perilakunya eseorang akan selalu memperhatikan perasaan
orang lain, tidak “semau gue”. Dia dapat membedakan tindakan yang benar dan
yang salah.
Nilai-nilai kehidupan sebagai norma dalam
masyarakat senantiasa menyangkut persoalan antara baik dan buruk, jadi
berkaitan dengan moral. Dalam hal ini aliran psikoanalisis tidak
membeda-bedakan antara moral, norma, dan nilai (Sarlito, 1991:91). Semua konsep
itu menurut freud menyatu dalam konsepnya tentang superego yang merupkan bagian
dari jiwa yang berfungsi untuk mengendalikan tingkah laku ego sehingga tidak
bertentangan dengan masyarakat.
Sedangkan, menurut Gerung, sikap secara umum
diartikan sebagai kesediaan bereaksi individu terhadap sesuatu hal (Mappiare,
1982:58).sikap berkaitan dengan motif dan mendasari tingkah laku seseorang
dapat diramalkan tingkah laku apa yang dapat terjadi dan akan diperbuat jika
telah diketahui sikapnya. Sikap belum merupakan suatu tindakan atau aktivitas, akan
tetapi berupa kecenderungan (predisposisi) itngkah laku. Jadi sikap merupakan
kesiapan untuk bereaksi terhadap objek di lingkungan tertentu sebagai suatu
penghayatan terhadap objek tersebut.
Dengan demikian, keterkaitan antara nilai,
moral, sikap, dan tingkah laku akan tampak dalam pengalaman nilai-nilai. Dengan
kata lain nilai-nilai perlu dikenal terlebih dulu, kemudian dihayati dan
didorong oleh moral, baru akan terbentuk sikap tertentu terhadap nilai-nilai
tersebut dan pada akhirnya terwujud tingkah laku sesuai dengan nilai-nilai yang
dimaksud.
2.
Karakteristik Nilai, Moral, Dan Sikap Remaja
Michel meringkaskan lima perubahan dasar
dalam moral yang harus dilakukan oleh remaja (Hurlock alih bahasa Istiwidayanti
dan kawan-kawan, 1980: 225) sebagai berikut :
1.
Pandangan moral individu makin lama makin menjadi lebih abstrak.
2.
Keyakinan moral lebih terpusat pada apa yang benar dan kurang pada
apa yang salah. Keadilan muncul sebagai kekuatan moral yang dominan.
3.
Penilaian moral menjadi semakin kognitif. Hal ini mendorong remaja
lebih berani mengambil keputusan terhadap berbagai masalah moral yang
dihadapinya.
4.
Penilaian moral menjadi kurang egosentris.
5.
Penilaian moral secara psikologis menjadi lebih mahal dalam arti
bahwa penilaian moral merupakan badan emosi dan menimbulkan ketegangan emosi.
Menurut Furter (1965) (dalam Monks,
1984:252), kehidupan moral merupakan problematik yang pokok dalam masa remaja.
Maka perlu kiranya untuk meninjau perkembangan moralitas ini mulai dari waktu
anak dilahirkan, untuk dapat memahami mengapa justru pada masa remaja hal
tersebut menduduki tempat yang sangat penting.
3.
Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Perkembangan Nilai, Moral, Dan
Sikap
Berdasarkan sejumlah hasil penelitian,
perkembangan internalisasi nilai-nilai terjadi melalui identifikasi dengan
orang-orang yang dianggapnya sebagai model. Bagi anak-anak usia 12 dan 16
tahun, gambaran-gambaran ideal yang diidentifikasi adalah orang-orang dewasa
yang simpatik, teman-teman, orang-orang terkenal, dan hal-hal yang ideal yang
diciptakan sendiri.
Menurut psikoanalisis moral dan nilai menyatu
dalam konsep superego. Superego dibentuk melalui jalan internalisasi
larangan-larangan atau perintah-perintah yang datang dari luar (khusunya dari
orang tua) sedemikian rupa sehingga akhirnya terpencar dalam diri sendiri.
Karena itu, orang-orang yang tak mempunyai hubungan yang harmonis dengan orang
tuanya di masa kecil, kemungkinan besar tidak mampu mengembangkan superego yang
cukup kuat, sehingga mereka bisa menjadi orang yang sering melanggar norma
masyarakat.
Teori-teori lain yang non-psikoanalisis
beranggapan bahwa hubungan anak – orang tua bukan satu-satunya sarana pembentuk
moral. Para sosiolog beranggapan bahwa masyarakat sendiri mempunyai peran
penting dalam pembentukan moral. Tingkah laku yang terkendali disebabkan oleh
adanya kontrol dari masyarakat itu sendiri yang mempunyai sanksi-sanksi
tersendiri buat pelanggar-pelanggarnya (Salito,1992:92).
Di dalam usaha membentuk tingkah laku sebagai
pencerminan nilai-nilai hidup tertentu ternyata bahwa faktor lingkungan
memegang peranan penting. Diantara segala unsur lingkungan sosial yang
berpengaruh, yang tampaknya sangat penting adalah unsur lingkungan berbentuk
manusia yang langsung dikenal atau dihadapi oleh seseorang sebagai perwujudan
dari nilai-nilai tertentu. Dalam hal ini lingkungan sosial terdekat yang
terutama terdiri dari mereka yang berfungsi sebagai pendidik dan pembina. Makin
jelas sikap dan sifat lingkungan terhadap nilai hidup tertentu dan moral makin
kuat pula pengaruhnya untuk membentuk (atau meniadakan) tingkah laku yang
sesuai.
Teori perkembangan moral yang dikemukakan
oleh kohlberg menunjukkan bahwa sikap moral bukan hasil sosialisasi atau
pelajaran yang diperoleh dari kebiasaan dan hal-hal ini yang berhubungan dengan
nilai kebudayaan. Tahap-tahap perkembangan moral terjadi dari aktivitas spontan
pada anak-anak (Singgih G.1990:202). Anak memang berkembang melalui interaksi
sosial, tetapi interaksi ini mempunyai corak yang khusus dimana faktor pribadi,
faktor si anak dalam membentuk aktivitas-aktivitas ikut berperan. Dalam
perkembangan moral, kohlberg menyatakan adanya tahap-tahap yang berlangsung
sama pada setiap kebudayaan. Penahapan yang dikemukakan bukan mengenai sikap
moral yang khusus, melainkan berlaku pada proses penalaran yang didasarinya.
Moral sifatnya penalaran menurut kohlberg, perkembangannya dipengaruhi oleh
perkembangan nalar sebagaimana dikemukakan oleh piaget. Makin tinggi tingkat
penalaran seseorang menurut tahap-tahap perkembangan piaget, makin tinggi pula
tingkat moral seseorang.
4.
Perbedaaan Individual Dalam Perkembangan Nilai, Moral, dan Sikap
Menurut Kohlberg, faktor kebudayaan
mempengaruhi perkembangan moral, terdapat berbagai rangsangan yang diterima
oleh anak-anak dan ini mempengaruhi tempo perkembangan moral. Bukan saja
mengenai cepat atau lambatnya tahap-tahap perkembangan yang dicapai, melainkan
batas-batas tahap yang dicapai. Perbedaaan perseorangan juga dapat dilihat pada
latar belakang kebudayaan tertentu.
Pemahaman konsep dan nilai tenggang rasa,
bila dibandingkan dengan sikap serta tingkah lakunya dalam kaitannya dengan
tenggang rasa, memungkinkan kita menempatkan
individu dalam satu kontinum.
Jadi perbedaaan-perbedaan individual dalam
pemaham nilai-nilai, dan moral sebaga pendukung sikap dan perilakunya. Dan
mungkin terjadi individu atau remaja yang tidak mencapai perkembangan nilai,
moral, dan sikap serta tingkah lakunya yang diharapkan padaanya.
5.
Upaya Mengembangkan Nilai, Moral, dan Sikap Remaja serta
Implikasinya Dalam Penyelenggaraan Pendidikan
Perwujudan nilai, moral, dan sikap tidak
terjadi dengan sendirinya. Proses yang dilalui seseorang dalam pengembangan
nilai-nilai hidup tertentu adalah sebuah proses yang belum seluruhnya dipahami
oleh para ahli (Surakhmad, 1980: 17).
Adapun upaya-upaya yang dapat dilakukan dalam
mengembangkan nilai, moral, sikap remaja adalah:
1.
Menciptakan Komunikasi
Mengikutsertakan, remaja dalam beberapa
pembicaraan dan dalam pengambilan keputusan keluarga, sedangkan dalam kelompok
sebaya, remaja turut serta secara aktif dalam tanggung jawab dan penentuan
maupun keputusan kelompok. Dan remaja juga berpartisipasi untuk mengembangkan
aspek moral misalnya dalam kerja kelompok, sehingga dia belajar tidak melakukan
sesuatu yang akan merugikan orang lain karena hal ini tidak sesuai dengan nilai
atau norma-norma moral.
2.
Menciptakan Iklim Lingkungan Yang Serasi
Usaha pengembangan tingkah laku nilai hidup
hendaknya tidak hanya mengutamakan pendekatan-pendekatan intelektual
semata-mata tetapi juga mengutamakan adanya lingkungan yang kondusif di mana
faktor-faktor lingkungan itu sendiri merupakan penjelmaan yang konkret dari
nilai-nilai hidup tersebut. Selain itu lingkungan bersifat mengajak, mengundang
atau memberi kesempatan akan lebih aktif daripada lingkungan yang ditandai
dengan larangan dan peraturan yang membatasi.
BAB
III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Emosi adalah pengalaman afektif yang disertai
penyesuaian dari dalam diri individu tentang keadaan mental dan fisik dan
berwujud suatu tingkah laku yang tampak. Emosi juga adalah warna afektif yang
kuat dan ditandai oleh perubahan-perubahan fisik. Adapun beberapa kondisi emosional
seperti cinta/kasih sayang, gembira, kemarahan dan permusuhan, ketakutan dan
kecemasan. Sedangkan pembagian ciri-ciri emosional dibagi menjadi dua menurut
Biehler (1972) yaitu remaja berusia 12-15 tahun dan remaja usia 12-15 tahun.
Dan faktor-faktor perkembangan emosional dipengaruhi oleh:
Belajar dengan coba-coba
Belajar dengan cara meniru
Belajar dengan cara mempersamakan diri (learning by
identification)
Belajar melalui pengkondisian
Pelatihan atau belajar di bawah bimbingan dan pengawasan, terbatas
pada aspek reaksi.
B. Saran
Sebagai orang tua, hendaknya kita memahami
kondisi anak dan perkembangan emosional anak ketika memasuki usia remaja. Agar
dapat memahami kondisi tersebut hendaklah orang mengadakan pendekatan terhadap
anak tentang apa yang ia rasakan. Dan anak pun hendaklah menjadi lebih terbuka
serta berusaha mengendalikan emosional yang ada pada dirinya.
DAFTAR
PUSTAKA
Hartono,
Agung dan Sunarto. 2008. Perkembangan
Peserta Didik. Jakarta : Rineka Cipta.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar