Ini adalah blog pribadi saya, dibuat atas dasar hobby dan juga ingin berbagi satu sama lain agar semuanya dapat mengetahui tentang beberapa hal, seperti Sejarah Kota Lubuklinggau, Aksara Ulu Sumatera Selatan, Museum Perjuangan Subkoss Garuda Sriwijaya, Napak Tilas dan Arsip Sejarah, serta beberapa makalah hasil selama mengikuti perkuliahan. Semoga bermanfaat.
Tulisan Bergerak
Rabu, 03 Agustus 2022
Minggu, 31 Juli 2022
Onderneming Taba Pingin Nv: Sejarah Perkebunan Kelapa Sawit di Loeboeklinggau
Oleh Berlian Susetyo*
Pada awalnya orang-orang
Belanda tidak terlalu menaruh perhatian besar terhadap kelapa sawit. Mereka
lebih mengenal minyak kelapa. Namun, seiring revolusi industri (1750–1850) yang
terjadi di Eropa, mendorong terjadinya lonjakan permintaan terhadap minyak. Hal
ini mendorong pemerintahan Hindia Belanda mencoba melakukan penanaman kelapa
sawit di beberapa tempat.
Kelapa Sawit (Elaeis
guineensis) bukan tanaman asli Indonesia. Tanaman ini merupakan tanaman
asli dari Afrika Barat dan Afrika Tengah. Di Indonesia, sejarah
kelapa sawit berawal dari empat biji kelapa sawit yang dibawa oleh Dr. D. T.
Pryce, masing-masing dua benih dari Bourbon, Mauritius dan dua benih lainnya
berasal dari Hortus Botanicus, Amsterdam, Belanda, pada tahun 1848.
Keempat biji kelapa sawit itu kemudian ditanam di Kebun Raya Bogor dan ternyata berhasil
tumbuh dengan subur. Setelah berbuah, biji-biji dari induk kelapa sawit
tersebut disebar ke Sumatera (Sejarah
Kelapa Sawit di Indonesia pada id.wikipedia.org).
Pulau Sumatera, terutama di wilayah Palembang
tepatnya di kawasan Uluan memiliki tanah subur dan penduduk yang makmur.
Kekayaan yang terkandung di tanah digunakan untuk mendatangkan kesejahteraan
besar, bukan hanya bagi kolonial Belanda, tetapi juga masyarakat lokal.
Sehingga Palembang berkembang menjadi wingewesten (daerah dengan
keuntungan) bagi kas Belanda selama periode abad ke-20. Para pendatang menyerbu
dan mengadu nasib untuk mengejar keuntungan ekonomi dengan membuka berbagai
macam usaha salah satunya perkebunan, baik perseorangan maupun korporasi.
Sebuah arsip Belanda yang ditulis Hunger dalam buku De Oliepalm (Elaeis
Guineensis) Historisch Onderzoek Over Den Oliepalm in Nederlandsch-Indie (1924:171-172)
menuturkan bahwa penanaman kepala sawit di wilayah Karesidenan Palembang
pertama kali diujicobakan di Muara Enim (Lematang Ilir) tahun 1869 yang
memiliki 258 pohon, 140 diantaranya telah berbuah, bertambah lagi 53 pohon yang
menghasilkan buah. Penanaman itu diminati, meskipun ada dukungan dari
pemerintah namun tidak mendapat dukungan dari penduduk. Sehingga penanaman
sawit diujicobakan disana sini seperti di Moesi
Oeloe (Musi Rawas) tahun 1870, tetapi sedikit mendapat dukungan, dan juga
ada sanksi yang jatuhkan oleh pemerintah. Kemudian percobaan juga dilakukan di
Banyuasin (Pangkalan Balai), tampak tidak tumbuh subur, juga jumlahnya terlalu
kecil. Dilakukan ujicoba di Belitung tahun 1890, akan tetapi, hasilnya belum
begitu baik disebabkan faktor iklim masih kurang sesuai untuk pertumbuhan
kepala sawit. Serta ujicoba penanaman juga dilakukan di Ogan, Komering dan
Blida tahun 1896, sangat berhasil dan pohon-pohon tampak bagus. Kepala sawit
disini semua orang telah mengetahui dan dibudidayakan, apalagi penduduk disana
menyukai minyak kelapa.
Namun setelah kehadiran
perusahaan-perusahaan perkebunan asing juga didorong oleh pemberlakuan UU
Agraria (Agrarisch Wet) oleh
pemerintah Hindia Belanda pada tahun 1870. Undang-undang ini memberikan konsesi
berupa hak guna usaha (erfpacht) kepada
para pemodal asing. Sehingga orang-orang Eropa
berdatangan mencari keuntungan sebanyak-banyaknya ditampung oleh instansi, baik
partikelir dan non-partikelir. Mereka menguasai sektor padat modal di bidang
perkebunan besar, terutama karet dan kelapa sawit. Oedjan mas berdampak
sangat besar bagi penduduk lokal pribumi ketika mengalihkan tanaman substansi
masa kesultanan menjadi tanaman komersial ekspor yang diperkenalkan kolonial
Belanda.
Seiring dengan berkembangnya revolusi
industri, maka permintaan minyak nabati dari hasil pengolahan kepala sawit
semakin melonjak dan meningkat, sehingga menjadi kepentingan dagang yang mulai
menjamur di tanah Sumatera. Dalam lembaran surat kabar ‘Deli Courant no.
181’ tertanggal 8 Agustus 1926, juga disampaikan bahwa budidaya kepala
sawit menawarkan prosfek yang baik, yang menurut Vester akan dioptimalkan,
sebab penggunaan minyak nabati sebagai bahan baku pembuatan lemak nabati terus
meningkat. Dan sebuah pabrik sekarang sedang dibangun, sebuah perusahaan Taba
Pingin, bahan-bahannya akan dipasok oleh industri Belanda. Namun
kesulitan-kesulitan transportasi masih tetap menjadi hambatan besar bagi
perkembangan industri yang sangat pesat, tetapi pada waktunya hal ini juga akan
teratasi. Meskipun begitu, penulis (Berlian Susetyo dan Ravico) katakan dalam Perekonomian Masyarakat Onder Afdeeling
Moesi Oeloe Tahun 1900-1942 (2021) bahwa, “Kolonial Belanda telah
merencanakan pembangunan jalur kereta api untuk wilayah Palembang dengan rute
Kertapati menuju Lubuklinggau sebagai sarana transportasi alat angkut hasil
perekonomian perkebunan dan pertanian (hlm. 23)”.
Pembukaan perkebunan kepala sawit pertama
kali dibuka tahun 1911 oleh perusahaan A. Hallet asal Belgia serta K. Schadt di
Deli (Sumatera Utara) dan Sungai Liat (Aceh) melalui perusahaan Sungai Liput
Cultuur Maatschappij dengan luas lahan 5.123 Ha. Salah satu perkebunan
karet terbesar di masa kolonial Belanda di Pulau Sumatera. Kemudian perkebunan
kepala sawit juga tersebar di wilayah Palembang, salah satunya di Onder
Afdeeling Moesi Oeloe yang penanaman dan pengelolaannya digagas oleh
kolonial Belanda. Nama perusahaan yang mengurusnya ialah Onderneming Taba
Pingin Loeboeklinggau Nv memiliki andil besar dalam memenuhi kebutuhan
minyak kelapa sawit di Karesidenan Palembang.
Dalam surat kabar ‘Deli Courant no. 229’ tertanggal 3 Oktober 1922, diungkapkan bahwa ekspansi bertahap mulai dibuka dengan pembangunan perusahaan di wilayah Palembang, yakni di daerah Moesi Oeloe dengan perusahaan kepala sawit (oliepalm-onderneming) Taba Pingin dan perusahaan karet (rubber-onderneming) Air Temam. Senada yang disampaikan di atas, penjelasan dalam surat kabar ‘De Locomotief no. 166’ tertanggal 27 Juli 1921, juga menyampaikan bahwa kepala sawit di tanam di Taba Pingin dan karet di tanam di Air Temam.
Dalam arsip Memorie van Overgave van het Bestuur der Onderafdeeling Moesi Oeloe
(1927:27) ditulis H. Hahman bahwa perusahaan kelapa sawit Taba Pingin mulai
dibuka tahun 1919, tetapi pada masa malaise barulah dimulai kontruksi
pabrik minyak bisa dibangun tahun 1926. Perusahaan ini memiliki 4500 bouws,
total penanaman 880 bouws, tanaman yang produktif 880 bouws.
Kemudian memiliki jumlah karyawan Eropa termasuk administrator 4 orang, kuli
kontrak 202 orang, dan kuli bebas 25 orang. Pengangkutan material, khususnya
instalasi berat yang dipasok De Etna Nv sangat sulit yang menyebabkan
pabrik minyak yang biaya konstruksinya lebih dari f.150.000, tidak
sampai bulan September 1927 selesai. Oleh karena itu, produksi minyak dapat
dimulai. Penanamannya dalam kondisi baik, sehingga dengan harapan Onderneming Taba Pingin akan tumbuh
menjadi perusahaan kelapa sawit yang menguntungkan dapat dibenarkan secara sah,
yang letaknya 16 km dari Muara Beliti menuju jalan utama ke Bengkulu.
Taba Pingin merupakan salah satu perusahaan Land-Syndicaat
Hindia Belanda di bawah pemerintahan Onder Afdeeling Moesi Oeloe.
Proses penanamannya ialah sebagai berikut:
Tahun |
Luas
(dalam Ha) |
Jumlah
Kepala Sawit |
1920 |
295 |
31.800 |
1921 |
213 |
20.840 |
1922 |
65 |
6.759 |
Total |
573 |
59.399 |
Sumber: Hunger, 1924
Akan tetapi, tak ada ekspansi lebih lanjut
setelah tahun 1922. Namun perusahaan kelapa sawit Taba Pingin ini disatukan di
bawah satu administrasi dengan perusahaan karet Air Temam Nv dari perusahaan yang sama. Sehingga keberadaan kedua onderneming
ini tidak bisa saling terpisahkan satu sama lain.
Baru-baru ini, penulis bersama tim melakukan penelusuran terhadap sisa-sisa jejak sejarah yang ditinggalkan oleh Onderneming Taba Pingin Nv ini yang berada di Air Kati, tepatnya di kawasan perkebunan (sekarang menjadi perkebunan karet), dan juga Rahma, Kecamatan Lubuklinggau Selatan I. Kami menemukan beberapa buah tiang pancang jembatan lori (kereta api kecil) yang dijadikan sebagai jalur angkutan hasil buah kelapa sawit. Setelah dilakukan penelusuran, bahwa jembatan lori ini dibuat agar jalur lori ini bisa melintasi sungai dan beberapa tanah yang curam berupa tebing, karena keadaan konstruksi tanah disana tidak rata. Jalur lori ini dimulai dari kawasan perkebunan di Air Kati sampai ke Rahma, berdasarkan tiang pancang jembatan yang masih tersisa. Bahkan jalur lori ini masih terlihat karena telah dijadikan jalan perkebunan oleh masyarakat, hanya saja rel lori sudah tidak ditemukan lagi.
Dalam lembaran surat kabar ‘Deli Courant no. 257’ tertanggal 4 November 1936, seorang bernama F.H. van de Meer beserta keluarga ingin meninggalkan Palembang lalu menuju Eropa. Akan tetapi, ia ditunjuk sebagai administrator perusahaan kelapa sawit Taba Pingin di Lubuklinggau dari perusahaan kolonial Belanda. Pada tahun 1918, van de Meer bertugas selama beberapa tahun di wilayah pantai Timur Sumatera. Kemudian de Meer dipindahkan dari perusahaan di Betung sebagai tempat ia bekerja pada tahun 1932 ke Taba Pingin. Niat awalnya de Meer hanya sementara di Palembang untuk membantu perusahaan yang sempat agak terbengkalai setelah kematian administrator sebelumnya, H.C.F. Seemann yang meninggal dalam kecelakaan mobil. Beliau menangani semuanya dengan kepuasan penuh dari manajemen dan perusahaan berjalan sangat baik. De Meer berada di Taba Pingin selama hampir empat tahun. Perkebunan yang memiliki ukuran 1.813 Ha ini memiliki banyak lahan perkebunan, dan produksinya sangat bagus. Kemudian selama empat tahun terakhir diputuskan untuk membangun pabrik yang besar, sementara terdapat rencana yang cukup maju untuk memperluas lahan perkebunan di masa mendatang. Setelah itu, van de Meer digantikan W.L. Eussen yang juga dari pantai Timur.
Selengkapnya bisa dibaca di buku “Musi Ulu Rawas dalam Kajian Sejarah Lokal” di Museum Perjuangan Subkoss Garuda Sriwijaya, Lubuklinggau. Dan dalam Jurnal saya di bawah ini:
https://journal3.uin-alauddin.ac.id/index.php/rihlah/article/view/23250
*
Penulis kini aktif sebagai Edukator serta Staf Koleksi dan Konservasi di Museum
Perjuangan Subkoss Garuda Sriwijaya. Beberapa tulisannya telah dimuat dalam bentuk
buku diantaranya: “Sejarah Lubuklinggau dari Masa Kolonial hingga Kemerdekaan”
di tahun 2021 (ber-ISBN), lalu “Musi Ulu Rawas dalam Kajian Sejarah Lokal” di tahun
2022 (ber-ISBN), kemudian telah merampungkan buku “Arsip Kolonial Hindia
Belanda Kawasan Palembangsche Bovenlanden (Lubuklinggau dan sekitarnya)” di
tahun 2022 (ber-ISBN).
Kamis, 28 Juli 2022
Kantor Pos dan Telegram Pembantu di Muara Beliti 1940
Kantor
pos pembantu Muara Beliti ditutup pada tahun 1940, atau mungkin pada awal akhir
tahun 1939. Sebagai gantinya, kantor pos pembantu dibuka di Muara Kelingi.
Mungkin ini dilakukan karena lokasi Muara Kelingi lebih menguntungkan
untuk apa pun. Saya tidak bisa membuktikannya, tapi petunjuknya jelas.
Yang menjengkelkan adalah laporan tahunan PTT dan Javasche Courant pada tahun-tahun terakhir sebelum era Jepang tidak memberikan informasi tentang kantor mana yang ditutup dan kapan, atau dibuka, atau ditempatkan atau diubah statusnya. Hanya angka yang disebutkan.
Kembali ke Muara Beliti. Kantor pos pembantu dibuka pada 1-1-1916 (Javasche Courant 25 Januari 1916, no. 7, hal. 130). Muara Beliti juga merupakan kota penting sebelum tahun 1916. Jauh lebih tua dari Bezemer adalah Kamus Geografis dan Statistik Hindia Belanda (1859-69).
Pada bagian II ditulis tentang MOEARA BLITI: desa di Sumatera, tempat tinggal Palembang, persatuan Kelingi dengan Beliti. Di sini tinggal seorang Pengendali kelas dua (controleur), yang ditugasi dengan otoritas sipil. Pegunungan di dekat desa ini memiliki benzoin dan rotan. Muara Kelingi tidak ada di dalamnya.
Senin, 11 Juli 2022
Minggu, 10 Juli 2022
Sejarah Perjuangan Rakyat Musi Ulu Rawas dalam Melawan Jepang di Lubuklinggau Tahun 1945
A. Pencurian Senjata Jepang
Di daerah Lubuklinggau (Kabupaten Musi
Ulu Rawas), penyerahan kekuasaan sipil dari Bunshu-tyo
(Bupati) Jepang bernama Swada kepada Raden Ahmad Abusamah (Wakil Bupati Jepang)
berjalan lancar, dua hari setelah proklamasi kemerdekaan RI, yaitu pada tanggal
19 Agustus 1945.[1]
Demikian halnya dengan penyerahan senjata kepada pihak pejuang Musi Ulu Rawas,
dilakukan dengan cara sukarela oleh pihak Jepang. Misalnya, Mantri Kaso (Mantri
Perkebunan Jarak) menyerahkan 65 pucuk karaben, 60 peti peluru dan 60 kaleng
minyak tanah. Dan penyerahan senjata secara sukarela juga dilakukan oleh Kapten
Sasaki yang menyerahkan 65 pucuk karaben, 40 kaleng peluru, 200 keping seng, 20
rol kawat berduri, 50 buah tang, 200 buah cangkul, 200 buah sekop, dan 200 buah
sekop garpu. Barang-barang itu dibawa ke rumah M. Ali (juru tulis marga) di
Bukit Cermin (Karangjaya), di daerah Rawas.[2]
Akan tetapi, ketika pasukan Sekutu tiba, senjata-senjata tersebut di atas
diminta untuk diserahkan kepada Sekutu, jadi yang diserahkan hanya 65 pucuk
karaben dan 40 kaleng peluru.
Seperti diketahui, saat sebelum kedatangan
Sekutu, hubungan antara Jepang dan pimpinan sipil serta para pejuang Indonesia
berjalan relatif cukup baik. Jepang telah mengetahui apa tugas mereka sebelum
Sekutu mendarat, sesuai dengan perjanjian Postdam pada 3 Juli 1945, serta Perintah
Umum No. 1 dari pihak Sekutu, bahwa agar Jepang tidak menyerahkan senjatanya
kepada pihak Indonesia, namun Jepang bersikaf acuh tak acuh dan tidak mematuhi
keputusan itu, terutama daerah di luar Jawa.
Sikap Jepang yang agak melunak itu
berubah menjadi keras dan bermusuhan dengan rakyat Indonesia setelah pasukan
Sekutu mendarat pada tanggal 29 September 1945, kemudian langsung memberikan
peringatan keras kepada pimpinan pasukan Jepang yang telah menyerahkan
kekuasaan sipil dan persenjataan kepada pihak Indonesia.[3]
Begitupun sebaliknya, sikap pihak Indonesia juga berubah setelah diketahui
bahwa Jepang dipergunakan Sekutu (Inggris) untuk mengembalikan kekuasaan
Belanda menyamar sebagai NICA, datang bersama dengan Sekutu. Oleh karena itu,
pada periode bulan Oktober-Desember 1945 di beberapa daerah banyak terjadi
aksi-aksi perebutan senjata dari tangan Jepang oleh pejuang Indonesia.
Di Lubuklinggau, tindakan pencurian
dan perampasan senjata dari tentara Jepang dilakukan oleh para pemuda BPRI
(Barisan Pemberontak Republik Indonesia). Mereka terlebih dahulu mengadakan
pertemuan para anggota BPRI yang dihadiri lebih kurang 20 orang pada awal bulan
Desember 1945. Dalam pertemuan itu diputuskan bahwa Ali Kuang dari Muara Kuang,
Gidug (Abdullah) dari Taba Pingin, Beluluk dari Belalau, dan Tap Iman dari
dusun Petunang, mereka menamainya sebagai “pasukan istimewa” akan melakukan
pencurian senjata di gudang senjata yang terletak di depan Stasiun Kereta Api
(sekarang menjadi gedung Polisi Militer) dan Pasar Muara Lama (Pasar Buah). Mereka
berhasil mencuri 24 buah senjata api dan 4 kotak peluru. Senjata-senjata itu
diserahkan kepada komandan BPKR Tebing Tinggi, Kapten Zainal Abidin Ning untuk
dibagi-bagikan kepada para pemimpin pasukan.
B.
Penculikan Serdadu Jepang dan Pembunuhan Orang Switzerland
Selain mencuri senjata, para pejuang
ini rupanya juga melakukan penculikan serdadu Jepang yang menjaga pabrik
industri kelapa sawit di Taba Pingin oleh para pemuda BPRI dan pejuang dari
marga Tiang Pumpung Kepungut dan Marga Proatin V. Akibatnya ketika kekerasan
diperlihatkan oleh pejuang-pejuang ini maka membuat Jepang marah terhadap perjuangan
rakyat Musi Ulu Raw56as.
Mereka juga menculik orang Switzerland yang terdaftar pada
administrasi Jepang untuk mengelola pabrik kelapa sawit di Taba Pingin, mereka
menjadi tanggung jawab Jepang untuk menjaga keamanannya. Kemudian orang
Switzerland ini dibunuh dan harta bendanya dirampas oleh pejuang.[4]
Akibat kematian itu, tentara Jepang tidak tinggal diam. Setiap hari mulai
keluar pasukan Jepang dengan bersenjata lengkap, mondar-mandir melakukan
penyelidikan untuk mencari pelaku pembunuhan itu. Akibatnya banyak tokoh-tokoh
pejuang dan pemuka masyarakat yang ditangkap dan ditahan oleh Jepang, mereka
dicurigai telah melakukan dan mendukung kegiatan tersebut, diantaranya yaitu Pangeran
Mantab (Pasirah Marga Tiang Pumpung Kepungut), Pangeran Amin (Pasirah Marga
Proatin V) beserta istri[5],
Djikun (Gindo Taba Pingin), serta beberapa pemuda pejuang. Mereka dimasukkan ke
dalam tahanan Butai Jepang di Lubuk
Tanjung (yang sekarang menjadi komplek Kodim 0406 Lubuklinggau).[6]
C.
Pertempuran 30 Desember 1945
Kemarahan Jepang tidak cukup sampai
disitu saja, sebab serdadu Jepang perhatiannya mulai tertuju pada Bendera Merah
Putih yang ketika itu sudah banyak dipancangkan di pagar atau halaman rumah
masyarakat di sepanjang pinggiran jalan raya, mulai dari Lubuklinggau sampai ke
arah Taba Pingin. Dalam patrolinya, serdadu Jepang menurunkan paksa bendera
Merah Putih itu. Sehingga situasi di Musi Ulu Rawas mulai gawat, apa yang
diperbuat Jepang seolah-olah akan menjajah kembali. Penurunan bendera merah putih itu atas suruhan Sekutu.
Melihat peristiwa itu meluaplah amarah rakyat Musi Ulu Rawas. Semangat rakyat
waktu itu meluap-luap, berkobar-kobar membenci dan mengutuk tindakan Jepang.
Kemudian situasi bertambah panas
ketika tawanan perang Belanda yang ditawan Jepang di kamp perkebunan karet
Belalau dibebaskan dan dipersenjatai oleh pihak Sekutu.[7]
Kejadian itu diketahui oleh BPKR dan pemuda pejuang dari daerah Kawedanan Rawas
dengan komandan Lettu. M.Y. Yusuf Cholidi.[8]
Hal ini menimbulkan kemarahan mereka, apalagi diketahui BPKR Kawedanan Musi Ulu
anggotanya belum memadai jumlahnya.[9]
Untuk mengantisipasi gejala yang dilakukan Jepang, pimpinan BPKR dari Rawas dan
Musi Ulu segera melakukan rapat pertemuan untuk menentukan sikap dan tindakan. Hasil
pertemuan diputuskan untuk mempersiapkan kekuatan dari dua Kawedanan ini pada
Desember 1945 untuk bersama-sama menggempur markas Jepang di gedung dekat pasar
Lubuklinggau, depan Stasiun Kereta Api Lubuklinggau.
Pimpinan rapat BPKR dari Lubuklinggau
diwakili Sai Husin, dari Muara Beliti diwakili oleh Kapten Sulaiman Amin, dan
dari Surulangun Rawas diwakili oleh Yusuf Cholidi dan Yusuf Rusdi. Selain dari
memutuskan untuk melakukan penyerangan, juga disepakati isyarat-isyarat yang
harus dipatuhi saat penyerangan, diantaranya:
1) Memutuskan hari H dan jam D, yaitu dengan tanda beduk shubuh
merupakan siap siaga adalah beduk yang pertama.
2) Tembakan pertama dilakukan oleh pasukan dari Rawas.
3) Tembakan kedua dari Musi Ulu.
4) Kedua tembakan itu berarti kedua pasukan dari dua arah telah
berada dekat dengan sasaran.
5) Tembakan ketiga dari pasukan Rawas, dan tembakan keempat dari
pasukan Musi Ulu menandakan segera dengan serentak menyerbu.
Sehingga dalam pertemuan itu,
diputuskan bahwa semua laki-laki (kecuali yang sudah tua), terutama yang
memiliki ilmu kebal (dubalang) harus
berangkat ke Lubuklinggau yang berjarak 124 km, teruntuk pasukan yang berasal
dari Kawedanan Rawas. Selain pasukan BPKR Rawas dan laskar rakyat, turut serta
beberapa orang dari Suku Anak Dalam (SAD) yang berasal dari Surulangun, Rawas
Ulu, dan Sungai Kijang. Ditambah para pemuda dari Lesung Batu, Maur, Muara
Rupit, dan Terawas. Mereka berjalan kaki dengan membawa peralatan senjata apa
adanya berupa tombak/kujur, keris, pedang, bambu runcing. Mereka yang berjumlah
lebih kurang 600 orang berjalan dengan semangat tinggi dan dengan suara nyaring
meneriakkan “Allahu Akbar”. Pasukan
dari Rawas ini berjalan selama tiga hari tiga malam.
Sementara pasukan Rawas Ulu
beristirahat, pimpinan mereka mengadakan kontak dengan pimpinan pasukan dari
Kawedanan Musi Ulu dipimpin Kapten Sulaiman Amin. Telah diinformasikan bahwa
pasukan Lubuklinggau dan juga pasukan dari luar kota Lubuklinggau telah siap,
seperti pasukan dari Talang Jawa Ujung, Taba Pingin, Tugumulyo, Muara Beliti,
Muara Kelingi, dan Muara Kati. Mereka semua tinggal menunggu aba-aba pertama
dari pasukan Rawas Ulu dari Kawedanan Rawas sesuai dengan kesepakatan.
Pada tanggal 29 Desember 1945,
diputuskan pada malam waktu dinihari pukul 02.00 (artinya sudah malam tanggal
30 Desember), pasukan Rawas Ulu turut disertai masyarakat Selangit mulai
bergerak, dari Selangit menuju Lubuklinggau. Pasukan yang paling depan ialah
Suku Anak Dalam yang tidak mempan dengan peluru (dubalang). Mereka bergerak dengan berjalan kaki sejauh kurang lebih
20 km, diperkirakan tiba di Lubuklinggau pada waktu beduk shubuh pertama, namun
perhitungan waktu meleset. Ternyata pasukan Rawas Ulu ketika tiba di Dusun
Megang, cahaya matahari pagi mulai tampak, tepat pada jam 06.00 pagi telah
menyinari Lembah Bukit Sulap. Sementara itu, pasukan dari Musi Ulu telah
gelisah menunggu. Karena ketika suara beduk shubuh pertama, tidak terdengar
isyarat tembakan pertama dari pasukan Rawas, sementara suara adzan telah
berkumandang.
Tidak mau mengambil resiko dan diduga
pasukan Rawas tidak jadi masuk, maka pasukan Musi Ulu mengambil sikap mundur
dengan teratur. Pasukan Rawas sadar bahwa keterlambatan mereka tiba di
Lubuklinggau itu berarti sama dengan kegagalan dalam menempuh jalur isyarat
yang telah disepakati antara pimpinan pasukan Rawas dengan pasukan Musi Ulu. Oleh
karena itu, mereka segera mengadakan rapat kilat dengan memutuskan untuk
pasukan tetap terus bergerak maju menuju markas Jepang, tanpa ada perhitungan
strategi.[11]
Karena hari sudah pagi, tentara Jepang
telah bangun dan siap berolahraga. Begitu ada pasukan datang menyerbu mereka,
pasukan Jepang telah siap menunggu dengan senjata diacungkan kearah datangnya pasukan
Rawas dan Musi Ulu. Pasukan yang merasa dirinya kebal, tanpa ragu-ragu serentak
menyerbu, seperti dilakukan K.H. Muhammad Nuh, K.H. Latif, Muhammad Syah dan H.
Muhammad Tohir.
Perang berkecamuk tidak berjalan lama,
serdadu Jepang memuntahkan peluru senjata mortir, dan senapan mesin ditembakkan
secara membabi buta. Pejuang yang tidak tembus peluru, namun karena
bertubi-tubi diterjang peluru dari jarak dekat, akhirnya Jepang berhasil
menangkap H. Muhammad Tohir, Muhammad Syah (Matsah) dan beberapa orang anak
buahnya.[12]
Semua yang berhasil ditawan dikumpulkan
di Terminal Mobil (sekarang terminal pasar atas). Di sekeliling terminal berpagar
kawat berduri. Pada saat pasukan Jepang memeriksa tawanan, seperti Muhammad
Syah (Matsah) yang keadaannya sudah pulih setelah goyah ketika terkena hantaman
peluru bertubi-tubi. Saat serdadu Jepang mendekati yang hendak mengikat
tangannya, kesempatan baik bagi Matsah dengan cepat menarik jamblo (sejenis senjata tajam mirip
keris) lalu ditikam ke dada serdadu Jepang. Maka pada saat itulah, para tawanan
yang lain mengambil kesempatan untuk melarikan diri.[13]
Saat korban Matsah jatuh terkulai
berlumuran darah, membuat sirine “Kushu
Keibo” sebagai tanda bahaya mulai terdengar meraung-raung. Seluruh serdadu
Jepang diperintahkan untuk siap tempur, mereka menembak tak tentu arah dengan
melontarkan peluru senapan mesin. Peristiwa ini membuat penduduk yang akan ke
pasar mengurungkan niatnya untuk berbelanja, los-los pasar tidak jadi dibuka,
dan orang-orang yang terlanjur datang ke pasar terjebak dalam kancah
pertempuran itu.
Karena kekuatan tidak seimbang, maka pasukan
Rawas dan Musi Ulu yang hanya mengandalkan senjata tradisional melawan pasukan
Jepang bersenjata modern, menimbulkan banyak korban pertempuran, tidak dapat
dielakkan dari pejuang rakyat Musi Ulu Rawas yang banyak berjatuhan. Sejumlah
63 orang pejuang gugur, diantaranya Sersan Juri, Abdul Kadir Malabar, 2 orang
Suku Anak Dalam dan 59 orang tidak dikenal identitasnya, sehingga mereka
disebut “Pahlawan tak Dikenal”, jenazah mereka waktu itu dimakamkan dibelokkan
Rumah Sakit Umum (sekarang RSU. Sobirin), berseberangan dengan rel kereta api.[14]
Setelah itu pasukan diperintahkan
mundur perlahan-lahan namun pertempuran-pertempuran kecil masih berlanjut, jadi
situasi di Lubuklinggau belum aman. Pasukan Jepang masih berjaga-jaga. Pasukan
Rawas menunggu ke pinggir kota, belum pulang ke Rawas. Mereka baru pulang ke
Rawas setelah delegasi dari pemerintah RI dari BPKR Palembang tiba untuk berunding
dengan Jepang. Maka diutuslah Kolonel Hasan Kasim, Letnan
Kolonel N.S. Effendi dan Letnan Suprapto. Sedangkan dari kepolisian diutus
Mayor Zen dan R.M. Mursodo. Dari Lubuk Linggau sendiri yang hadir adalah Kapten
Sai Husin, Kapten Sulaiman Amin, H. Kodar, Yusuf Cholidi, H. M. Tohir dan
seluruh aparat kepollisian. Hasil perundingan adalah sebagai berikut:
1) Jepang akan segera meninggalkan Lubuklinggau dan menyerahkan
kekuasaan sepenuhnya kepada pemerintahan di Lubuklinggau.
2) Para pemuda-pemuda dan pejuang tidak lagi melakukan serangan-serangan
terhadap Jepang. Setelah Jepang meninggalkan Lubuklinggau, barulah rakyat
merasa lega.
Maka, setelah diadakan perundingan
tersebut, tidak lagi terjadi bentrokan dengan pasukan Jepang. Dan Bendera Merah
Putih dinaikkan kembali di Lubuklinggau sebagai kedudukan Kabupaten Musi Ulu
Rawas.
Monumen Perjuangan Rakyat Musi Ulu Rawas dalam Melawan Jepang Tahun 1945
(Dibangun tahun 1972)
REFERENSI
Maaruf, Abd. Aziz. Sekelumit
Sejarah Perjuangan Subkoss Garuda Sriwijaya Sumatera bagian Selatan.
Lubuklinggau: Yayasan Perjuangan Subkoss Garuda Sriwijaya Perwakilan Kabupaten
Dati II Musi Rawas, 1989.
Pemkab Mura. Sejarah
Dan Peranan Sub Komandemen Sumatera Selatan (SUBKOSS) Dalam Perjuangan Rakyat
Musirawas 1945-1950. Musirawas: Pemerintah Kabupaten Musirawas, 2002.
Subkoss, Tim
Penyusun Sejarah Perjuangan. Sejarah Dan Peranan SUBKOSS Dalam Perjuangan
Rakyat Sumbagsel (1945-1950). Edited by Amran Halim. Palembang: Dewan
Harian Daerah 45 Sumatera Selatan, 2003.
[1] Dengan disaksikan beberapa tokoh pemuda antara
lain: dr. Soefaat, Zaikadir, Ki Agus Anwar, Noersaman, Pangeran Ramitan, Nawawi
Ramitan, Demang Ahmad, dan lain-lain. (Selengkapnya baca “Sejarah Lubuklinggau”
tahun 2021).
[2] Tim Penyusun Sejarah Perjuangan Subkoss, Sejarah Dan Peranan SUBKOSS Dalam Perjuangan Rakyat Sumbagsel
(1945-1950), ed. Amran Halim, (Palembang: Dewan Harian Daerah 45 Sumatera
Selatan, 2003), hlm. 82.
[3] Di Palembang, Sekutu mendarat pada tanggal 12 Oktober 1945
untuk melucuti tentara Jepang, dengan kekuatan satu Brigade dibawah pimpinan
Mayor Fordes, kemudian diganti Mayor Hutchinson.
[4] Orang Switzerland ini sudah bekerja sejak masa kolonial Belanda,
namun ketika Jepang berkuasa masih diteruskan oleh mereka. Maka saat penculikan
itu, para pejuang pada umunya tidak dapat membedakan apakah seseorang itu
berkebangsaan Switzerland, Inggris, Australia ataupun Amerika. Bagi mereka,
asal kulit putih dan hidungnya mancung dianggap orang Belanda yang harus
dilenyapkan dari Musi Ulu Rawas. Perintah penculikan ini dilakukan Saifudin
Toha, Wadayon, dan Kapten Zainal Abidin Ning kepada “pasukan istimewa” terdiri
13 orang yakni: Beluluk (pimpinan), Ali Kuang, Gudig, Tap Iman, dan
lain-lain.
[5] Penangkapan istri Pangeran Amin, ada 2 versi sumber.
Pertama; ada yang mengatakan ditangkap, kedua; ada juga yang mengatakan tidak
ditangkap.
[6] Tim Penyusun Sejarah Perjuangan Subkoss, Sejarah Dan Peranan SUBKOSS Dalam Perjuangan Rakyat Sumbagsel
(1945-1950), hlm. 83; Pemkab Mura, Sejarah
Dan Peranan Sub Komandemen Sumatera Selatan (SUBKOSS) Dalam Perjuangan Rakyat
Musirawas 1945-1950, (Musirawas: Pemerintah Kabupaten Musirawas, 2002),
hlm. 80.
[7] Kamp tawanan perang Jepang di Belalau dikosongkan tanggal 8
Oktober 1945 oleh Sekutu. Akan tetapi, Sekutu baru tiba di Palembang tanggal 13
Oktober 1945. Dapat disampaikan bahwa Sekutu telah mempersiapkan tim pembebasan
tawanan terlebih dahulu untuk memasuki Lubuklinggau dengan terjun payung
menggunakan pesawat.(Selengkapnya baca pada Bab 3).
[8] Pembentukan BPKR untuk Kawedanan Rawas dipelopori oleh M.
Hasan, yang kemudian mengadakan rapat musyawarah di akhir bulan September 1945
dilaksanakan di Sungai Baung. Dan terhitung mulai tanggal 25 Oktober 1945, BPKR
Kawedanan Rawas dibentuk di bawah BPKR Karesidenan Palembang dipimpin Kolonel
Hasan Kasim. BKR merupakan Badan Keamanan Rakyat (BKR) yang dibentuk pemerintah
RI, namun di Karesidenan Palembang, BKR dinamakan BPKR (Badan Penjaga Keamanan
Rakyat) dibentuk sejak 13 September 1945.
[9] Pembentukan BPKR untuk Kawedanan Musi Ulu sangat terlambat
dibanding daerah Kawedanan Rawas, karena serdadu Jepang masih berada di
Lubuklinggau.
[10] Sebab pendukungnya adalah munculnya seorang pemprakarsa
perlawanan rakyat terhadap pasukan Jepang yang berhasil membangkitkan semngat,
yaitu Pangeran Emir Muhammad Noor yang merupakan mantan pendidikan militer
Jepang “Gyugun” Pagaralam yang
mengangkat dirinya sendiri sebagai Panglima TKR Sumatera Selatan berpangkat
Jenderal Mayor. Semakin lama pengaruhnya semakin meluas, sehingga dapat
membentuk markasnya di Surulangun Rawas. Ketika pimpinan BPKR Kawedanan Rawas
sedang mempersiapkan keberangkatan, Pangeran Emir ini telah berada di
Surulangun Rawas dan hendak menuju Jambi bertemu dengan Letkol Abunjani.
[11] Keputusan yang diambil diistilahkan “kepalang mandi basah, kepalang telah maju berpantang surut” dengan
pekik “esa hilang, dua terbilang”
takdir yang tiada terputus.
[12] Pemkab Mura, Sejarah
Dan Peranan Sub Komandemen Sumatera Selatan (SUBKOSS) Dalam Perjuangan Rakyat
Musirawas 1945-1950, hlm. 89.
[13] Abd. Aziz Maaruf, Sekelumit Sejarah Perjuangan Subkoss Garuda
Sriwijaya Sumatera bagian Selatan, (Lubuklinggau: Yayasan Perjuangan
Subkoss Garuda Sriwijaya Perwakilan Kabupaten Dati II Musi Rawas, 1989), hlm.
5.
[14] Dan dikemudian hari, pada tahun 1972
yang dimakamkan disana dipindahkan ke Taman Makam Pahlawan Patria Bukit Sulap.
Maka kerangka tulangnya yang dipindahkan. Nama-nama itu dan beberapa pahlawan
tanpa nama bisa dicek disana.
POSTINGAN TERBARU
POSTINGAN POPULER
-
KATA PENGANTAR Puji syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas berkat dan rahmatnya jualah sehingga dapat m...
-
BAB 2 PEMBAHASAN MATERI A. Pengertian dan Ruang Lingkup Filsafat Sejarah 1). Pengertian Filsafat Sejarah Filsafat secara...
-
KATA PENGANTAR Alhamdulillahirrobbil alaamiin. ...
-
BAB II PEMBAHASAN MATERI 1. Pengertian Menurut Ditjen PMPTK dan PB PGRI yang dimaksud dengan : a. Dewan Keh...
-
Pendahuluan Indonesia dikenal sebagai negara kepulauan dan memiliki beribu-ribu warisan budaya yang tersebar di seluruh penjuru nusantara....