Pendahuluan
Indonesia dikenal
sebagai negara kepulauan dan memiliki beribu-ribu warisan budaya yang tersebar
di seluruh penjuru nusantara. Diantara banyaknya warisan budaya tersebut,
karakter bangsa seperti tulisan asli di berbagai daerah masuk ke dalam kategori
Aksara Nusantara.
Salah satunya ialah
Aksara Ulu (Kaganga), yang keberadaannya semakin hilang eksistensinya. Pemahaman
tentang aksara Ulu terutama di Kota Lubuklinggau, Provinsi Sumatera Selatan
yang mungkin sejak dua atau tiga generasi belakangan ini masih ragu-ragu,
apakah benar bahwa masyarakat daerahnya pada masa lampau pernah mengenal dan
dapat menggunakan tulisan Ulu sebagai bahasa pengantar lisan, melalui cerita
rakyat, sastra daerah dan hikayat (oral history).
Sekedar ingin
menggugah bahwa warisan budaya leluhur yang bernilai tinggi, sebagaimana
pribahasa “Upaya Membangkitkan Batang Terendam”. Meluangkan waktu untuk menoleh
ke belakang melihat bagaimana eksistensi kebudayaan warisan masa lalu yang
mestinya patut dibanggakan. Saatnya secara pribadi bahkan bersama-sama mencari
tahu tentang kebudayaan milik sendiri berkaitan aksara yang ada di Indonesia.
Pembahasan
Aksara Ulu merupakan tulisan kuno yang berkembang pada abad ke-13 di wilayah
Sumatera Selatan.
Terutama di bagian huluan Sungai Musi, dan dipakai oleh masyarakat masa lampau
sebagai sastra daerah ataupun cerita rakyat. Aksara Ulu merupakan bagian dari
Aksara Rencong yang berkembang di berbagai daerah di Indonesia. Dikatakan
rencong, yaitu untuk mempermudah penyebutan secara nasional meskipun sebutan
pada setiap daerah berbeda-beda. Di Sumatera khususnya di Sumatera Selatan,
aksara Kaganga dikenal dengan nama tulisan Ulu.
Di wilayah pedalaman Batanghari Sembilan di Jambi,
dikenal dengan nama tulisan Incung Jambi, di Aceh disebut dengan tulisan Rencong,
di Sumatera Utara disebut dengan Pustaha, lalu Sulawesi disebut juga aksara
Lontarak.
Aksara Rencong ialah sejenis tulisan kuno yang muncul sejak abad ke-9,
lalu tumbuh dan berkembang sampai pertengahan abad ke-20 di daerah Sumatera
seperti di Tapanuli (Batak), Jambi, Sumatera Selatan, Bengkulu, Lampung, dan
juga Sulawesi Selatan.
Kemudian perkembangan aksara Rencong ini sampai di daerah Sumatera Selatan, dan
digunakan masyarakat pedalaman Palembang tepatnya di hulu sungai Musi dan
anak-anak sungainya (Sungai Komering, Lematang, Rawas, Rupit, Lakitan, Kelingi
dan Beliti). Masyarakat yang tinggal di pedalaman ini lazim disebut masyarakat
Uluan, maka tulisannya disebut Tulisan Ulu.
Menurut Harimurti mengatakan bahwa aksara Rencong (Aksara Ulu/Kaganga)
ini tergolong aksara silabis (syllabic system) yaitu sistem penulisan
menggunakan satu lambang penyebut dengan fonem rangkap konsonan dan vokal.
Semuanya terdiri dari 16 lambang huruf konsonan-vokal (Ka, Ga, Ta, Da, Na, Pa,
Ba, Ma, Ca, Ja, Sa, Ra, La, Ya, Wa, Ha), dan 9 lambang huruf
konsonan-konsonan-vokal (Nga, Nya, Mba, Mpa, Nca, Nta, Nda, Nja, Gha), lalu 2
lambang huruf konsonan-konsonan-konsonan-vokal (Ngga, Ngka) serta 1 lambang
huruf vokal (A), tiap huruf dapat berubah penyebutannya sesuai tata letak kunci
penanda baca.
Kemudian Hartaty menambahkan bahwa aksara Rencong disebut juga Aksara
Kaganga. Jika diperhatikan, nama abjad tersebut diambil dari huruf: Ka, Ga,
Nga, yaitu penggabungan abjad pertama, kedua dan ketiga.
Oleh karena itu, disebut juga dengan Aksara Kaganga berdasarkan urutan abjad
pada penulisannya. Dan para peneliti juga kerap menyebutnya Kaganga karena
pedoman aksaranya menggunakan awalan huruf Ka, Ga, Nga, dan seterusnya.
Huruf-huruf ditulis dengan ditarik ke kanan atas sampai sekitar 45 derajat. Tulisan ini banyak
digunakan untuk menyampaikan ajaran agama, petuah (nasehat), dan kearifan lokal
lainnya. Karena dikembangkan setelah aksara pallawa, maka Kaganga banyak
digunakan oleh masyarakat kelas menengah, seperti keluarga pesirah, dukun, kaum
intelektual, dan kaum agama.
Bentuk huruf Aksara Rencong Indonesia (Kaganga) masuk ke dalam kategori
Aksara Luar Jawa, hal ini disebabkan karena baik Aksara Jawa (Hanacaraka),
maupun aksara Kaganga ini sama-sama diturunkan dari aksara yang berasal dari
India yaitu Aksara Pallawa. Khusus aksara ulu khas Lubuklinggau, secara lengkap
dapat diperhatikan di bawah ini:
Berdasarkan huruf dasar di atas,
maka untuk penggunaan tanda baca ditampilkan Kunci Penanda Baca, sebagai contoh
menggunakan huruf pertama yaitu huruf “Ka”, tata letak penanda baca ini juga
berlaku untuk semua huruf ulu tersebut.

Dapat dicontohkan, ketika percobaan menulis dengan kalimat “Sejarah” maka lambang huruf dilengkapi
penanda bacanya dapat ditampilkan di bawah ini :
Begitupun untuk lambang huruf Ulu yang lain, dapat ditulis sesuai kalimat yang diinginkan, berdasarkan kalimat dari kaidah bahasa Indonesia. Diawali penulisan huruf kemudian diberi penanda baca sesuai kalimat yang diinginkan.
Maka penggunaan Aksara Ulu/Kaganga dapat kembali pada eksistensinya sehingga banyak digunakan pada bidang apapun seperti pembuatan papan nama (jalan, lembaga adat, sekolah), merk (souvenir, pakaian), dan lain-lain sebagai identitas dan nilai kearifan lokal suatu bangsa yang bernilai tinggi.
Kesimpulan
Perkembangan aksara di Indonesia lebih
banyak dipengaruhi oleh Aksara Pallawa yang berasal dari India, kemudian
mengalami proses adaptasi dengan unsur-unsur budaya lokal. Aksara Pallawa
lambat laun berubah bentuk menurunkan Aksara Kawi atau Jawa Kuno yang relatif
mirip dengan induknya, selanjutnya aksara ini juga mengalami perkembangan dan
perubahan bentuk. Karena perbedaan dialek, kebutuhan berbahasa, diperlukan
penyesuaian menurut tingkat perkembangan kebudayaan masing-masing, sehingga
terjadi perubahan-perubahan huruf dan tanda eja, hal ini menimbulkan perbedaan
beberapa huruf dan istilah pada masing-masing daerah yang memiliki aksara
tersebut.
Aksara Ulu merupakan tulisan kuno yang
berkembang pada abad ke-13 di wilayah Sumatera Selatan. Aksara Ulu merupakan
bagian dari Aksara Rencong yang berkembang di berbagai daerah di Indonesia.
Dikatakan rencong, yaitu untuk mempermudah penyebutan secara nasional meskipun
sebutan pada setiap daerah berbeda-beda.Masyarakat yang tinggal di pedalaman
ini lazim disebut masyarakat Uluan, maka tulisannya disebut Tulisan Ulu.
Daftar Pustaka
Petuai, Radar Pat. 2017. Huruf Aksara Ulu Kian Tergerus. Diterbitkan di Curup.
Sulaiman, Annas
Marzuki. 2011. Hanacaraka: Aksara Jawa
Yang Mulai Ditinggalkan. Surakarta: Institut Seni Indonesia
Suwandi. 2015. Silabus dan Petunjuk Praktis Membaca dan
Menulis Huruf Ulu (Aksara Rencong) Sumatera Selatan. Lubuklinggau: STKIP
PGRI Lubuklinggau
diakses pada 31 Maret 2017, Pukul 01:28 WIB