Di awal perkembangannya, sebelum dinamakan Lubuk Linggau disebut dengan
nama Batu Kuning. Daerah Batu Kuning diperoleh dari catatan perjuangan Sultan
Mahmud Badaruddin II dalam upaya pemerintahan Kesultanan Palembang Darussalam
perang melawan Inggris untuk menguasai Palembang pada tahun 1812. Lalu Belanda
juga berkeinginan menguasai Palembang, maka pada tahun 1821 pemerintahan
kesultanan jatuh ke tangan Belanda dan diganti dengan pemerintahan Karesidenan
Palembang tahun 1823. Sejak saat itu, Belanda mulai mengatur wilayah
administrasi kekuasaannya hingga daerah pedalaman. Sehingga daerah Batu Kuning
dibagi menjadi dua yakni Batu Kuning Kelingi yang masyakatnya berada
disepanjang Sungai Kelingi dan Batu Kuning Lakitan yang masyarakatnya berada
disepanjang Sungai Lakitan.
Selanjutnya Belanda mulai mengatur pemerintahan daerah dipedalaman
menjadi wilayah administratif terendah, maka pada tahun 1859 dibentuk marga
Sindang Kelingi Ilir atas penggabungan wilayah Batu Kuning Kelingi dan Batu
Kuning Lakitan berkedudukan pada sebuah dusun kecil bernama Lubuk Linggau. Dalam
catatan Belanda tahun 1906, marga Sindang Kelingi Ilir terbagi beberapa dusun, yakni
Ulak Surung, Petanang, Batu Pepe, Durian Rampak, Tanjung Raya, Lubuk Tanjung,
Kayu Ara, Lubuk Aman dan Batu Urip.
Keberadaan Lubuk Linggau semakin eksis ketika Belanda melalui perusahaan
ZSS (Zuid Sumatra Staatsspoorwegen) mulai membangun jalur kereta api
rute Palembang - Lubuk Linggau, yang pembangunannya dimulai dari Kertapati
tahun 1914 dan sampai di Lubuk Linggau tahun 1933. Keadaan ini menjadikan Lubuk
Linggau menjadi daerah strategis menunjang perekonomian kolonial dengan
keberadaan perkebunan-perkebunan Belanda seperti Kebun Sawit di Taba Pingin,
Kebun Karet di Belalau dan Air Temam. Karena kereta api menjadi sarana angkutan
hasil bumi dan juga penumpang. Sehingga semula status Lubuk Linggau hanya
berstatus ibukota marga Sindang Kelingi Ilir dinaikkan statusnya menjadi
ibukota pemerintahan kolonial Belanda yaitu Onder Afdeeling Moesi Oeloe
pada tahun 1934.
Memasuki pada pendudukan Jepang, praktis Lubuk Linggau yang dahulu
dikuasai Belanda jatuh ketangan Jepang tahun 1942. Sehingga semua struktur
pemerintahan Kolonial Belanda diubah namanya dalam bentuk istilah Jepang,
seperti Onder Afdeeling Moesi Oeloe diubah menjadi Musikami Gun. Pada
tanggal 20 April 1943, Musikami Gun digabungkan dengan
Rawas Gun (pada masa kolonial; Onder Afdeeling Rawas) sehingga
membentuk pemerintahan baru yakni Bunshu Musikami Rawas. Penggabungan
inilah akhirnya menjadi hari jadi Kabupaten Musi Rawas.
Setelah Indonesia merdeka, dibentuk pemerintahan Kabupaten Musi Ulu Rawas
membawahi Kawedanaan Musi Ulu berpusat di Lubuk Linggau dan Kawedanaan Rawas
berpusat di Surulangun. Pada masa revolusi fisik mempertahankan kemerdekaan
1945-1949, Lubuk Linggau menjadi ibukota sementara pemerintahan sipil yaitu
Karesidenan Palembang, sebelumnya berada di Palembang dan juga Lahat. Pemindahan
ini tidak lepas dari Belanda yang ingin kembali menguasai Sumatera Selatan yang
dibuktikan dengan peristiwa Perang 5 hari 5 malam di Palembang tanggal 1-5
Januari 1947, lalu peristiwa Agresi Militer Belanda I yang menyerang Lahat
tanggal 21 Juli 1947. Tidak hanya itu, Lubuk Linggau juga menjadi pusat komando
militer SUBKOSS (Sub Komandemen Sumatera Selatan), karena markas sebelumnya
juga berada di Palembang dan Lahat. Sejak saat itu, Lubuk Linggau menjadi pusat
pemerintahan sipil dan militer.
Tahun 1956, Lubuk Linggau menjadi Ibukota Daerah Swatantra Tingkat II
Musi Rawas. Berlanjut pada tahun 1981, Lubuk Linggau ditetapkan sebagai Kota
Administratif berdasarkan Peraturan Pemerintah RI Nomor 38 tanggal 30 Oktober
1981. Sehingga pemerintah Kota Administratif Lubuk Linggau bertanggungjawab
kepada Pemerintah Kabupaten Daerah Tingkat II Musi Rawas.
Namun, sejak diberlakukannya Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 22
Tahun 1999, istilah kota administratif tidak lagi digunakan di Indonesia karena
pembagian provinsi hanya terdiri atas kabupaten dan kota. Akibatnya, kota
administratif harus mengubah statusnya menjadi kota atau bergabung kembali
dengan kabupaten induknya. Sehingga pada tahun 2001, Lubuk Linggau ditingkatkan
statusnya sebagai Kota berdasarkan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 7
tanggal 21 Juni 2001. Barulah pada tanggal 17 Oktober 2001, Lubuk Linggau
ditetapkan menjadi Daerah Otonom.
(Sumber: Susetyo,
Berlian. Azman, Mohammad. Hanika, Sisca Arie. (2024). Sejarah Lubuk Linggau
dari Masa Awal hingga Terbentuknya Kota. Jombang: CV. Nakomu).